Hah, apa?
Mataku mengamati gadis itu lamat-lamat. Masih berusaha mencerna ucapannya barusan.
Aku sudah tahu tentang mitos para dewa-dewi di dunia ini. Jika tidak salah ingat disebutkan ada sebelas dewa-dewi yang memiliki kekuatan maha besar, beberapa diantaranya dikultuskan dan disembah oleh beberapa negara. Seperti contohnya Kerajaan Lurivia yang menyembah Dewa Lilio, sang Dewa Matahari dan Dewi Lunaris, sang Dewi Rubiel.
Apakah dia sedang membicarakan dewa-dewi yang sama?
Sebelumnya dia mengaku sebagai Dewi Allina, sang Penguasa Angin. Apa dia seorang dewi sungguhan?
Melihat ke belakang, dia menciptakan sebuah dunia ilusi yang mirip dengan duniaku sebelumnya. Perasaan yang kualami di sana sungguh terasa nyata. Aku bisa merasakannya dengan hampir seluruh panca inderaku. Ditambah lagi, ketika aku melahap ayam goreng di restoran cepat saji sebelumnya, aku benar-benar merasa kenyang. Meski pada akhirnya rasa puas itu lenyap begitu gadis di depanku meruntuhkan utopia itu.
Sepertinya dia tidak membual.
Aku melihat wajahnya yang tersenyum nakal melihatku. Tampaknya ia menikmati kebingungan luar biasa yang kutunjukkan di raut wajahku. Untuk sesaat, aku merasa kesal melihatnya.
"Apa kau benar-benar Dewi Allina?" tanyaku kembali untuk mengkonfirmasi kebenaran.
"Jadi maksudmu aku hanyalah peniru? Setelah apa yang kita lalui? Kau masih tidak percaya dengan matamu?" sahutnya dengan nada mengejek.
"Hanya saja … aku masih tidak percaya. Maksudku, dewa-dewi selama ini kupikir hanya mitos belaka. Lalu kau di sini mengaku sebagai seorang dewi dengan kekuatan yang tidak dapat kupercaya. Kau tahu perasaanku, bukan?"
Aku percaya, hanya saja masih belum bisa menerimanya.
"Ah, aku paham. Kami para dewa-dewi tidak pernah muncul lagi puluhan ribu tahun, atau ratusan ribu tahun? Atau mungkin jutaan tahun … mungkin? Entahlah, itu sudah lama sekali hingga aku pun lupa. Wajar bagi penghuni dunia bawah menganggap kami hanya mitos belaka."
Aku terdiam sejenak mendengar pengakuan Dewi Allina. Masih bercampur aduk berbagai macam pikiran dalam kepalaku.
"Kalau para dewa-dewi memang ada, lantas, mengapa kalian tidak pernah muncul di hadapan manusia?" tanyaku dengan nada hati-hati dan sedikit merendah, agar tak menyinggung sang Dewi Cuaca di depanku.
Gadis itu menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Bukannya kami tidak ingin, hanya saja tidak bisa. Kalau saja 'peristiwa itu' tidak pernah terjadi, kami takkan terkurung di sini untuk waktu yang lama."
"Peristiwa apa? Terkurung? Bagaimana bisa? Bukankah kalian itu dewa-dewi yang memiliki kekuasaan tak terbatas?"
Sang Dewi Allina langsung tertawa terbahak-bahak seraya memegang perutnya sendiri, seakan mendengar lelucon paling lucu yang pernah ia dengar. Sementara aku bergeming menunggu gadis itu selesai tertawa.
"Tak terbatas katamu? Sepertinya kau tidak tahu apa-apa, ya? Tapi itu wajar saja."
"…." Aku kembali terdiam setelah menelan tanda tanya besar.
"Kalau terus begini, kau mungkin akan mengadakan sesi wawancara denganku. Tapi itu takkan menyenangkan. Akan kujawab satu pertanyaan yang paling ingin kau tanyakan darimu."
"Cuma satu? Tidak bisa lebih?" Aku mencoba bernegosiasi.
Padahal ada banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padanya. Misalnya saja tentang Dewa-Dewi dan Kristal Roh. Juga tentang 'peristiwa itu' yang mungkin tanpa sengaja ia kelepasan bicara.
"Kalau kau ingin jawaban lainnya, kau bisa bertanya pada saudaraku yang lainnya. Kau berencana untuk mengumpulkan semua Artefak Suci, kan?"
"Artefak Suci?" tanyaku kebingungan. Akan tetapi setelah mencoba menyambungkan semua hal yang baru saja terjadi, barulah aku memahaminya. Sepertinya itu adalah sebutan Kristal Roh bagi dewa-dewi. "Ah, maksudnya Kristal Roh? Benar, aku memang berniat untuk mengumpulkannya. Tapi bagaimana kau tahu?"
"Kau pikir bagaimana aku bisa menciptakan dunia ilusi yang sama dengan duniamu? Itu karena aku membaca semua ingatan dalam kepalamu. Tidak ada yang tidak kuketahui tentangmu," ujar Dewi Allina dengan ceria. Padahal ia baru saja melakukan tindak kriminal dengan menerobos masuk ke dalam memoriku.
Apa semua orang tidak bisa memiliki privasi di hadapannya?
"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan padaku?"
Kali ini aku tertegun sebentar, mencoba tenang dan mengatur detak jantungku. Aku sedang berpikir tentang pertanyaan apa yang sebaiknya kutanyakan pada Dewi Allina.
Sebisa mungkin aku tak ingin mengajukan pertanyaan yang tidak penting, atau aku akan membuang-buang kesempatan. Jadi aku harus memikirkan apa yang sangat ingin kuketahui saat ini. Setelah beberapa saat aku berhasil merampingkan banyak pertanyaan menjadi tiga pertanyaan yang esensial.
Mengapa aku dan teman-temanku tertarik masuk ke dunia ini?
Mengapa aku berubah menjadi Haier-Elvian tidak seperti yang lain yang dengan wujud asalnya?
Yang terpenting, kenapa dari semua orang yang ada di Bumi, harus aku yang mengalami ini semua?
Kalau saja aku tidak bisa menenangkan pikiranku lagi, mungkin aku akan kelepasan melontarkan salah satu dari tiga pertanyaan itu. Untungnya aku bisa berhenti dan berpikir lebih jauh lagi.
Aku merasa jawaban dari tiga pertanyaan itu, masih bisa kudapatkan di sepanjang perjalananku. Berbeda dengan satu hal penting yang ingin kudapatkan jawabannya saat ini apa pun yang terjadi.
"Apa yang terjadi jika aku berhasil mengumpulkan semua Artefak Suci?" ucapku dengan nada yang dalam.
Ya, ini adalah hal paling penting yang mesti kudapatkan jawabannya saat ini. Karena itulah tujuanku memulai perjalanan ini. Jika hasilnya nanti tidak sesuai dengan yang kuharapkan, maka perjalanan ini semuanya akan terasa sia-sia.
Karena itulah aku harus menemukan arti tujuan dari perjalanan ini.
Dewi Allina menatapku lamat-lamat, lalu melempar senyum tipis padaku. Badannya dicondongkan ke arahku, tangan kirinya berkacak pinggang, sementara tangan lainnya menunjuk ke depan hingga menyentuh ujung hidungku.
"Pertanyaan yang bagus, Anggi! Kau langsung merujuk pada inti permasalahannya," serunya dengan raut berseri-seri. Rasanya seperti aku tengah menghadapi anak SMP baru yang bersemangat menjalani kehidupan sekolahnya.
Kalau dilihat dari fisiknya, mungkin benar ia seusia dengan anak SMP di duniaku sebelumnya. Entah mengapa aku merasa jiwanya pun memang masih seperti anak-anak. Lebih tepatnya seperti anak dari keluarga terpandang yang manja, yang menganggap semua hal bisa didapatkan dengan merengek.
Sungguh, aku tidak tahu cara menghadapi orang seperti ini.
"Untung saja aku tahu jawabannya. Kalau tidak, kesempatanmu akan terbuang percuma," sambung Dewi Allina seraya tertawa kecil.
Tunggu. Jadi aku bisa kehilangan kesempatan jika menanyakan hal yang tidak ia tahu?
Sialan! Dia tidak bilang apa-apa sebelumnya, dan baru saja memberitahuku dia takkan bertanggung jawab jika aku melakukan sedikit kesalahan? Ditambah lagi, caranya tertawa benar-benar membuatku membencinya.
Aku mencengkram erat tanganku. Jika saja dia bukan seorang dewi, aku sudah akan menampar pipinya dengan keras dan menjambak rambutnya.
Kupejamkan mata, dan menghela napas panjang. Sekali lagi, aku terpaksa harus menenangkan kepalaku dan menahan frustasi. Mau bagaimana pun juga, yang di depanku adalah seorang dewi sungguhan. Aku tak tahu apa yang terjadi bila aku melawan seorang dewi.
"Jadi, apa kau tahu sesuatu?" tanyaku dengan nada merendah dan memasang senyum yang dipaksakan pada wajahku.
Dewi Allina terdiam sejenak, kemudian membuka mulutnya. "Seperti yang mungkin sudah kau tahu, Artefak Suci adalah sumber kekuatan kami. Setiap artefak memiliki kekuatan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Tapi hanya ada satu artefak yang berbeda dari yang lainnya, karena artefak ini tidak bisa digunakan sesuka hati. Tidak seperti yang lainnya. Kau tahu kenapa?"
"Tidak," jelasku dengan menggelengkan kepala. Lagipula jika dia sudah melihat ke dalam pikiranku, seharusnya ia sudah tahu jawabannya.
"Itu karena artefak khusus ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Benda itu dapat mengabulkan setiap keinginan tanpa terkecuali. Bahkan jika kau berharap dunia ini hancur dan langit runtuh, hal itu pasti terkabulkan."
"Itu ... Kristal Roh Harapan, Nadziedja."
"Ya, kau benar, anak manusia! Artefak Suci milik Kakak Shakilla memang yang paling kuat di antara kami bersaudara. Untuk itulah Kakak Inggra, membuat Artefak Suci Nadziedja tidak bisa sembarang digunakan meskipun oleh Kakak Shakilla sendiri. Tapi bukan berarti Nadziedja tidak bisa digunakan sama sekali. Artefak Suci itu bisa digunakan hanya dengan satu syarat," jelas Dewi Allina dengan raut serius, sembari mengangkat jari telunjuknya padaku.
Aku dia membisu. Mencoba menelan ludah dengan berat di tengah percakapan penting ini.
"Kondisi yang dibutuhkan untuk menggunakan Nadziedja adalah ... persetujuan dari para pemegang Artefak Suci. Karena setiap permohonan bisa saja menguntungkan atau merugikan orang lain, Kakak Inggra memutuskan untuk menggelar pertemuan setiap kali Nadziedja akan digunakan untuk meminta pendapat dari saudara-saudari kami. Tapi tidak harus meminta persetujuan semua orang, sih. Nadziedja digunakan setelah mendapat sedikitnya delapan suara dari sebelas pemegang artefak. Yah, itu sekitar dua per tiganya."
Aku masih melongo setelah mendengar celotehan Dewi Allina. Dari sudut pandangnya, mungkin aku akan tampak seperti orang bodoh yang kebingungan dengan mulut terbuka.
Ya ampun! Ketika Dewi Allina mengatakan hanya bisa menjawab satu pertanyaan saja, kukira akan sulit untuk mengorek informasi darinya. Tapi lihatlah ini! Dia melontarkan banyak sekali informasi penting dalam satu tarikan napas. Jawaban dari beberapa pertanyaan yang tersisih—karena aku harus menyiapkan satu pertanyaan saja, terjawab olehnya dalam paragraf panjang yang keluar dari mulut gadis ini.
Jika harus kusimpulkan, ada beberapa poin penting dari ucapan Dewi Allina.
Pertama, ini mungkin cukup mengejutkan, fakta bahwa para dewa-dewi sebenarnya adalah para pemegang Artefak Suci yang memiliki kekuatan di luar nalar. Ini menguatkan informasi yang kudapatkan secara samar saat berada di perpustakaan Glafelden yang mengatakan bahwa, para dewa-dewi sebenarnya hanyalah manusia yang memiliki kekuatan dari Kristal Roh.
Tapi apakah benar mereka hanya manusia? Aku tidak yakin.
Kedua, para dewa-dewi sebenarnya bersaudara. Ini kuketahui dari Dewi Allina yang berulang kali menyebut 'Kakak' untuk para dewa-dewi lainnya. Aku berasumsi Dewi Allina adalah salah satu yang termuda, karena dia tidak pernah menyebut dewa-dewi lainnya dengan sebutan 'Adik'.
Pantas saja sifatnya begitu kekanakan!
Ketiga, ini adalah poin paling penting yang berkaitan langsung dengan perjalananku. Kristal Roh Nadziedja benar-benar bisa mengabulkan permohonan apa pun itu! Itu artinya, mungkin aku dan teman-temanku sungguh dapat kembali ke dunia asal. Hanya saja aku harus mendapatkan persetujuan setidaknya dua per tiga dari kesebelas dewa-dewi.
Ya ampun! Mereka ini para dewa-dewi atau anggota MPR, sih?
Mengesampingkan itu, aku merasa senang. Kenapa? Ya, karena aku sungguh mendapat titik cerah setelah setahun berada di dunia ini dan tak bisa kembali. Ditambah lagi, informasi ini benar-benar valid karena bersumber langsung pada narasumber aslinya.
Namun ada lagi yang mengganjal pikiranku. Itu adalah keberadaan 'Strigifavorus'. Aku harus mencari tahu tentang keberadaan monster itu dari Dewi Allina.
Mengetahui mulut gadis itu yang ember, membuatku merasa takkan sulit untuk sekali lagi mengorek keberadaan informasi darinya.
Di detik berikutnya, aku tersenyum lebar, kemudian menjilat bibirku sendiri. Aku menemukan cara licik untuk mengeksploitasi kebodohan dewi yang berada di depanku.