Meski sudah meneriakkan namanya berulang kali, si Bodoh itu tetap tak mendengarkan. Justru Indralah yang pertama kali menoleh, ia begitu terkejut tatkala melihat wujudku. Mungkin ia berpikir tengah melihat hantu yang bangkit dari kubur. Wajahnya tercengang dan ia tertegun untuk beberapa detik. Tanpa mengabaikan Dimas yang masih menangis untukku, pria itu masih menahan Dimas dengan tangannya yang kekar.
Setelah aku berada di hadapannya, yang membuat Indra mau tak mau percaya keberadaan diriku ini bukanlah imajinasinya semata.
"Kau ... masih hidup? S-Setelah terkena napas api itu? B-Bagaimana bisa?" ucap Indra, kini matanya memelototiku dari ujung rambut hingga ujung kepala.
"Ceritanya cukup panjang, yang jelas aku masih hidup," jawabku singkat, kemudian melirik Dimas yang masih meratap ke arah depan, meski aku sudah berada selangkah di belakangnya. "Apa Dimas akan terus seperti ini?"
Indra menggaruk kepala belakangnya, wajahnya tampak sedikit kesal. "Yah, kau tahu. Setelah tubuhmu terselimuti napas api, dia sudah seperti ini. Sejak saat itu dia tak mau mendengarkan apa pun. Kurasa hanya kaulah yang bisa mengembalikannya. Jadi, kuserahkan padamu."
Indra menepuk bahuku, kemudian berlalu melewatiku dan pergi menjauh beberapa meter. Sepertinya ia sudah menyerah pada Dimas dan memberiku kesempatan untuk menyadarkannya lagi.
Kulemparkan pandanganku pada punggung Dimas yang berlutut di atas tanah. Lalu turut berlutut di belakangnya sembari menyentuh pelan bahunya. Pria itu masih menangis dan sungguh tak memperhatikan sekelilingnya.
"Dimas! Ini aku!" seruku di telinganya.
Aku bisa melihat sedikit bola matanya dari samping. Itu bukanlah mata manusia hidup. Itu tampak seperti mata ikan mati. Tatapannya begitu kosong menuju satu titik. Aku segera bergerak ke depannya, berharap ia akan menyadariku. Namun percuma, dia tak bisa menatapku kembali.
"Hei, Dimas! Aku masih hidup, loh," ujarku seraya menepuk-nepuk pipinya.
Tatapannya kosong, air mata mengalir deras dari kelopak matanya, mulutnya mengeluarkan suara isak tangis pilu di telingaku. Tak peduli seberapa kencang aku menggoyangkan tubuhnya, pria itu tetap tidak mau kembali dari alam bawah sadarnya.
Gusar karena merasa tidak diperhatikan, aku memegang kerah bajunya dan menariknya ke arahku. Matanya yang tampak kosong pada awalnya, perlahan memancarkan cahaya kehidupan. Ia mulai menampakkan sedikit ekspresi dan menatap balik mataku. Barulah beberapa saat Dimas mulai benar-benar memperhatikanku.
"Anggi, kau masih hidup?" tanya Dimas dengan lirih, sesekali suara isakan muncul dari bibirnya.
"Memangnya yang ada di depanmu ini hantu?" balasku dengan terkekeh, seraya menyentil dahinya. "Sudah puas menangisnya, belum? Aku tidak pernah menyangka aku bisa melihatmu menangis sep—. Eh, Dimas?? K-Kenapa kau...."
Mendadak suara hilang dari bibirku. Aku merasakan sesak yang amat sangat ketika Dimas mendekapku erat secara tiba-tiba. Kedua tangannya merengkuh punggungku seakan hendak mengekang seseorang selamanya.
Gerakan yang tiba-tiba ini tak hanya membuatku tak bisa berpikir sejenak, tapi juga seketika membuatku malu bukan kepalang. Kalau diingat, kami tidak pernah berpelukan seerat ini. Tentu saja aku merasa malu, karena kini tubuhku bertempelan langsung dengan tubuhnya. Aku bisa merasakan kehangatan darinya, dan juga detak jantungnya yang berdetak kencang. Karena indera penciumanku sangat sensitif, aku bisa mengenali bau keringatnya yang khas.
Oh, sial! Itu cukup bau!
Aku hampir saja mendorongnya menjauh, kalau tidak melihat wajahnya yang ia benamkan di bahuku. Ia menangis sejadi-jadinya. Air matanya yang tumpah ke pipinya, menetes pada bajuku. Semakin banyak air mata yang dijatuhkannya, semakin erat pula dekapannya padaku. Kupikir aku bisa memakluminya. Dia hampir saja kehilangan teman terdekatnya. Kalau aku yang berada di posisinya, aku akan melakukan hal serupa.
Alih-alih melepaskannya, aku balik mendekapnya dengan hangat. Aku memegang belakang kepalanya dan mendorongnya ke dalam bahuku. Kemudian mengelus-elus kepalanya dengan pelan.
"Maaf kalau aku membuatmu ketakutan," bisikku di telinganya.
Dimas tidak menjawab atau berkata apa pun. Ia masih larut dalam tangis ketakutannya.
"Aku baik-baik saja sekarang. Jadi bisa lepaskan aku?"
Pelan tapi pasti Dimas mulai melepaskan pelukannya dariku. Kendati demikian, air matanya masih mengalir. Matanya tampak memerah dan sembab. Kalau situasinya lebih baik, aku pasti akan menertawakan situasi ini. Tapi mari simpan itu untuk saat ini.
"Anggi, ayo kita segera pergi dari sini!"
Sesaat kemudian, Dimas melontarkan kata-kata yang entah mengapa tak membuatku kaget. Ini adalah kedua kalinya dia mengatakan hal itu. Aku pun menyadari bahwa itu bukanlah perwujudan sikap pengecut darinya, melainkan kepeduliannya padaku. Ia tidak ingin aku terluka lagi. Mendengar itu adalah kalimat yang ia ucapkan, memperkuat dugaanku sebelumnya.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Dimas. Tapi aku tidak akan lari!"
"Kenapa? Bukankah kau hampir saja mati?"
"Kalau aku lari dari sini, akan banyak lagi korban yang jatuh. Aku tidak ingin itu terjadi?"
"Aku tidak mengerti. Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Bukankah sebelumnya kita terus bertarung, tapi tetap saja tidak bisa mengalahkannya?"
"Itu kan tadi. Sekarang aku punya cara yang patut untuk dicoba. Aku memang belum tahu cara menggunakannya, sih," jawabku dengan senyum kecut.
Pria yang ada di depanku terdiam dan tertegun, kemudian membalas dengan tawa kecil. "Apa-apaan itu? Kenapa kata-katamu tidak meyakinkan?"
Meskipun Dewi Allina sudah memberiku Berkah Ilahi miliknya, aku masih belum paham apa itu sebenarnya dan bagaimana cara menggunakannya. Dia bilang aku akan segera tahu setelah aku berada di sini. Akan tetapi, aku masih belum tahu. Ini sama saja ketika kau membeli barang elektronik namun tidak ada buku manualnya.
Bagaimana aku bisa menggunakannya kalau begitu? Dasar dewi bodoh itu!
Jika dipikir lagi sebelum mendapat Berkah Ilahi, aku sudah menjalin kontrak dengan roh air. Dengan ini, seharusnya aku bisa menguasai Esze air meskipun aku belum pernah melakukannya. Apa berkah yang diberikan oleh Dewi Allina ada kaitannya dengan hal itu?
Sepertinya sesuai ucapannya, aku memang harus mencobanya terlebih dahulu.
"Pokoknya, aku punya cara. Kita akan tahu nanti," ujarku seraya bangkit dari tanah dan coba mengulurkan tangan padanya. "Apa kau mempercayaiku?"
Dimas terdiam seribu bahasa. Matanya terbelalak lebar. Pupilnya membesar. Wajah bodoh miliknya sungguh diliputi keraguan. Tentu saja, aku pun akan merasa ragu jika seseorang memberiku jawaban yang setengah matang.
Setelah beberapa lama, Dimas menunjukkan senyum yang tersimpul di wajahnya. Pria itu memejamkan mata dan menghela napas dalam, sebelum akhirnya menyambut tanganku dan turut bangkit dari tanah.
"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan. Tapi ... aku mempercayaimu. Aku juga akan pastikan akan melindungimu kali ini. Jujur saja, kehilanganmu membuatku ketakutan setengah mati."
"Kau tidak perlu sampai seperti itu."
"Aku berjanji pada diriku sendiri."
Merasa tak mampu menghentikannya, aku membiarkannya tetap seperti itu. Kami berdua berjalan mendekati Indra yang berdiri tak jauh dari sini.
"Sudah selesai bermesraannya?"
"Kami tidak bermesraan!!" sahutku dan Dimas dengan serentak.
"Baiklah kalau itu menurut kalian. Apa yang ingin kalian lakukan setelah ini? Kalau aku masih ingin lanjut bertempur," ujar Indra dengan suara berat. Wajahnya tampak sangat serius bahkan saat ia menggoda kami barusan.
"Aku juga ingin lanjut bertarung. Ada hal yang ingin aku coba lakukan saat ini."
"Kalau begitu ayo kita membantu para Elf itu!"
Kami bertiga segera mendekati para Tentara Elvian yang tengah bertarung dengan Strigifavorus. Semakin jauh ke dalam medan perang, semakin tampak pula dampak pertempurannya. Selain pepohonan Hanarusa yang tumbang dan terbakar, gelimpangan mayat ada di mana-mana. Bau daging hangus menyengat masuk ke dalam hidung, menyiksa indera penciumanku yang sangat sensitif. Beberapa tentara tampak menggotong Elvian yang terluka menjauh dari area pertempuran. Meskipun jumlah mereka tidak sebanyak dibandingkan sebelumnya, tidak ada satu pun dari tentara yang berkurang itu melarikan diri. Mereka semua mati dengan gagah berani di medan pertempuran.
"Pertahankan formasi! Angkat perisai kalian!"
"Regu Perapal, ikat kaki monster itu!"
"Bertarunglah sampai titik darah penghabisan! Jika kita gagal, monster itu akan menghabisi orang-orang yang kita cintai!"
"Bunuh monster itu sekarang juga!"
Di tengah hutan yang terbakar, pekik perang menggema memecah kesunyian. Asap hitam mengepul ke langit, bercampur dengan bau hangus dan darah. Anak-anak panah beterbangan di udara, mencari mangsa yang tengah terbang rendah di angkasa sambil menyemburkan napas api. Namun Strigifavorus menolak tumbang, ia mengeluarkan gelombang udara kencang yang mencabut pepohonan raksasa dari akarnya. Cipratan darah membasahi tanah, menambah kengerian medan perang.
Sekali lagi aku berada di dalam medan pertempuran yang bisa membunuhku sewaktu-waktu. Berbekal Berkah Ilahi yang diberikan Dewi Allina dan kepercayaan diri, aku bisa berani berdiri di sini. Mencoba menguatkan hatiku agar tak mudah goyah. Aku sudah memutuskan hal ini.
Indra segera melesat ke depan mendekati Strigifavorus, menaiki batang Hanarusa tumbang yang melintang dan melompat. Pria botak itu mengayunkan pedang lebarnya yang besar ke salah satu sayap monster. Strigifavorus memiliki refleks yang sangat cepat untuk ukuran tubuh sebesar itu, ia mampu menghindarinya dengan jarak setipis kertas. Bersamaan dengan gerakannya, monster itu mengeluarkan pisau-pisau angin dari satu kepakan keras sayapnya. Indra yang juga memiliki rekfleks cepat, segera menendang dahan pohon untuk membawanya ke samping. Pisau-pisau angin yang gagal mencincang pria botak, mematahkan beberapa pohon raksasa di belakangnya.
Melihat pemandangan itu, hatiku langsung menggebu-gebu. Seakan lupa dengan sakit dan lelah dari pertarungan sebelumnya, aku juga ingin ikut andil ke dalamnya. Di sisi lain, aku mendapati Pangeran Keylan tengah mengomandoi pasukannya untuk melumpuhkan sang monster legenda. Para Perapal berhasil membelenggu salah satu sayap dengan sulur tanaman raksasa dan membuat Strigifavorus tak bisa terbang.
Tidak ingin menyia-nyiakan hal itu, aku mencoba beraksi. Melangkah ke depan dengan kedua tangan menggenggam Viglet Harapan. Kuacungkan ujung vigletnya tepat ke arah Strigifavorus yang tengah meronta mencoba melepaskan diri dari belenggu magis. Aku merasakan jantungku berdebar sesaat setelah menutup mata, mencoba menenggelamkan diriku lebih dalam ke jurang konsentrasi. Udara di sekitarku mulai terdistorsi dengan magis elemental dan terpusat pada ujung viglet. Begitu aku membuka mata, aku segera melontarkan energi Esze yang terkonsentrasi itu tepat ke depan.
"Vitr Blast!"
Suara dentuman kencang tercipta ke seluruh penjuru hutan begitu energi magis mengenai tubuh Strigifavorus. Gelombang kejutnya menyebar dan menyeruak beberapa detik setelahnya, aku pun harus ditopang oleh Dimas ketika terkena efeknya. Itu memang Esze yang cukup kuat, mungkin yang terkuat yang pernah aku lepaskan selama ini.
Tapi ... aku tidak merasa ada perbedaan yang besar dengan kemampuanku sebelumnya.
Di mana Berkah Ilahi yang diberikan Dewi Allina? Apa benar dia sudah memberkatiku? Apa jangan-jangan dia berbohong?
"Jangan berburuk sangka dulu, Anggi!"
"Ya, benar! Itu karena kau memang belum menggunakan berkahnya."
Mendadak, aku mendengar dua suara yang muncul dari ketiadaan masuk ke dalam telinga. Di saat itulah aku mendapati ada dua sosok misterius yang berada di kedua sisiku. Aku menoleh ke sisi kananku, di sana ada seekor rusa bertanduk raksasa. Melihat dari bentuknya, dia mirip sekali dengan Moose, rusa besar setinggi lebih dua meter yang berhabitat di Amerika Utara di duniaku sebelumnya. Hanya saja tubuhnya tidak dibentuk oleh daging dan tulang, melainkan air.
"Aku tahu kau punya banyak pertanyaan, tapi mari kita simpan dulu untuk saat ini," ucapnya dengan suara lelaki dewasa yang terdengar dalam.
"Kesampingkan hal sepele, bukankah kita harus fokus mengalahkan musuh yang ada di depan kita!" balas suara yang terdengar seorang perempuan dewasa di sebelah kiriku.
Setali tiga uang dengan yang kulihat sebelumnya. Apa yang kulihat di sisi kiriku adalah sesosok peri kecil yang tampak dari negeri dongeng. Ya, dia benar-benar sebuah peri! Seorang gadis dengan sepasang sayap kupu-kupu yang mencuat dari punggungnya. Setelah melihat Moose dari air barusan, kupikir peri ini akan terbuat dari angin. Namun dugaanku itu salah, peri kecil ini sungguh berwujud manusia dengan darah dan daging.
Aku hampir pasti bisa menebak identitas mereka berdua. Sayangnya, aku tidak tahu kenapa. Namun seperti yang mereka katakan, mari simpan dulu urusan sepele itu untuk sekarang.
"Jadi, apa kalian punya rencana?"