Wataru membuka mata.
Lelaki itu bangun, membuka headset di telinganya.
Hati dan pikirannya sempat kacau tak karuan gara-gara perempuan itu, jadi ia putuskan mendengar musik sembari tidur sedikit agar membuat dirinya tenang.
Apa perempuan itu sudah berangkat kerja? Ia melirik jam di ponselnya.
Pukul 3 lewat 32 menit.
"Oh... masih sore rupanya. Lama juga tidurku setelah seminggu ini sulit tidur," wataru meregangkan tubuh, berjalan menuju keluar balkon.
Sunyi.
Ke mana dia?
Tidur?
Atau keluar?
Keningnya bertaut.
Perempuan itu jarang sekali bepergian, palingan hanya kerja di mini market, belanja kebutuhan sehari-hari, dan dalam seminggu ia nyaris tak keluar rumah seperti orang pada umumnya.
Hah? Sejak kapan dia hafal jadwal perempuan horor itu?
Wataru mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah balkon Misaki, berniat mengintip sedikit, tapi terhenti oleh getaran berisik yang ada di laci meja kerja.
Tangannya meraih ponsel dan melihat nama di sana: Mika.
Ia tersenyum tipis.
"Halo?"
Teriak seorang lelaki bersuara berat dan cempreng, tiba-tiba nyosor di seberang sana.
Keluh pemilik suara bernama Mika.
"Baik. Aku akan ke tempat biasa. Aku siap-siap dulu. Bye!"
Jempolnya mematikan telepon. Sejenak, ia melirik ke luar balkon, lalu memeriksa panggilan keluar di ponsel.
Tiba-tiba ia jengkel sendiri. Matanya menatap nomor Misaki pada daftar keluar paling baru.
Perempuan itu suka mematikan teleponnya setelah ia mencoba menghubunginya sejak beberapa hari lalu. Kalau tak dimatikan begitu saja, malah diabaikan sampai suara otomatis operator terdengar.
Saking kesal dan jengkelnya ia melempar ponsel cadangannya itu hingga layarnya retak. Kini, ponsel itu tak berfungsi secara normal. Hanya bisa menerima panggilan masuk, tapi tak bisa melakukan panggilan keluar.
Bahkan saat menggunakan ponsel pribadi satunya, malah ponselnya dimatikan terus. Bikin naik pitam saja! Tapi, untung saja. Perempuan itu bisa geer kuadrat kalau tahu berapa kali ia uring-uringan mencoba menelponnya dengan telepon pribadinya. Bisa makin sok jual mahal perempuan jelek itu!
Apa-apaan dia sampai seperti itu demi seorang perempuan aneh?
Tidak bisa!
Ini salah!
Tidak mungkin ia menyukai Misaki!
Tidak. Tidak.
Perasaan lega dan senang yang dirasakannya sesaat lalu adalah kegembiraan yang sama ia rasakan saat rencananya kembali ke jalur, sama seperti ia menghancurkan beberapa perusahaan atau orang-orang yang mengganggunya selama ini.
Perempuan itu hanya mainan menarik semata baginya, hanya penasaran ingin sekali mengupas kulit asli perempuan sok suci dan sok jual mahal itu.
Semua perempuan memang begitu padanya. Awal-awalnya saja yang susah didekati, lama-lama malah lengket seperti perangko, benalu, sampai jadi lintah. Menjijikkan!
"Sial. Aku sampai lupa dengan tujuanku semula," ia meremas kuat-kuat ponsel 'eksrakurikulernya' itu, berjalan ke arah wastafel, lalu mengguyur ponsel itu dengan air hingga tergenang. "Aku hanya belum puas bermain dengannya. Itu saja. Pasti begitu. Cantik apaan? Palsu, kok, dipamerin? Bikin kesal saja! Sekali mainan, tetap saja mainan."
Kedua matanya menatap diri di cermin.
Berapa lama Si jelek itu bisa bertahan dengan topengnya ? Sekali ia membuka topengnya, akan dia koyak habis-habisan perempuan menyebalkan itu! Lihat saja nanti! Sok sekali perempuan itu menolak dirinya! Seberapa tinggi harga diri yang dimilikinya? Munafik! Betapa senang ia berdansa dengan lelaki seratus juta dollar itu! Ekspresinya kala itu benar-benar membuatnya murka dan ingin menyiksanya tanpa ampun di atas ranjang!
Perkataan Misaki itu membuat suasana hatinya sukses berantakan abis. Wataru mengepalkan tangan dan meninju kaca wastafel. Darah segar menghiasi retakan kaca dan punggung tangannya.
"Benar-benar membuatku jengkel setengah mati. Mainan jelek dan rendahan macam dia mau menghina dan mempermainkanku?" ia menggertakkan gigi, tatapan matanya berkilat-kilat.
Kebencian, amarah, dendam, kekesalan, dan kekecewaan bergantian mengisi relung hatinya. Ia pasti akan membuat perempuan itu lebih menderita lagi mulai sekarang! Perempuan itu harus membayar mahal atas semua perbuatannya!
Senyum bengis Wataru terpantul mosaik pada retakan cermin, air dari wastafel mulai meluap membasahi lantai, menyentuh ujung kaki lelaki itu.
***
Misaki mengerang menahan sakit kepala, penglihatannya kabur dan perih. Ia meraih tepian meja lesehan, tertelungkup di atasnya. Telunjuk yang gemetaran dipaksa membuka secara hati-hati lensa kontak yang dipakainya. Matanya perih, sakit, dan berair.
"Apa yang terjadi? Perasaan tadi aku berada di apartemen playboy itu," kini, kedua tangan Misaki menekan-nekan wajahnya.
Nyeri hebat menjalar di keningnya.
Sejak kapan ia kembali? Misaki bingung.
Ia berbalik mengamati seisi ruangan. Apakah lelaki kasar itu yang membawanya? Hah? Tidak mungkin!
Seingatnya, ia tertawa mengejeknya di atas tempat tidur dengan gaya yang begitu angkuh.
"Oh! Iya, benar! Lelaki itu mengusirku! Kenapa aku tidak ingat?" Misaki menyeret tubuhnya meraih ponsel tak jauh dari jalan masuk, setengah menahan pusing.
Pukul 20 lewat 53 menit.
"Sudah malam begini?" ujarnya berbisik.
Matanya melirik ke dinding pembatas, playboy itu sepertinya sedang keluar seperti biasa. Sunyi sekali di seberang.
Misaki duduk bersandar pada lemari geser, menekuk kakinya, menangis tersedu-sedu dengan kepala tenggelam pada lengan tersampir di atas lutut.
Tubuhnya nyeri semua, dan kepalanya masih saja terus berdenyut. Pikirannya berat dan kacau. Apa ia terlalu capek sehingga jatuh pingsan? Selama di rumah sakit, dia memang kurang tidur dan jarang istirahat.
Rasanya, ia melupakan sesuatu yang penting.
Apa, ya?
Misaki berusaha mengingatnya, alih-alih mengingat hal yang dilupakannya, malah wajah sinting mengerikan playboy itu terbayang di ingatannya.
"Aku benci orang itu! Aku ingin membatalkan kontraknya!"
Kedua tangannya dikepalkan.
Lelaki itu sungguh barbar dan tak masuk akal.
Kadang baik, kadang jahat.
Kadang ramah, kadang kasar.
Misaki tak bisa berlama-lama berurusan dengannya.
Otak dan hati lelaki itu terbuat dari apa, sih?
Selama beberapa menit, Misaki mencoba memperbaiki moodnya.
Jam kerjanya dimulai sebentar lagi. Sejujurnya, ia tak mau berangkat kerja dengan kondisi begini, tapi sudah lama ia izin, bisa-bisa malah dipecat oleh bosnya.
Saat melihat wajahnya di cermin kamar mandi, matanya benar-benar bengkak. Bibirnya tertekuk suram dengan ekspresi mengerikan.
"Sebaiknya aku segera mencari apartemen lain," telapak tangannya mengelap pantulan wajahnya di cermin yang beruap.
Tangannya menyentuh ujung rambutnya sejenak, teringat perkataan buruk lelaki itu. Kenapa kalau ia jelek? memang dia yang minta dilahirkan begini? rasa nyeri merembes masuk ke dadanya. Sakit sekali seperti ditusuk pisau.
Sehabis mandi, ia pun cepat-cepat berpakaian, buru-buru melahap dua cup mie instan ukuran sedang agar tenaganya kembali pulih. Buku-buku digeser menggunakan kaki dan berlari-lari kecil menuju pintu.
Kemeja kotak-kotak birunya tak dikancing dan memperlihatkan kaos putih polos, lengan kemejanya digulung sebatas siku. Jeansnya sobek-sobek bukan karena melek fashion, melainkan karena memang sudah butut.
Tote bagnya dipeluk kuat-kuat di samping badan, tangannya ragu membuka pintu.
Bagaimana kalau lelaki itu tiba-tiba muncul? Biasanya, kan, jam segini dia sudah pulang entah dari mana.
Misaki menelan ludah gugup.