Chapter 62 - Dia Hanya Mainanku

"Kau serius tidak melakukan apapun padanya?" selidik Reiko, ekspresinya terlihat curiga.

"Kubilang aku tidak melakukan apa-apa!"

Wataru duduk di kursi kerjanya, menyilangkan kaki dan tangan, matanya tak luput pada Misaki yang kini gelisah oleh demam tinggi.

"Lalu, siapa lagi dia?" Reiko melotot pada Mika yang duduk ketakutan di kursi.

"Abaikan saja dia!" sergahnya cepat.

Reiko memicingkan mata. "Kalau urusanmu sudah selesai, sebaiknya kau pergi, nona."

Mika mengangguk takut-takut, bergegas meraih semua barang-barangnya keluar ruangan.

"Kau masih saja bertahan dengan kelakuan busukmu ini." ujar Reiko dingin, tangannya memeriksa dahi Misaki.

"Bagaimana keadaannya?" Ia mengamati dengan saksama.

"Demamnya sangat tinggi. Aku butuh membawanya ke rumah sakit."

"Ok. Kita bawa dia ke rumah sakit." Wataru bangkit dari kursi, dan naik tak sabaran ke atas tempat tidur hendak membopong Misaki.

"Tidak. Kau tak usah ikut. Aku sudah menelepon Daiki. Untuk sementara ini, aku akan membawanya ke rumah sakit milik saudara suamiku. Di sana layanannya serba lengkap dan kualitas nomor satu. Di sana juga ada Shiori."

"Aku ikut." Desaknya.

"Kenapa? Kau khawatir?" bibir Reiko melengkung puas.

"Kalau dia mati, aku yang bakal repot!"

Reiko menyipitkan mata, kesal bertubi-tubi.

"Sampai detik ini kau masih menyembunyikan perasaanmu?"

"Jangan bicara omong kosong. Dia hanya mainan. Saat sudah bosan, ya, dibuang."

"Hooo... Begitu? Apa kau tak tahu Uesugi Ishikawa sedang mencari tahu tentang Akabane Merry? Sepertinya dia sangat tertarik padanya. Kau tak keberatan? "

Wataru tak berkata apa-apa.

"Aku tak menyangka kau begitu ceroboh kali ini. Mengumumkan Misaki sebagai tunanganmu dengan identitas lain. Jika hal ini sampai bocor, menurutmu akan bagaimana? Sandiwaramu bisa terbongkar! Satu rumor tak cukup, kini mau bikin rumor yang langsung jadi skandal? Kau gila, ya, Wataru? Kau mau menghancurkan perusahaan? Mau balas dendam pada kami?"

"Berisik!" umpatnya, keningnya berkerut tak senang.

"Hal ini sudah sampai di telinga ayah. Dia memintaku untuk membawa kalian berdua, tapi apa ini? Kau sibuk bermain seperti anak kecil manja padanya sampai ia jatuh sakit?"

"Sudah kubilang aku tidak melakukan apapun padanya!" teriaknya murka.

"Kalau begitu batalkan kontraknya. Bebaskan Misaki. Dia tak ada artinya bagimu, kan? Aku akan memberimu sepuluh persen saham Miyamoto Group milikku."

Wataru tak merespon segera, mendengus sebal. "Apa? kau mau memberi sahammu yang berharga demi dia? Kau yang gila, ya?"

"Aku serius. Lepaskan Misaki, maka akan kuurus saat ini juga."

Ia mengamati ekspresi Reiko. Perempuan itu sepertinya benar-benar serius.

"Aku tidak tertarik dengan sahammu. Dia penting atau tidak, sekali jadi mainanku, tak akan kubuang sampai aku bosan." Wataru mengangkat separuh badan perempuan itu ke pangkuannya. " Kalau kau lamban begini, mestinya aku langsung membawa Misaki ke rumah sakit, bukannya meminta bantuanmu."

Reiko marah mendengar pernyataan tak bertanggung jawab itu, namun dengan tenang ia menyindirnya. "Kenapa? Kau tidak sabar menolongnya? Kau gelisah, ya?"

"Kau cerewet sekali!" satu tangannya memeriksa suhu tubuh perempuan itu, kaget. "Cepat sekali suhu tubuhnya naik. Dari sedingin es sampai sepanas ini kurang dari tiga puluh menit. Dia sakit apa, sih, sebenarnya?" Matanya melirik cemas jam dinding di atas rak besi serbaguna.

"Hah? Kenapa kau berkata begitu? Bukannya kau bilang dia jatuh pingsan gara-gara demam tinggi di depan pintu apartemennya?" Reiko mengernyitkan kening, curiga.

"Bukan urusanmu!"

Wataru mulai membopong Misaki turun dari tempat tidur.

"Sebentar lagi suamiku datang. Sebaiknya tunggu saja."

"Dari tadi kau bilang begitu. Mana dia?" ujarnya nyaris meledak.

Suara ketukan terdengar di pintu.

"Oh! Itu pasti suamiku!" Reiko tersenyum kecil.

Ia berjalan melewati sang adik, dan menepuk punggungnya seperti anak kecil.

"Anak bodoh." Ledeknya menuju pintu masuk.

Wataru memasang tampang kesal, kemudian terkejut ketika mantan tunangan palsunya menggeliat resah dalam rengkuhan lengannya, kedua tangannya menarik kaosnya dengan erat, tubuhnya dirapatkan pada dada sang lelaki, seperti anak kecil yang rapuh minta dipeluk.

"Misaki...." bisiknya pelan, matanya berubah sendu.