"Yura, kenapa bukan kamu yang mati? Kenapa harus Dion?"
Di ranjang rumah sakit, Yura yang tampak pucat dikelilingi dengan tabung dan masker oksigen besar menutupi wajahnya. Ia nyaris tidak bisa membuka matanya dan napasnya sesak.
Di sampingnya, ada pacar Rendy yang bernama Marissa. Ia mencubit dagu Yura. Wajahnya yang menawan dipenuhi dengan kebencian dan kecemburuan.
"Dion saat ini sedang di masa kejayaannya, tapi ia harus meninggal karena dirimu. Apakah menurutmu jika kau muncul sekarang, orang lain tidak akan menyalahkanmu? Dan juga siapa yang tahu bahwa Tara sengaja menabrak mobilmu dan membiarkanmu terbaring di sini," ucap Marissa dengan nada ketus.
Ia melanjutkan, "Sejak awal, kau dan aku berteman dekat dengan Dion. Aku benar-benar tidak mengerti, jelas aku lebih cantik darimu, dan keluargaku lebih baik darimu, mengapa dia sangat mencintaimu dan bahkan tidak pernah melirikku sekali pun? Sayang sekali kau adalah gadis bodoh dan lebih memilih Tara. Mengapa menurutmu Tara baik padamu selama ini? Bukankah itu demi reputasinya?"
Yura belum selesai, ia menambahkan dengan panjang lebar, "Tak disangka, tenggorokanmu tiba-tiba menjadi serak dan kau tidak bisa bernyanyi lagi. Hahahaha. Lihatlah, sekarang di dunia musik, apakah ada yang mengingatmu sebagai diva?"
Melihat mata Yura semakin dipenuhi oleh rasa kesal, Marissa tersenyum semakin bangga. Ia berkata, "Aku rasa kau masih belum paham, jadi izinkan aku memberitahumu satu hal lagi. Apakah kau ingat, di rumah sakit ini lima tahun yang lalu? Akulah yang diam-diam menambahkan sesuatu ke dalam obatmu ketika aku datang mengunjungi dirimu yang sedang sakit."
Masih berusaha membuat Yura emosi, Marissa melanjutkan kata-katanya, "Jangan marah. Bukan hanya suaramu, bahkan lagu yang kau tulis dengan susah payah selama bertahun-tahun tidak ada yang membuahkan hasil. Setelah kerja kerasmu selama bertahun-tahun, kini semua karyamu sudah diakui sebagai karya orang lain!"
Marissa menceritakan tentang perselingkuhan Tara, pacar Yura, dan Farah. Yura menutup matanya dengan putus asa. Adegan pria dan wanita yang berselingkuh berputar-putar dalam pikirannya.
Ketika Yura pertama kali bertemu Tara, ia hanyalah seorang penyanyi biasa, lalu Yura membantunya selangkah demi selangkah dan memulai sebuah perusahaan dengannya.
Sejak tenggorokannya mengalami masalah, Yura berkarya di balik layar. Ia membantu Tara dengan sepenuh hati, menulis lagu untuknya dengan semua kerja kerasnya. Ia bahkan memberikan dana jika ia meminta sponsor.
Ketika saham perusahaan anjlok, Yura tidak bisa tidur dan kakinya hampir patah. Di saat yang sama, ternyata Tara dan wanita itu pergi ke Hawaii untuk berlibur atas nama pekerjaan.
Yura tidak tahu sudah berapa banyak pertengkarannya dengan Tara. Ia bahkan pernah menawarkan diri untuk putus dengannya.
"Apa kau menyesal sekarang karena lebih memilih Tara daripada Dion?" Marissa menaikkan salah satu sudut bibirnya dan tersenyum. Matanya masih menatap dengan penuh kebencian, "Jangan khawatir, aku akan mengantarmu ke pemakaman Dion."
Begitu selesai bicara, Marissa mencabut selang penyuplai oksigen yang tersambung ke Yura dan berjalan keluar tanpa melihat ke belakang.
Dengan oksigen yang semakin sedikit, Yura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan putus asa. Ia mencoba bernapas sekuat tenaga. Ia tidak ingin mati!
Kesadaran Yura berangsur-angsur hilang. Di saat terakhirnya, yang muncul di depannya adalah saat Tara sedang memberhentikan mobilnya. Tubuhnya tinggi, dan punggungnya tegak seperti dinding besi. Pria itu seolah mampu melindunginya dari segala angin dan hujan.
Tapi, semua sudah berubah. Yura sekarang sangat membenci Tara. Ia benci kekejaman takdir, tapi ia lebih membenci kebodohannya sendiri. Jika ia tidak dibutakan oleh bajingan itu, Dion tidak akan mati.
Air mata jatuh dari pipinya.
"Maaf. Maafkan aku, Dion," Yura berbicara dengan susah payah, seolah itu adalah kekuatan terakhirnya. Jika ada akhirat, ia berjanji untuk menggunakan segalanya untuk membalas Tara si bajingan itu!
Semuanya gelap sekarang. Tubuh Yura terasa semakin berat. Ia merasa seolah baru saja menyelesaikan tugas yang berat. Bau disinfektan menyeruak, Yura membuka matanya dengan lelah. Langit-langit berwarna putih masih di depan matanya. Ia melihat sekeliling. Ada bangsal yang rapi penuh dengan peralatan medis.
Ini ... rumah sakit? Pikir Yura.
"Apakah aku masih hirup?" Yura bergumam pada dirinya sendiri. Ia tiba-tiba menemukan bahwa tabung infus dan masker oksigen yang tadi dipakainya sudah tidak ada, dan tubuhnya sekarang tidak begitu sakit.
Begitu Yura ingin bangun, sepasang tangan dingin mencengkeramnya, "Jangan bergerak.".
Suara pria itu berat, tapi kata-katanya terdengar lembut sekali.
Yura segera menghentikan gerakannya, tapi bukan karena dia patuh. Ia merasa sangat akrab dengan pria ini!
Pangkal hidungnya cantik. Alisnya seperti pedang yang bisa memancarkan aura dingin. Yura menatapnya, meskipun dia hanya duduk dengan santai, seluruh tubuh pria itu memancarkan aura bangsawan.
Yura menatapnya dengan tatapan kosong, seolah-olah masih berusaha bernapas saat ini. Detik berikutnya, ia ingat dengan jelas siapa pria ini.
"D-Dion. Kau ... kau benar-benar Dion?" kata Yura sangat bersemangat hingga dia tidak bisa berbicara dengan jelas.
Dion tertegun, melihat Yura yang menangis terisak. Ada raut kepanikan yang muncul di wajahnya yang selalu dingin. Setelah hening beberapa saat, dia memegang bahu Yura dengan kedua tangannya. Ia menariknya ke pelukannya.
"Apa menurutmu aku akan memaafkanmu jika aku memelukmu seperti ini?" Alis tampan Dion sedikit mengernyit.
Tapi reaksi Yura di luar dugaannya. Ia melihat Dion dengan bibir yang bergetar dan ekspresinya tertekan, "Aku tahu aku salah, dan aku akan mendengarkanmu lain kali. Tara adalah bajingan. Ia adalah pembohong!"
Marissa, yang mendorong pintu masuk, mendengar suara Yura dan menjatuhkan botol obat di tangannya karena terkejut.
Yura tiba-tiba menjadi kaku karena kehadiran Marissa. Ia teringat dengan adegan saat dirinya mencabut selang oksigen. Yura langsung menarik selimutnya dengan ketakutan, "Kau tidak boleh datang ke sini! Pergi!"
"Yura, apa yang kamu bicarakan? Aku mendengar dokter berkata bahwa kamu sudah sadar, jadi aku datang ke sini untuk memberimu obat," jawab Yura gugup.
"Memberi aku obat? Kenapa kau begitu baik padaku sekarang?" Yura memiringkan kepalanya. Ia baru saja akan mengusir Marissa, tapi kini ia tiba-tiba merasa ragu.
Yura benar-benar kebingungan saat ini. Banyak pertanyaan muncul di benaknya. Ada apa dengan suaranya? Kenapa tidak serak? Yura buru-buru mengulurkan tangannya untuk menyentuh perutnya. Bagaimana mungkin dia bahkan tidak memiliki bekas luka akibat kecelakaan mobil yang baru saja terjadi?
"Yura, ada apa denganmu? Apakah kamu ketakutan karena berada di dalam air tadi?" Marissa berjalan ke arahnya. Meskipun dia peduli pada Yura, dia diam-diam melirik ke arah Dion.
Di dalam air? Yura mengerutkan kening.
Yura benar-benar jatuh ke dalam air untuk mencari kalung dari Tara yang hilang. Ia dengan bodohnya melompat turun dan berenang di danau yang dingin sepanjang sore.
Akhirnya kalung itu tidak ditemukan. Yura jatuh sakit karena masuk angin. Ia demam tinggi di rumah sakit selama beberapa hari.
Tapi bukankah itu lima tahun yang lalu? Pikir Yura.
"Tahun berapa sekarang?" Yura bertanya dan menatap Dion dengan serius.
"2013," jawab Dion singkat. Mata Dion tiba-tiba menjadi sedikit khawatir, mungkinkah gadis bodoh ini kehilangan ingatannya setelah demam?
Nafas Yura tersendat. Ia langsung melonjak tidak percaya. Dia dilahirkan kembali! Mungkinkah Tuhan mengira nasibnya terlalu menyedihkan, jadi Tuhan memberinya kesempatan lagi?