Chapter 53 - Masa Tenang Sebelum Badai

Perlahan, Misaki membuka daun pintu, mengintip melalui kacamatanya yang sudah diberi selotip. Susah juga melihat dengan kacamata seperti itu, pandangannya jadi agak kurang jelas, bukan karena selotipnya. Retakan di kacamata itu yang membuatnya kurang jernih.

Rambutnya yang diikat satu, jatuh tergantung ke sisi kiri tubuhnya, jika ada yang melihatnya sekarang mungkin mengira dirinya adalah cewek cupu yang lagi maling di rumah orang.

Aman.

Toshio mungkin tidak akan pulang malam ini. Mungkin menghabiskan malam dengan perempuan asing di suatu tempat gara-gara tak puas setelah mempermainkannya. Hormon lelaki itu, kan, agak sulit dikendalikan, terlebih macam pria bej*t otak selangkangan sepertinya.

Misaki mengangguk cepat dengan pemikiran itu.

Secepat kilat ia bergegas mengunci apartemen dan berlari-lari kecil menuruni tangga.

"Wataru-kun! Suaramu memang yang terbaik!" teriak seorang wanita dengan begitu ceria penuh semangat, dan setengah mabuk dari balik tembok pagar.

Sadako cupu itu panik, dan berlari ke arah bawah tangga bersembunyi. Sekujur tubuhnya gemetar, jantungnya berdebar tak karuan, kedua tangannya dingin bagai es.

Astaga! Aku salah apa sampai sembunyi seperti pecundang begini? pekiknya dalam hati.

"Mika. Sudah minumnya. Aku tidak sanggup jika harus menggendongmu naik ke atas."

Itu suara Toshio.

Misaki diam tak bergerak.

Benar, kan? Kebiasaannya memang tak pernah berhenti.

Secantik apa Si Mika itu? Misaki ingin mengintip, penasaran, tapi menahan diri.

"Wuhuuuuu!!! Pesta lanjutan di apartemen Wataru-kun~!" serunya dengan nada manja.

"Ayo, cepat! Jangan berisik di sini. Orang-orang melihat kita," tegur Wataru, suaranya terdengar lembut dan rendah layaknya suami perhatian.

Apa-apaan itu? Dasar playboy! keluh Misaki.

"Maaf, ya, kalau aku jelek. Hanya bisa membuatmu marah dan kesal saja," bisiknya pelan, kepala tertunduk, pandangan matanya berubah kosong. Ingin rasanya ia menangis, tapi air matanya sudah kering.

Setelah yakin kedua orang itu sampai pada lantai dua, Misaki keluar dari persembunyiannya.

Ia mengecek ponselnya.

"Gawat!"

Ia menggeleng cepat, menguatkan hati.

Kakinya segera melaju kencang membelah angin malam yang dingin.

"Wataru-kun?" Mika keluar dari pintu, mengamati Wataru yang berdiri terdiam menghadap ke railing apartemennya. Mata lelaki itu memicing tajam ke arah bawah pelataran.

"Waaaa~ taaaaa~~ ruuuuu~" protes Mika manja, ia menarik satu lengan sang playboy, memaksanya masuk.

Wataru masih tak bergerak. Arah pandangnya mengikuti Misaki yang berlari hingga hilang di belokan.

Ekspresi lelaki itu sangat dingin.

***

Di tempat kerja, Yuka sangat kegirangan melihat Misaki setelah sekian lama tak muncul. Takeda yang menemaninya selama ini sangat cerewet sampai kupingnya mau meledak katanya. Ia memeluk Misaki dengan begitu dramatis, mulutnya tak henti-hentinya mengucap terima kasih pada tuhan.

Sangat menyenangkan andai saja Yuka adiknya, sama girangnya dengan Yuka rekan kerjanya saat ini ketika bertemu setelah sekian lama.

Apaan, sih, mentang-mentang nama panggilannya sama terus berharap orangnya juga punya karakter yang sama? Konyol sekali pemikirannya itu. Kesedihan sesaat menggelayut di hatinya.

"Kenapa, Mi-chan? Wajahmu kacau banget! Habis nangis, ya? Matamu bengkak banget, loh! Kacamatamu juga rusak. Padahal rambutmu sudah ok, deh! Nggak keren banget penampilanmu!"

"Ah... begitu, ya? Sepertinya aku kurang tidur dan istirahat. Kalau Kacamataku, terjatuh saat aku tersandung," ia terkekeh kecil, "rambut ini hanya sementara. Nanti juga aku luruskan, kok. Soalnya terpaksa."

"Sayang sekali. Padahal kau sekarang terlihat lumayan, loh!" Yuka membuka kacamatanya, mengamati wajah Misaki dengan saksama sesaat, lalu memasangnya kembali, "kalau begitu, kenapa memaksakan diri? Aku bisa membujuk bos kita! Dan syukurlah ibu Mi-chan sudah sembuh!" ia menepuk-nepuk pundak Misaki, tersenyum cerah. Kemudian, matanya menyipit, melihat bibir Misaki. "Ah! bibirmu luka! Pasti gara-gara tersandung, kan?! Kuambilkan minuman dingin untuk kompres mata, sekalian ambil obat, ya! Istirahat saja dulu!" Yuka si rekan kerja memberi hormat bendera penuh semangat, bergegas menuju ke ruang belakang.

"Kapan Yukari bisa bersikap sedikit manis seperti Yuka, atau setidaknya lebih patuh seperti Yukiko?" ia menghela napas panjang, tertelungkup lemas di atas konter kasir.

Malam itu, Misaki sibuk dengan kerjaannya. Hal yang bagus untuk melupakan semuanya yang seperti mimpi.

Hidup seharusnya seperti detik ini, sibuk mencari uang, penuh keluhan akan kerjaan, saling menghibur dan tertawa dengan rekan kerja, serta pembeli yang kadang tak tahu diri. Hal-hal sepele dan remeh. Bukan kompleks dan rumit seperti lelaki sadis itu!

Sebelum pergantian shift, Misaki merebahkan punggung di bangku ruang karyawan. Menguap sejenak dan memejamkan mata, letih sekali rasanya. Badannya pegal-pegal.

Ia mengatur napas, merasakan dadanya naik-turun. Ketenangan inilah yang ia inginkan. Tak ada gangguan. Tak ada drama. Damai sekali.

Jemarinya meraih ponsel di saku, matanya melirik jam pada layar, sudah hampir pukul tujuh pagi. Tak terasa ia begitu menikmati jam kerja kali ini walau sedikit memaksakan diri.

Isi ponsel dicek, beberapa panggilan dan pesan suara dari pak editor, dua panggilan dari Eikichi, dan tiga dari Yuki.

"Benar juga. Aku belum memberitahu Yuki kalau aku sudah sampai dengan selamat."

Misaki menelepon Yuki, memberitahu kabarnya dan bertanya keadaan di sana.

Ia menutup telepon beberapa menit kemudian, puas dengan situasi dan keadaan yang terkendali.

Helaan napasnya panjang. Tubuhnya terasa kaku dan berat. Tiba-tiba, pikirannya kembali pada kejadian semalam.

Misaki termenung.

Siapa, ya, perempuan yang bersamanya itu?