Dari arah pisau angin yang melayang dan menebas badan Strigifavorus, tampak satuan pasukan berkuda yang cukup banyak. Mereka muncul bergerombol dari arah luar kota dengan baju zirah lengkap dengan senjata dan perisai. Ada pula satu regu yang tidak mengenakan armor, melainkan jubah hitam panjang sampai selutut. Dari senjata di tangan mereka yang hanya sebuah viglet, menjelaskan bahwa regu ini merupakan para pengguna Esze terpilih. Seseorang yang memimpin pasukan ini maju dengan kecepatan penuh dengan kudanya yang begitu lihai melewati akar pohon Hanarusa Raksasa. Pria Elvian muda dengan gaya rambut khasnya yang dikuncir itu adalah Pangeran Ketiga Kerajaan Elvian Barat, Keylan.
Pria itu memberi perintah pada semua pasukan di bawah komandonya untuk menyerang Strigifavorus dengan pola serangan terstruktur.
"Peleton 71 dan 12 kepung target dari dua sisi! Peleton 91 pojokkan target ke arah yang ditentukan! Regu pemanah dan Perapal Esze bersiaplah menembak saat ada aba-aba dariku!" Keylan sibuk memerintah semua pasukan agar sesuai dengan rencana yang sudah ia canangkan.
Bagai pasukan elit terlatih, semua ksatria bergerak sesuai arahan komando dengan cepat. Dua kelompok berkuda mengepung Strigifavorus dari dua arah yang berbeda, mereka menunggangi kuda sembari mengitari Sang Monster. Kuda-kuda mereka sangat tangguh seperti milik Indra dan Erik, mampu melewati akar-akar pohon yang menghalangi. Kuda milik ksatria sepertinya bukanlah sembarang kuda yang bisa ditemui di mana saja.
Suara ringkikan kuda memecah keheningan hutan, bergema riuh di antara kanopi pepohonan yang rapat. Perhatian Strigifavorus tampak terpecah, sepertinya ia cukup waspada dengan dua kelompok itu. Ia memutar badannya dan menolehkan kepala secara perlahan, mencoba untuk tidak menciptakan titik buta sembari memusatkan fokus pada dua kelompok yang mengitarinya bergantian. Entah apa yang dipikirkannya, monster burung hantu itu mengepakkan sayapnya dan berniat terbang jauh dari situ.
"Perapal Esze, tembak monster itu jatuh!" teriak Pangeran Keylan.
Regu yang terdiri dari perapal Esze segera melakukan perintah Pangeran Keylan, mereka mengarahkan viglet ke atas. Dalam sekejap aliran Esze berwarna hijau gelap terpancar dari ujung tongkat dan mengarah pada Strigifavorus yang terbang di udara. Aku sampai dibuat takjub melihatnya. Esze yang mengenai tubuh monster berubah menjadi seperti sulur tanaman yang membelenggu Strigifavorus.
Meski monster itu memberontak dengan seluruh tenaganya, namun tidak cukup menandingi kekuatan sulur Esze yang dirapal pengguna Esze terpilih dari kerajaan ini. Aku melihat kelompok itu dengan susah payah berusaha untuk menjatuhkan Strigifavorus. Dalam beberapa detik ke depan, terjadi adu kekuatan antara mereka dan Sang Monster. Pada akhirnya, regu Perapal Esze mampu menjatuhkan monster burung hantu itu ke atas tanah.
"Semuanya, seraaang!" perintah Pangeran Keylan dengan suara lantang, mengalahkan pekikan monster yang merana.
Dua kelompok berkuda yang sebelumnya dibagi dua, kini menyerang Strigifavorus dengan senjata mereka. Pasukan kavaleri mengayunkan pedang mereka, pasukan pemanah melepaskan ratusan anak panah. Serangan dari berbagai arah menghujani monster itu, menjadikannya sasaran yang empuk.
Tubuh raksasa Strigifavorus kini bersimbah darah oleh serangan para pasukan yang membabi-buta. Teriakan burung itu tak dipedulikan, semua orang tampak melampiaskan amarah pada Sang Monster.
Tenagaku kini sudah pulih, dan aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Dimas datang mendekatiku dan membantu tubuhku yang masih sedikit lemas.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu dengan wajah cemas. Tampak jelas di wajahnya yang sedikit pucat dan berkeringat, rasa kekhawatiran yang berlebih. Kedua tangannya memegangi bahuku dan membuatku mau tak mau mengunci langsung bola matanya.
"Tidak apa-apa. Setidaknya aku masih hidup untuk saat ini," jawabku dengan datar, kemudian melempar pandanganku ke arah para tentara Elvian. "Itu Keylan, kan? Kenapa ia bisa ada di sini?"
"Justru aneh kalau para telinga panjang itu diam saja setelah salah satu kotanya hancur terbakar."
Mataku masih mengamati pertarungan tentara Elvian dengan Strigifavorus. Instruksi yang diberikan Keylan benar-benar efektif dan dipatuhi oleh seluruh pasukannya. Sungguh berbeda melihatnya sekarang. Ini adalah sisi lain yang baru pertama kali ia tunjukkan padaku.
Dulu aku melihatnya seperti anak bangsawan kaya raya yang memiliki posisi tinggi. Saat ini, Keylan menjadi sosok pemimpin yang berani dan berwibawa tinggi. Itu membuatku sedikit kagum.
Dimas yang masih memegang kedua bahuku menggoyang-goyangkan badanku guna membuatku menatap wajahnya kembali.
"Anggi, dengarkan aku! Kupikir ini adalah saat yang tepat untuk kabur. Tentara Elvian itu pasti tidak akan melepaskan kita setelah ini semua berakhir."
Kata-kata yang ia lontarkan membuatku tercengang. Bagaimana tidak? Ia mengusulkan ide tentang melarikan diri setelah apa yang telah kami perbuat.
Memang benar, mungkin para Elvian itu takkan membiarkan kami bebas begitu saja setelah pertempuran ini berakhir. Namun aku menolak untuk meninggalkan tanggung jawabku begitu saja. Aku masih memiliki keterikatan dengan pertarungan ini.
"Aku tidak mau," jawabku tegas. "Meskipun mereka harus mengurungku lagi nanti, aku nggak mau kabur gitu aja!"
"Apa yang kau pikirkan, Bodoh! Kalau tidak sekarang—."
"Apa kau lupa kalau kita lah yang menyebabkan kekacauan ini!?" pekikku dengan lantang tepat di depan hidungnya. Aku memelototinya bulat-bulat, menikmati ekspresi ngeri yang Dimas tunjukkan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Sepanjang persahabatan kami berdua, aku sudah sering bertengkar dengannya hingga nyaris tak terhitung. Namun biasanya itu adalah perselisihan yang sangat sepele, bahkan terhitung gurauan semata. Sangat jarang kami berkonfrontasi dengan begitu emosional seperti ini.
Mataku masih menatapnya tajam hingga pria itu tampak kebingungan. Ia mencoba memegang tanganku, namun aku segera menepisnya.
"Kalau aku melarikan diri dari sini, rasa bersalah akan menghantuiku selamanya," ucapku lantang seraya membalikkan badan, kemudian mencoba berjalan mendekat ke area pertarungan para Elvian dan Strigifavorus.
Medan pertempuran berada di atas tanah yang sedikit lapang karena pohon Hanarusa di sekitar yang tumbang bagai korek api, akar-akarnya tercabik dari bumi. Tanah yang semula ditumbuhi dedaunan kini hancur dan berlubang. Si Jago Merah melahap beberapa pepohonan dan bangunan di sekitar, memanggang tubuh-tubuh yang tergolek tanpa kehidupan. Bau daging hangus terbakar menyengat hidung, bercampur dengan asap tebal membubung tinggi. Aku tidak akan pernah melupakan sensasi ini seumur hidup. Inilah medan pertempuran yang takkan pernah kualami di dunia sebelumnya.
Strigifavorus yang terbelenggu oleh sulur-sulur magis mulai tak bisa bergerak leluasa. Kedua sayap monster itu telah patah, menyisakan dua sayap lagi yang tak mampu mengangkat bobot tubuhnya terbang ke angkasa. Monster burung hantu itu masih melakukan perlawanan, meski tubuhnya terbelenggu, lehernya memutar ke sekeliling guna menyemburkan api kepada tentara Elvian yang mendekatinya.
Di sisi lain, tentara Elvian yang dalam semangat tinggi menyerang dengan formasi yang solid. Mereka akan mundur jika menjadi sasaran semburan api Strigifavorus, bersamaan dengan itu regu lainnya akan melemparkan lembing, panah, sabetan dan tusukan pedang pada monster itu. Aku turun dari atas pohon dengan perlahan, tubuhku masih sakit dan terluka karena menghantam batang pohon sebelumnya. Seseorang dari tentara Elvian menyadari keberadaaanku dan meninggalkan formasinya di regu kavaleri. Itu adalah Pangeran Keylan.
Elvian berkuncir itu segera turun dari atas kudanya dan mendekat ke arahku. "Apa kau baik-baik saja, Anggi?"
"Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menolongku sebelumnya," jawabku lirih, rasa bersalah membuat mataku tak sanggup bertemu dengan tatapannya. Kulemparkan pandanganku jauh ke depan. "Maaf sudah membuat kotamu jadi seperti ini. Karena ulahku aku membuat banyak kaummu terbunuh."
Keylan menghela napas panjang. "Jadi benar ini semua karena Kristal Roh itu?"
Mulutku kaku, tidak mampu melontarkan kata-kata lagi. Aku menunduk malu.
"Anggi, tidak ada yang tahu semua akan berakhir menjadi seperti ini. Mungkin ... sebagian adalah salahku yang tidak menemanimu mencari Kristal Roh itu. Tapi semuanya sudah terjadi. Meskipun kamu menyesal atau menangis sekalipun, mereka yang gugur tidak akan pernah kembali. Jadikan ini pelajaran, dan lihatlah ke depan."
Aku mengangkat kepalaku, melihat Strigifavorus yang masih berjuang di akhir hidupnya. Darah bercucuran dari lubang-lubang di tubuhnya. Jeritan kesakitannya memekik menggema seakan meminta pengampunan.
"Apa monster itu akan mati?" tanyaku seraya tetap memandang ke depan.
"Aku harap begitu."
Hutan Hanarusa yang biasanya senyap telah menjadi medan pertempuran yang membara. Cahaya Rubiel keperakan menembus celah-celah dedaunan, menerangi wajah para Elvian yang bermandi keringat dan darah. Panah-panah meluncur membelah kegelapan, menghantam bulu-bulu api Strigifavorus yang mengamuk. Raungan monster burung hantu itu menggema di antara pepohonan, mengguncang bumi.
"Serang!"
"Habisi dia!"
"Bunuh!" teriakan para Elvian menggema kencang ke seluruh penjuru hutan.
Bersamaan dengan Strigifavorus yang mulai kehilangan tenaganya, prajurit Elvian mulai menghunuskan pedangnya ke arah Sang Monster untuk menghabisi nyawanya. Setelah dihujani serangan yang berbagai jenis, monster itu sudah tidak bisa melawan lagi. Bulu-bulu apinya yang berpijar kini sudah padam. Tubuhnya kini dipenuhi luka dan darah segar. Napasnya yang membara mulai melemah, api yang keluar dari mulutnya pun semakin kecil.
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Strigifavorus itu mencoba bangkit. Namun, sebelum ia berhasil, sebuah panah tepat mengenai matanya. Monster itu meraung kesakitan, tubuhnya ambruk ke tanah. Ia menggeliat-geliat kesakitan, napasnya terengah-engah. Cahaya di bola matanya mulai meredup, hingga akhirnya padam.
Hening seketika menyelimuti seluruh hutan. Para Elvian saling memandang dengan penuh tanda tanya. Seorang tentara memberanikan diri untuk mendekat ke arah kepala Sang Monster, ia menancapkan pedangnya ke arah leher monster dan memastikan tidak ada denyut nadi di sana.
"Strigifavorus telah mati!" teriaknya kencang.
Terdengan sorakan kemenangan dari para tentara Elvian yang menggema di antara pepohonan. Para tentara Elvian, dengan wajah berlumuran darah dan keringat, saling berpelukan dan bersorak kegirangan. Senjata-senjata mereka teracung ke langit, berkilauan di bawah cahaya Rubiel.
"Kita menang! Kita menang!"
"Monster itu sudah mati!"
Teriakan gembira saling sahut-menyahut di antara mereka. Para prajurit melontarkan sorakan yang lebih keras. Mereka berputar-putar, melompat-lompat kegirangan, meluapkan semua emosi yang terpendam selama pertempuran.
Rasa bahagia turut menyertaiku. Meski memang aku yang menyebabkan bencana ini, aku merasa sangat lega teror Strigifavorus ini dapat dihentikan. Aku langsung terduduk lemas, terkulai tidak berdaya seakan semua tenaga keluar dari dalam tubuhku. Kepalaku tertunduk lesu. Seluruh emosi dan rasa sakit keluar dari tubuh ini melalui air mata yang mengalir deras dan jatuh ke bawah pipiku.
Aku merasa sangat lega dan berterima kasih bahwa kengerian ini sudah berakhir.
Tangisanku pecah, membasahi pipi yang selama ini menahan beban ketakutan. Air mata mengalir deras, membilas habis segala ketegangan dan kepanikan yang telah menyelimuti hati ini. Aku menangis sejadi-jadinya, seolah ingin mengeluarkan semua emosi yang terpendam. Mulai dari rasa bersalah karena membawa bencana yang merenggut nyawa banyak orang, hingga rasa lega setelah memastikan bencana ini telah berakhir.
Sebuah sapu tangan tersodor di depan mukaku. Melihatku yang tak kuasa mengangkat tangan, Pangeran Keylan menunduk dan mengelap air mata di pipiku. Tatapannya yang teduh terasa sangat hangat. Entap apa yang merasukiku, aku langsung mendekap Elvian itu dan menangis di dadanya. Pangeran Keylan tidak menyalahkan dan menyudutkanku yang telah membawa bencana pada kaumnya. Sebaliknya, Elvian itu malah memberikan senyum hangat kepadaku.
Karena itulah ... tidak mungkin aku tidak menangis karenanya.
Pria itu balas mendekapku erat dengan sebelah tangannya, sementara tangan satunya ia gunakan untuk mengelus-elus belakang kepalaku. Namun hal yang menggembirakan itu tak berlangsung lama, karena aku menyadari keheningan tiba-tiba di hutan ini.
Sorak-sorai kemenangan yang baru saja menggema kini terhenti mendadak. Para Elvian yang semula kegirangan, kini terpaku menatap pemandangan di hadapan mereka dengan tak percaya. Tubuh Strigifavorus kini bercahaya terang, mengalahkan sinar rembulan dan bahkan menjadi sumber cahaya utama di kegelapan malam ini. Setelah sinar itu lenyap, semua orang di sini tampak terpaku dan menatap ngeri. Strigifavorus yang mereka anggap telah mati, perlahan-lahan bangkit dari atas tanah.
Sulur-sulur magis yang sebelumnya membelenggu kuat, kini putus dengan mudah seakan-akan terbuat dari akar rumput. Bulu-bulu yang sebelumnya rontok dan berdarah kini terlihat utuh dan berkilau. Tidak seperti sebelumnya yang membara, bulu-bulunya kini memancarkan aura kegelapan pekat, seolah ia adalah perwujudan malam itu sendiri. Luka-luka menganga di tubuhnya telah tertutup sempurna, seperti tidak pernah ada bekas luka sama sekali. Tubuhnya yang semula besar kini terlihat lebih besar dan mengerikan. Mata merah menyala menatap tajam ke arah para Elvian, memancarkan aura kemarahan yang luar biasa.
"Tidak mungkin..." gumamku parau. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Strigifavorus yang dianggap telah mati, kini kembali hidup dengan kekuatan yang lebih besar untuk kedua kalinya.
Para Elvian lainnya juga sama terkejutnya. Mereka terdiam seribu, wajah mereka pucat pasi. Beberapa di antara mereka mulai mundur perlahan, ketakutan mencekik dada mereka.
Strigifavorus itu meraung keras, suara gemuruhnya mengguncang seluruh hutan. Tanah bergetar hebat, pepohonan Hanarusa tumbang. Dengan gerakan cepat, monster itu terbang ke udara, bayangannya menghalangi cahaya Rubiel.
"Mundur!" teriak Pangeran Keylan. Para Elvian segera berhamburan, berusaha menyelamatkan diri. Namun, monster itu terlalu cepat. Ia mengejar mereka dengan penuh amarah, menebarkan api di mana-mana.
Hutan yang sebelumnya riuh kerena sorak-sorai bahagia para tentara kini kembali menjadi medan perang. Tentara Elvian berjuang mati-matian melawan monster yang tak terkalahkan. Panah-panah dan pedang mereka tak mampu menembus pertahanan Strigifavorus yang kuat. Satu per satu, mereka pun gugur.
Aku menatap ke atas langit dengan merasa putus asa. Menyaksikan monster itu membakar tentara Elvian dan seisi hutan ini.
"Bagaimana bisa?" gumamku lirih. "Bagaimana bisa ia kembali hidup?"