"Wuah... Ru-rupanya niatmu menghentikanku minum pembersih toilet tidak murni, ya?" sebelah mata Misaki menutup menahan sakit, antara cekikanWataru dan lengannya yang dicengkeram kuat kini mulai menyakitinya—kelamaan ditekan menggantung ke dinding olehnya.
Wataru gemas melihat ekspresi Misaki, ingin rasanya ia membuat perempuan itu menangis seperti kemarin. Tangisan karena dirinya! Sangat menyenangkan! Ia mengamati kedua mata Misaki yang bengkak di balik kacamata, hatinya seketika seperti roller coaster, naik-turun tidak karuan.
"Mau nangis lagi? Wajahmu sudah kacau begini, tambah jelek saja, tahu?!"
"Le-lepas! Sakit!" Misaki berusaha melepas tangan Wataru di lehernya. Namun, lelaki itu begitu kokoh.
"Kenapa? Bukankah, kau mau mati kemarin? Plin-plan sekali kau ini?" ia mendekatkan bibirnya ke pipi Misaki.
"Te-terserah aku mau matinya kapan. Pembersih toilet tidak hanya ada di kamar mandimu saja! Aku bisa meminumnya nanti atau besok di tempatku sendiri." Misaki terkekeh sinting.
Wataru tampak jengkel bertubi-tubi, kaget mendengar hal ini.
Dadanya panas bukan main, napasnya memburu.
"Jangan harap kau mati dengan kemauanmu sendiri. Jika tidak, keluargamu bisa dalam bahaya!" desisnya dingin dengan nada mengancam tanpa keraguan sedikitpun di telinga sang wanita, kemudian sambil memejamkan mata, ia menggigit daun telinga Misaki dengan lembut dan seksi.
DEG!
Kenapa kata-kata itu terdengar begitu familiar?
Sesaat, isi kepala Misaki berdesing cepat.
'Teruslah bersamaku, maka tak akan ada yang terluka. Keluargamu tak harus menanggung dosa karena kesalahanmu.'
Suara berat, tajam, dan mendominasi seorang lelaki terngiang di ingatannya. Lebih menakutkan dari Sang playboy, tubuhnya seketika menggigil ketakutan.
Siapa? Siapa dia?
Ingatan semalam menyeruak masuk ke dalam otaknya, melahap habis tubuh dan jiwanya.
Misaki bungkam, tertegun hebat. Mata nanarnya mengerjap dramatis, kemudian diam, berhenti melawan. Ia seperti boneka rusak di tangan lelaki itu yang masih mencekik dan menahan jemarinya.
"Misaki?" ia melirik ke wajah perempuan itu.
"Ishida." gumamnya lemah.
"Apa?"
"Ishida."
Kepala Misaki terkulai lemas ke samping kanan tubuhnya.
"Oi, berhenti bersandiwara!" raut wajah lelaki itu mulai terlihat tak nyaman.
"Ishida."
"Apa? Siapa Ishida? Apa dia klienmu, hah? Kau dibayar berapa olehnya?" Ledek Wataru, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang menghinggapi hatinya, gelisah detik itu juga melihat tingkah Misaki yang tak biasa.
"Ishida."
"Oi, Misaki?!"
Wataru mengamati mata Misaki, tapi yang ia temukan hanyalah kekosongan di sana. Ia bagaikan raga tanpa jiwa.
"Kau kenapa? Aktingmu tidak lucu!" semburnya galak.
"I-shi-da."
Merasa perempuan itu mengagung-agungkan nama seorang lelaki dengan begitu beraninya, Wataru menghempaskan tubuh Misaki dengan bunyi debam keras ke lantai. Kacamatanya sampai lepas, terlempar ke celah railing, nyaris jatuh.
"Hentikan akting konyolmu ini!" raungnya murka.
"I... shi... da..."
Misaki terkulai lemas di lantai, hanya bergumam menyebut nama seorang lelaki yang membuat kuping Sang playboy panas.
"Dasar ratu drama!"
Wataru memandang muak dan jijik pada Misaki sebelum akhirnya masuk ke apartemen.
"I... shi... da..."
Seluruh tubuh Misaki mati rasa, ia tak bisa menggerakkan badannya sesuai kehendaknya. Kesadarannya seolah tertarik masuk ke sudut gelap terdalam dirinya. Nama seorang lelaki terlintas sekejap di pikirannya, berusaha diulang-ulang agar tak lupa, instingnya berkata bahwa ia perlu mengingat nama itu.
Siapa Ishida? Orang seperti apa?
Di ingatannya, seorang lelaki memeluknya dengan penuh kasih, hangat, nyaman, dan aman, beda sekali dengan Wataru yang berperilaku kasar dan sinting padanya.
Misaki tersenyum kecil.
Apakah lelaki yang memeluknya itu bernama Ishida? Apakah dia yang merusaknya? atau dia adalah pria lain di masa lalunya? Siapa pria pemilik suara yang lebih menakutkan dari Toshio itu? Kenapa pria yang dicintainya sampai tega 'merusaknya'? Kenapa ia baru memikirkan hal ini sekarang? Kenapa pula lelaki berambut merah menembaknya setelah berkata penuh cinta padanya? Siapa mereka???
Kacau sekali ingatannya. Tidak ada yang beres. Ia lelah, perutnya juga lapar. Tak ada tenaga. Lantai dingin sungguh nyaman di kulitnya.
***
Di dalam ruangan, perasaan Wataru tak tentram sejak ia membanting pintu keras-keras.
Ia mencuci muka agar moodnya membaik, meraih kaos lengan panjang warna krem lembut di kursi, berjalan ke arah Mika sambil berpakaian. Mungkin karena ia terlalu lama di luar tanpa berpakaian, makanya begitu.
Ia meraih minuman isotonik, meminumnya dengan kasar, lalu baring di samping Mika yang tersenyum senang memeluknya.
"Kau ngapain, sih, Wataru-kun? Lama banget! Godain cewek aneh itu, ya?" selidik Mika, bibirnya cemberut.
Perempuan itu ingin protes habis-habisan, tapi ia tahu betul sifatnya saat marah.
"Mana mungkin. Istirahatlah."
Belum genap tiga menit berlalu. Wajahnya pucat pasi, pikirannya kacau. Ia tersenyum kikuk dan lemah pada Mika yang kini mulai cemas padanya karena menggeliat resah di atas kasur sejak tadi.
Wataru pun tak tahan, mendecakkan lidah, memaksa dirinya untuk mengecek akting jelek Misaki di luar sana.
Perempuan itu masih dengan posisi yang sama, hanya saja suaranya nyaris tak terdengar.
"Bangun! Kau pikir aku akan percaya dengan aktingmu ini? Jangan mengotori lantai ini dengan tubuh jelekmu! Aku tidak akan kasihan padamu!"
Misaki terus saja bergumam menyebut nama lelaki tadi. Tak begitu menyadari sekitarnya.
"MISAKI!"
"Ishida...?"
Seseorang berteriak memanggil namanya tapi pendengarannya semakin tak jelas, ia tak bisa meresponnya sedikit pun.
Apakah itu Ishida? Apakah benar dia yang memeluknya? Jika iya, ia ingin menghampiri lelaki bernama Ishida itu.
Sinyal-sinyal tubuhnya memberi peringatan kalau ia tak bisa bertahan lebih lama lagi. Pandangan matanya berubah gelap, sayup-sayup pendengarannya menyapa keheningan total.
"Ishida...."
Kata terakhir itu dibisikkan pelan sebelum tak sadarkan diri sepenuhnya.
Lelaki itu mengamati Misaki cukup lama, mengumpatnya kembali dengan berbagai macam kata-kata kasar dan hina. Tiba-tiba ia teringat mimpi buruknya beberapa waktu lalu—Darah segar mengotori mulut dan gaun putih wanita itu.
Ia menelan ludah gugup.
Sang dewa bisnis itu tak percaya dengan pertanda melalui mimpi, tapi firasat buruk mengusik hatinya bagaikan serigala lapar, ia mendekati Misaki dengan jantung berdegup kencang. Berharap perempuan itu mengerjainya sebagai aksi balas dendam, tertawa dan mengejeknya seperti orang bodoh karena sudah sukses menakutinya.
"Misaki? Sudah cukup aktingmu! Kau keras kepala sekali, ya?! Jangan bikin aku repot! Bangun!"
Tangannya membalik kasar tubuh perempuan itu, sayangnya tak ada reaksi apapun darinya. Muka Misaki pucat seperti mayat. Seluruh anggota tubuhnya lunglai, diam tak bergerak.
Sorot mata Wataru jadi tak fokus, kedua tangannya gemetar. Hawa dingin menangkapnya. Sepintas, ingatan buruk ibunya yang tergeletak bersimbah darah di kamar mandi berdentang kuat di kepalanya seolah terkena hantaman palu godam.
Tenggorokannya kering, tangannya dikepalkan kuat-kuat, gigi digertakkan, cepat-cepat meraih tubuh mantan tunangan palsunya itu ke dalam pelukannya.
Lelaki itu kaget, pikirannya tiba-tiba kusut tak bisa berpikir logis sesaat. Tubuh Misaki dingin seperti es. Napasnya pendek-pendek.
Dada lelaki itu terasa sakit menyengat melihat kondisi sang wanita.
"Misaki? MISAKI!" Lelaki itu mengguncang-guncang tubuh Misaki, kemudian berusaha mengendalikan diri memeriksa tanda-tanda vitalnya. "SIAL!" umpatnya dalam keadaan cemas dan panik luar biasa, bergegas membawanya masuk ke dalam apartemen.
***