"Bagaimana aku tahu kau tidak bohong? Tidak mengerjaiku? Tidak menjebakku lagi?"
"Gunakan otakmu, Misaki." Ia menunjuk pelipisnya sendiri.
"Apaan, sih!"
"Otakmu benar-benar lamban, ya, persis seperti siput. Tidak heran aku bisa menipumu dengan mudah." ia menyentil dahi Misaki. "Kita rekam pertemuan besok. Puas?"
"Sakit!" rintihnya.
"Ah! luka di dahimu sepertinya sudah sembuh. Untung bekasnya tidak parah." Ia menyapukan ibu jarinya penuh kasih pada bekas luka Misaki, matanya terlihat lembut.
"Bukan urusanmu!" ia menyingkirkan tangan lelaki itu dengan kasar.
"Bukankah ini menarik? Kau dan aku punya luka di dahi? Couple scar. Love Scar." Bisiknya di telinga Misaki dengan nada menggoda. Bibir Wataru menyentuh daun telinganya, turun perlahan ke pipi sang wanita.
"Hentikan!"
Misaki mendorong tubuh Wataru dengan tangannya yang bebas, dan seperti dugaannya, sadako mini market itu jijik berdekatan dengannya. Terbukti dengan reaksinya cepat-cepat mengelap telapak tangannya setelah menyentuh dada telanjang sang playboy, pipinya pun digosok sekeras mungkin, muka perempuan itu pucat pasi.
Sudut bibir sang dewa bisnis berkedut tak senang melihatnya.
Kembali, ia meremas tangan Misaki, kali ini sangat kasar dan kuat hingga ia mengira tangannya mungkin akan patah. Rintihannya sama sekali tak diacuhkan oleh lelaki itu.
"Kau ini, ya, benar-benar!" ia menggertakkan gigi, kesabarannya sudah mencapai batas. "Baiklah! Aku akan mengalah kali ini. Lupakan semua kata-kataku sebelumnya. Aku akan berhenti melirik perempuan lain. Bagaimana? Apa dengan begini kau akan puas sekarang? Mainan menjadi kekasih sungguhan? Budak menjadi ratu? Alergi menjadi kesukaan? Semua perbuatanmu akan aku maafkan, juga hutang-hutangmu akan lunas. Kau bisa membuka topengmu. Aku juga akan memanjakanmu dengan kemewahan ketimbang menyiksamu. Ayo, akhiri permainan tarik ulur ini yang bikin aku sakit kepala. Dan hanya akan ada satu kontrak yang lebih menguntungkanmu. Kau hanya perlu jadi wanitaku seorang!"
Misaki tersinggung hebat, keningnya bertaut kesal.
Apa ini? Sekarang, dia ingin agar aku jadi wanita simpanannya? Permainan apalagi yang ditunjukkannya?! Otaknya benar-benar tidak beres! Geramnya membatin.
"Nah, bagaimana? Kau hanya milikku seorang, begitu pun aku, sepenuhnya milikmu."
"Omong kosong?! Bercanda juga ada batasnya! Apa belum cukup mengerjaiku kemarin? Belum cukup menjebakku? Belum cukup menyiksaku? Aku manusia! Bukan boneka!"
"Kalau aku bilang aku serius saat itu, apa kau percaya? Kalau aku bilang aku serius saat ini, apa kau juga akan percaya?" ia menatapnya lekat-lekat, jantungnya berpacu cepat menunggu balasan Misaki.
"Dasar playboy penipu! Aku tidak akan pernah percaya padamu meski kau benar-benar menyukaiku! Cih!" Misaki membuang muka.
"Heeeee.... Tak kusangka kau main sekeras ini. Sangat menantang. Aku jadi suka sekali." ia tersenyum dingin penuh minat. Lelaki itu kembali berbisik dengan nada lebih menggoda di telinga sang wanita. "Kau membuat darahku berdesir, Mi-sa-ki."
"Dasar gila! Lepaskan! Nanti perempuan itu lihat!" kali ini Misaki berusaha melepas remasan Wataru menggunakan tangan satunya dengan menekan luka lelaki itu, berharap ia kesakitan, melepasnya tanpa sadar.
Jengkel dengan aksi itu. Wataru menekannya ke dinding luar dengan jemari mereka yang terjalin berada di atas kepala perempuan bermata empat itu.
Pintu menutup dengan sendirinya.
Kedua bola mata Misaki membesar, hawa dingin menyeruak dari dalam dadanya.
"Apa kabedon adalah jurus andalanmu sebagai playboy? Hobi sekali kau menekan perempuan ke dinding, ya?! Tidak kreatif!" ledek Misaki, sudut bibirnya berkedut.
Perempuan itu sebenarnya gelisah dan dalam keadaan waspada tingkat tinggi, tapi jika ia terlihat gentar, lelaki itu mungkin akan menghina dan mempermainkannya lebih sadis lagi.
Wataru tersenyum licik. Matanya berkilat.
"Kenapa? Takut ketahuan? Bukankah ini menarik? Bikin hati deg-degan, kan? Hanya kau yang kuperlakukan begini, loh!" Napas lelaki itu menyentuh kulit wajahnya.
Misaki memejamkan mata kuat-kuat, merasa terhina hingga ke relung hatinya. Amarah menggelegak di dadanya.
"Lepas sebelum aku melukaimu, Toshio-san! Aku serius!"
"Kau bisa apa, hah, dengan tubuh kecilmu ini? Dan lagi! Mulut kecilmu itu masih saja memanggilku Toshio-san, Toshio-san. Apa susahnya memanggilku Wataru tanpa gelar kehormatan? Apa perlu aku membayar mulutmu, baru sebut nama depanku? Dasar Matre!" tangan kirinya meraih dagu Misaki.
Mata mereka terkunci satu sama lain.
Untuk sesaat, Wataru diam menikmati momen itu meski ekspresi lelaki itu sulit ditebak.
"Kenapa, sih, denganmu? Lepas! Sebelum aku benar-benar melukaimu!"
Wataru mengelus lembut sepanjang kontur wajah Misaki. Sebuah desakan aneh di hatinya menjerit ingin memeluk perempuan itu seperti sebelumnya, hanya saja lebih lembut dan intense. Namun, hal itu segera tertelan oleh amarah yang tak jelas ditujukan untuk siapa, dan perasaan bingung menjungkir balikkan hati dan pikirannya di saat bersamaan.
Sorot matanya berubah penuh kebencian pada Misaki, berpikir bahwa keanehan yang terjadi padanya adalah kesalahannya, akibat trik kotor perempuan itu. Ia pun meraih jemari mereka yang saling terpilin, kemudian memejamkan mata, mulai menikmati setiap jilatannya pada punggung tangan Misaki dengan cara yang begitu kasar, seksi, dan liar. Sisa-sisa air liur lelaki itu menggantung antara kulit Misaki dan lidahnya yang terjulur keluar, membentuk seutas benang air, seperti jaring tunggal laba-laba.
Sang playboy menyeka bibirnya, tersenyum puas. Sorot matanya terlihat kenyang bagaikan seekor serigala yang akhirnya makan setelah kelaparan sekian lama.
Kedua bola mata Misaki membesar, tak fokus. Bulu kuduknya merinding.
Kaget, ngeri, malu, terhina, dan jijik di saat bersamaan tidak cukup menggambarkan isi hatinya saat ini.
Dia, kan, baru saja 'gelud' dengan perempuan itu?! Lalu bertingkah cab*l seperti ini! Rendah sekali perbuatannya! Dikiranya dia itu perempuan apaan? Sungguh lelaki murahan!
"Sikat gigi sana! Menjijikkan! Mes*m brengs*k!" Misaki mendorong kuat-kuat tubuh Wataru, dan berusaha kembali menarik lepas tangannya, hati dan pikirannya kini mengisyaratkan sinyal-sinyal untuk melarikan diri. Sayangnya, lelaki itu benar-benar kuat.
Toshio Wataru tergelak sinting.
Tangannya yang bebas disisipkan ke sela-sela rambutnya, berkata penuh jenaka. "Misaki, Misaki.... Kau membuatku gemas ingin 'merusakmu' saja. Benar-benar alergi yang menarik!"
DEG!
Merusak? Merusak katanya? Apa itu tidak berlebihan? Sadar tidak, sih, dia ngomong apa??? Aku tak menyangka lelaki itu serendah ini! Benar-benar tak tahu malu! LELAKI BUSUK! Pekiknya membatin.
Jantung Misaki terasa perih tercabik-cabik oleh kelakuannya, ingin rasanya ia menjerit bak orang gila. Alih-alih demikian, ia mengepalkan tangan kanan.
Tatapannya kosong, ia terdengar putus asa. "Keuntungan dari kontrak yang kau tawarkan itu. Terserah aku jadi budak atau mainan seperti apa yang ingin kau hancurkan, tapi aku ingin tak ada kontak fisik apa pun di antara kita. Baik saat berdua, atau pun di depan umum. "
Wataru diam.
Ia merasakan ada yang aneh dengan perempuan itu, tapi sulit untuk dijelaskan.
"Tidak bisa. Yang lain."
Misaki menggertakkan gigi seketika, sorot matanya penuh kebencian. "Kalau begitu, berhenti mempermainkanku! Dan jangan menghinaku dengan mengajak tidur terus! Aku bukan perempuan murahan seperti Mika atau perempuan bayaran seperti tuduhanmu!"
Lelaki itu tiba-tiba mencekiknya.
"Oi... Jaga mulutmu... Kau tahu apa soal Mika, huh?" Bisiknya dingin dan tajam di telinga Misaki.
"Ugh... Se-sekarang-, kau mau membunuhku? Bagus. Bu-bunuh saja. Bangs*t!"
"Kenapa mesti membunuhmu jika kau lebih asyik saat hidup? Mainanku yang seru dan menarik. Ah, alergi favoritku." Wataru mengelus lembut leher Misaki, dan kembali mencekiknya penuh hasrat.
Lagi-lagi Misaki merinding mendengar perkataan lelaki itu.