Chapter 54 - Pesan

Dari cara Toshio berbicara, lelaki itu seperti sangat peduli padanya.

Atau memang seperti itu sikapnya pada semua buruannya?

Misaki tak bisa tahu banyak, selama ini, saat ia mengajak wanita ke apartemennya, pria itu tak banyak mengeluarkan suara, baik saat 'main' atau tidak.

Ketika dulu headphone-nya rusak, Misaki tak sengaja mendengar suara lelaki itu lagi 'main". Suaranya tak jelas, seperti robot rusak saja Toshio itu. Bukan erangan atau teriakan, seperti percakapan biasa. Datar sekali.

Jangan-jangan, memang benar lelaki itu robot?

Atau alien? atau hatinya mati rasa secara seksu*l di atas ranjang?

Mungkinkah itu alasannya jadi playboy? Tangannya menutup mulut, nyaris terbahak memikirkannya.

Tiba-tiba, ia pun terdiam.

Misaki memiringkan tubuhnya, mata menatap pilu ke lantai.

Ponselnya digenggam erat di dada, berbisik pada diri sendiri, "andai saja ia lebih baik, bukan seorang pemain. Pasti menyenangkan menghabiskan hari-hari bersamanya. Aku juga tak akan membencinya seperti ini."

Perempuan itu duduk bersandar. Menggeleng cepat. Terkejut sendiri.

Apa yang dipikirkannya barusan? Mana mungkin joker iblis itu bisa menjadi pria baik dengan temperamen macam itu? Mustahil!

Misaki menatap layar ponsel.

Telunjuknya memeriksa panggilan masuk.

Toshio katanya meneleponnya?

Akhir-akhir ini, memang ada beberapa nomor tak dikenal membuat ponselnya bergetar terus. Misaki menduga itu sang pak editor. Saking jengkelnya, ia terus mengabaikan tanpa mau menjawabnya sekali pun, atau mematikan saja ponselnya cukup lama.

Apa ia salah mengira nomor lelaki itu sebagai salah satu teror pak editor? Kebiasaan pak editornya itu memang begitu, menerornya dengan nomor orang lain kalau tak mau menjawab panggilannya.

Mana ia tahu kalau itu Toshio atau bukan! Mereka, kan, belum pernah bertukar nomor sama sekali! Tukaran email (sebagai pengganti layanan sms) saja tidak! Sementara email yang dipakainya untuk bertukar file sebelumnya adalah email lain, karena mereka, toh, tak akan berinteraksi lagi setelah kontraknya selesai.

"Lelaki itu! Seenaknya utak-atik isi hape orang!" ia menggertakkan gigi, baru sadar dengan daftar panggilan masuk yang sudah dihapus total, hanya ada panggilan baru-baru ini saja yang terlihat di layar.

Panggilan keluar pun diperiksanya, nomornya terlihat di urutan kedua dengan nama:

[ Majikanku ❤ ]

Raut wajah Misaki berubah suram.

Apa-apaan dia pake simbol hati segala?

Jangan-jangan dia tak mau kalah dengan Sakura-san? Tidak masuk akal!

Misaki cepat-cepat mengubah nama kontak itu, menghapus simbol hati itu, diam sejenak, lalu mengetiknya kembali.

"Bahaya! Bahaya! Kalau lelaki itu ngamuk lagi gara-gara hal sepele begini bisa gawat!"

Misaki merinding membayangkan skenario Si lelaki sadis itu berkata demikian dengan sikap angkuh dan ngebosnya.

"Jangan. Jangan macam-macam, deh!" Misaki menggeleng cepat, menyimpan ketikan tersebut.

Loh? Nomornya terlihat asing. Misaki memandang bingung dan ragu pada nomor itu.

Buntut nomor yang menerornya tak ada yang berakhiran 206.

"Aneh. Apa dia bohong? Atau punya dua nomor? Dasar orang kaya!" umpatnya kesal.

Di Jepang, punya dua ponsel itu sangat langka, karena pengurusannya ribet saat beli ponsel baru (ponsel dan kartu sudah sepaket, penggunaan pulsanya adalah pasca bayar melalui potongan rekening), dan juga tak bisa dipakai sembarangan karena data pribadi dicatat sejak awal pembelian ponsel untuk mencegah tindakan kriminal, sehingga mudah dilacak.

Misaki jadi kepikiran, lelaki itu kalau mengurus sesuatu pake marga apa? Miyamoto atau Toshio? Apa dia tak takut dapat masalah? Ribet sekali hidup lelaki itu.

Orang kaya, mah, bebas. Tinggal lempar duit semua jadi.

Panas juga hati Misaki mikirin hal ini.

Ding!

Eh?

Pesan LIME?

Dia, kan, tak pernah menginstal LIME?

Hah? Jangan-jangan.... Matanya menyipit tajam, memeriksa siapa tahu dia sedang berhalusinasi.

[ Majikanku ❤ ]

"Orang itu! Benar-benar seenaknya!"

Keningnya berkedut kesal, sudut bibirnya tertarik. Tangannya bergerak cepat membuka pesan.

[Beli makanan, minuman isotonik, dan minuman pereda pengar.]

"Apa ini? Dia, kan, bisa beli sendiri!" omelnya.

Misaki menghela napas panjang. Lebih baik turuti saja apa maunya saat ini. Toh, hanya beli beberapa item. Sisa pinjaman dari Eikichi juga masih ada sedikit untuk keperluan seminggu sebelum gajian akhir bulan.

"Aku harus cari akal agar kontraknya batal! Lelaki itu tak bisa dibiarkan lebih jauh lagi! Dasar tiran sadis! Mes*m psikopat!!"

Misaki mendesis sendirian, lalu melangkah keluar ruangan.

***

Sadako mini market itu berdiam cukup lama di depan pintu apartemen Wataru.

Ia ingin mengetuknya, tapi ragu.

Apakah perempuan semalam itu masih ada?

Rasanya aneh kalau yang keluar adalah perempuan bernama Maki? Mika? Miku? Bodohlah, siapa nama perempuan yang bersamanya semalam itu.

"Apa sebaiknya aku taruh di depan pintu saja, ya? Aku juga sudah mengantuk." Misaki menatap lantai di bawahnya.

Benar. Dia bisa mengirim pesan nantinya. Ia juga tak mau bertemu muka dengannya saat ini.

Kemarin itu benar-benar kejadian memalukan!

Misaki meletakkan bungkusan plastik di depan pintu Wataru secara perlahan, tak mau membuat suara yang membuat lelaki itu mengerutkan kening pagi-pagi begini.

Belum sempat ia menegakkan badan, pintu terbuka.

"Lama sekali. Kau ngapain, sih? Masak lama, beli makanan juga lama. Apa kau itu siput?"

Misaki membeku.