Tenang sekali sikapnya! Seolah tak terjadi apa-apa! Menyebalkan! Geram Misaki dalam hati.
"Sini!" Ia meraih bungkusan plastik dengan kasar, buku-buku tangannya dipenuhi plester, "Kenapa semua cuma masing-masing satu?"
Sadako mini market itu menegakkan badan, kakinya mundur selangkah, kaget. Pipinya merona melihat Wataru yang bertelanjang dada, hanya memakai celana jeans hitam. Misaki menundukkan pandangan.
"Dasar tak tahu malu!" bisiknya pelan.
Matanya melirik ke arah tangan wataru yang diberi plester.
Terluka? Kenapa? Misaki termenung sesaat.
Kenapa ia mesti pusing memikirkannya, sih? Apa pedulinya pada lelaki itu? Ia kekeuh menghindari kontak mata, dan berkata judes. "Toshio-san tidak bilang beli lebih dari satu, kan?"
"Wataru-kun? Kau sudah bangun?" teriak seorang perempuan dari arah kamar.
Wataru menyandarkan bahu kanannya menahan daun pintu, menatap dingin Misaki sambil menjawab pertanyaan itu dengan santai. "Ya. Ini makanan untukmu."
"Heeeee??? Makanan? Asyik!" suara itu semakin mendekat.
"Ini. Kau pasti lapar, Mika. Ada pereda pengar juga di dalamnya." Ia menyodorkan bungkusan itu pada perempuan manis berambut gelombang sebahu. Di tubuhnya hanya mengenakan kemeja putih lengan panjang kebesaran tanpa bawahan apapun. Wajahnya terlihat berantakan dan kacau akibat hangover.
Misaki yang tak sengaja melihat ini, menundukkan pandangan kembali. Malu bercampur jijik.
"Kyaaaa!!! Wataru-kun~ memang yang terbaik! Tahu saja mauku apa! " Mika menyabet cepat bungkusan itu dan mengecup cepat pipi Wataru, gerakan tubuhnya tidak fokus.
"Aku permisi dulu." Misaki tetap menundukkan pandangan.
"Tunggu. Ambil uang penggantinya. Berapa?"
"Tidak usah. Tidak apa-apa."
"Berapa? Sudah kubilang, kan, tak ada hutang budi dalam kamus hidupku."
Mika tertarik melihat hal ini, ia mengintip ke arah pintu. "Siapa?"
"Ah... Jasa antar makanan." Ia tersenyum lembut dan teduh.
"Oh. Aku ambilkan uangnya, ya, berapa?"
"Kau dengar? Berapa katanya."
"Se-seribu tujuh puluh yen."
"Ambilkan uangnya. Ada di laci meja kerja."
"Baik~!" Mika meruncingkan mulut mengamati Misaki yang agak aneh menurutnya, lalu berjalan oleng kembali ke dalam, kepalanya dipijit-pijit dan bergumam tidak jelas.
Beberapa detik, mereka berdua terdiam satu sama lain, lalu Wataru melihat kacamata Misaki yang diberi isolasi, ia pun penasaran.
"Kenapa kacamatamu?"
"Rusak saat jatuh di toilet hotel waktu itu." Ia memiringkan badannya, menghindari Wataru.
"Hmmm..."
Mulut lelaki itu terbuka sedikit, masih penasaran, tapi ia lebih memilih menutup mulut.
Wataru berganti posisi, menyilangkan tangan, bersandar pada rangka pintu dengan sebelah kaki menahan bagian bawah pintu.
Lirikan matanya mengamati Misaki yang tertunduk gelisah, separuh badannya kini membelakangi pintu dengan tote bag dicengkeram erat-erat ke tubuhnya.
Sudut bibir lelaki itu tertekuk.
"Ingat untuk meluruskan rambut seperti sedia kala. Jangan coba-coba menarik perhatian pria lain saat terikat kontrak denganku. Tak ada yang boleh mengganggu milikku selama masih berada dalam genggamanku."
"Mi-milikmu?" Misaki nyaris berteriak, tubuhnya menghadap Wataru, cepat ia menahan kepalanya untuk menatap lelaki itu.
"Kenapa? Keberatan? Lupa dengan kontraknya?"
"Me-mengenai itu. Apa bisa kontraknya dibatalkan saja? Aku juga belum mencairkan uangnya. Aku juga sudah menemanimu ke acara reuni itu. Lagi pula, kontraknya juga tidak formal. A-aku tidak akan menuntut apa-apa. Anggap saja kita impas." Misaki tak berani menatap mata lelaki itu, kedua tangannya dingin ketakutan, jantungnya berdebar keras menunggu jawaban.
Wataru tak langsung merespon, kepalanya ditolehkan, mengamati Misaki lekat-lekat.
Dengan ketenangan luar biasa, lelaki itu membalas. "Mau formal atau tidak. Aku yang tentukan. Sudah kubilang aku tidak suka hutang budi. Besok, aku akan menyiapkan kontrak baru kita. Kebetulan kau menyinggungnya, siapkan hanko jitsuin-mu (stempel resmi)."
"Apa? Hanko jitsuin? Untuk apa?" kali ini, Misaki menegakkan kepala, terkejut dan marah.
Kenapa tiba-tiba ia berkata begitu? Misaki memucat, kedua tangannya gemetar.
Dalam hati, berdoa agar mimpi buruknya tidak menjadi kenyataan.
Tangan sang playboy membuka penuh pintu apartemen. Tubuh lelaki itu terlihat santai menghadap Misaki, kedua tangannya dimasukkan ke saku, dengan wajah ogah-ogahan nan menyebalkan, ia berkata. "Aku berubah pikiran. Western style sepertinya tidak cocok untuk kontrak kita. Keseringan urus bisnis di luar negeri, bikin aku terlalu terbuka dan modern."
Kaki perempuan itu kembali mundur selangkah. Perasaannya tak enak.
"Menghilangkan gelang, mangkir selama lebih seminggu dari kontrak, dan juga menghilangkan baju mahal yang kau pakai, lalu menukarnya dengan pakaian yang lebih murah? Ingat? kau juga menggigitku, bahkan sudah melukaiku." ia menunjuk dahinya. "Bercanda, ya? Mau main-main denganku? Baru sedikit saja diberi kelonggaran, sudah ngelunjak."
"Kau yang bercanda! Jangan main-main, ya!"
"Aku ingin kontrak yang lebih kuat sesuai hukum negara. Gaya Jepang, bukan barat. Kau terlalu menganggap remeh diriku. Sepertinya aku terlalu bermurah hati padamu karena terdesak situasi. Setelah tahu dirimu yang seperti ini, aku harus sedikit lebih tegas." matanya menyipit tajam.
"Aku mau ke pengadilan!" seru Misaki, kemudian berpikir sejenak. "Tidak. Aku akan bayar semua kerugian dan penaltinya berapapun jumlahnya! Ayo, batalkan kontraknya!" Kedua mata Misaki terbelalak tegas, entah darimana keberaniannya itu. Tapi, sudah kepalang basah. Ia harus menyelesaikan hal konyol ini secepat mungkin. Risiko belakangan! Rasanya ia sudah hilang akal sekarang!
Wataru mengacak-acak santai sebelah rambutnya, tertawa geli, lalu kepalanya mendongak miring, menatap angkuh dan dingin pada Misaki, nada suaranya lambat-lambat. "Hmmm.... Nyalimu besar juga, ya?"
Glek!
Jantung Misaki serasa berhenti berdetak.
Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tangan lelaki itu memberinya isyarat untuk diam.