Yuka meninggalkan mereka dengan cuek, tak sudi menatap mata kakaknya itu sedikitpun.
"Yuka..." mata Yuki mengikuti arah kepergian Yuka.
"Misaki...." Eikichi berniat menghiburnya sedikit, tapi Misaki memandangnya dengan wajah sungguh lelah.
"Kau tak penasaran seperti Yuka? Seorang hantu Jepang tiba-tiba saja menjadi putri dongeng dengan pakaian dan perhiasan mewah melekat pada tubuhnya dalam semalam?"
"Ha-hantu Jepang?" sesaat lelaki itu menyipitkan mata, bingung.
"Sudahlah. Yuki, Ikuti Yuka. Jangan sampai ia melakukan hal bodoh karena amarah sesaat." Ia melepas pelukan Yuki.
"Apa yang dikatakannya itu benar?" sorot matanya meminta jawaban.
Misaki hanya tersenyum kecil. "Menurutmu?"
Yuki berpikir sejenak, mukanya agak cemberut. "Aku percaya pada kakak. Apapun yang kakak lakukan pasti ada alasannya. Kurasa Yuka terlalu terpengaruh dengan komentar-komentar netizen yang maha benar dan maha tahu itu."
"Yuki..." Misaki mengelus puncak kepalanya.
"Aku berharap, suatu hari kakak bisa menceritakan semuanya padaku. Itu saja." Yuki berusaha tersenyum.
Misaki mengangguk cepat-cepat.
"Tapi, kakak, terlepas kebenaran tentang ayah... Kakak beneran bukan piaraan om-om kaya, kan?" Yuki cemberut, setengah malu-malu.
Misaki tertawa. "Bukan. Aku hanya dimintai tolong oleh seorang tetangga sebagai pendamping acara kelas atas saja. Kebetulan orang itu memang tajir luar biasa. Tidak mungkin, kan, aku hadir ke acara itu dengan pakaian biasa saja. Bisa-bisa, orang itu bakal malu karena aku."
Mulut Yuki meruncing. "Lantas, kenapa kakak tidak menjelaskan hal ini pada Yuka?"
Misaki tersenyum lembut. "Yuki. Menjelaskan sesuatu pada orang yang sedang marah seperti Yuka, ibarat berkata pada udara kosong. Ia tak akan percaya satu kata pun."
Pikiran Misaki teringat pada sosok Wataru. Sungguh pengalaman sekali dia pada situasi macam itu.
"Apa orang itu seorang pria?" tanyanya iseng.
Misaki mengangguk.
Yuki terlihat antusias, lalu kembali bertanya. "Dia bukan om-om, kan?"
"Yah.... sepertinya seumuran kakak, deh." Misaki menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal.
Yuki tersenyum lebar sekali, ia melirik Eikichi sejenak. "Kalau kakak ini bukan pacar kakak, semoga orang itu yang jadi pacar kakak, deh!"
"Yuki! Ngomong apa, sih!" Misaki tertawa kering.
Amit-amit dia dan Toshio jadi pasangan kekasih. Membayangkan dirinya jatuh cinta pada pria playboy macam itu, bisa-bisa hidupnya tambah menderita jiwa-raga.
Air mukanya pucat memikirkan skenario tak masuk akal itu.
"Kalau begitu, aku kejar Yuka dulu!" Yuki pun pamitan, dan kembali berteriak, "nanti kita bicara yang banyak, ya!"
Misaki melambaikan tangan, tersenyum cerah.
"Siapa pria itu?"
"Akhirnya kau tertarik juga, Eikichi?"
"Bu-bukan begitu." Lelaki itu salah tingkah.
"Apa karena mendengar perkataan Yuka tadi? Pakaian dan perhiasan mahal?" ia melirik lelaki itu.
"Ah... Itu..."
"Aku mengatakan yang sesungguhnya. Jika tak ada yang percaya juga tak mengapa." Senyumnya dibuat sesantai dan seramah mungkin pada Eikichi.
Lelaki itu gelagapan.
"Ma-mana mungkin aku tidak mempercayaimu, Misaki! Tapi... bagaimana ini? Yuka sudah tahu kebenaran mengenai kecelakaan ayahmu."
Misaki terdiam.
"Tawaran tadi masih berlaku. Apa kau mau tahu semua hal tentang dirimu, Misaki? Kurasa ibumu juga pasti tak keberatan dengan adanya insiden Yuka tadi."
"Tidak." Jawabnya mantap.
"Sungguh?"
"Kepalaku sudah pusing. Aku tak mau menambahnya lagi dengan beban masa lalu. Masalah Yuka dan Yuki, biarkan saja. Setelah dipikir-pikir, aku tak keberatan jika pada akhirnya mereka membenciku. Selama aku masih bisa dan sanggup memenuhi kebutuhan keluargaku, semuanya tak masalah. Aku cukup menutup mata saja pada hal-hal yang tak penting."
"Misaki...."
"Ayo. Bukankah Eikichi ingin menyapa ibuku sejak tadi?" senyum Misaki terlihat letih, ia berjalan meninggalkan Eikichi yang masih berdiri di belakang.
"Yah... Lebih baik begitu, Sa-chan. Jangan pernah mengingat masa lalumu. Jangan pernah. Aku tak tahan melihatmu menderita bersama pria itu. Cinta kalian hanya membawa derita tak berujung."
Sebelah tangannya mengepal, rahang mengeras kuat.
Misaki berbalik, menggoyangkan tas belanjaan di udara. "Kenapa masih berdiri di situ? Cepat kemari!"
Eikichi tersenyum lemah. Seraya berjalan ke depan, ia berbisik pada udara kosong. "Aku berdoa agar kalian tidak bersatu kembali. Lupakan dia selamanya, Misaki. Lupakan cinta sejati kalian yang berbahaya itu."
Tampang Misaki terlihat bingung dari kejauhan.
"Kau bilang sesuatu?" kepalanya dimiringkan ke kanan.
"Hanya perasaanmu saja! Ayo!" ia menutupi wajah Misaki dengan satu telapak tangannya, berjalan mendahului dengan santainya.
"EIKICHI!"
Lelaki itu tertawa lepas.
***
Selama lebih dari seminggu, Misaki menginap di rumah sakit untuk menggantikan ibunya.
Eikichi juga rajin menemaninya. Saat pulang kerja, lelaki itu sekedar menemaninya makan malam, lalu berbincang-bincang sejenak dengan mamanya.
Nyaris tak ada percakapan masa lalu yang dibahasnya, rata-rata adalah pekerjaan Eikichi dan dia yang agak susah penuh kekonyolan hidup di negeri orang.
Dan Yuki akhirnya menceritakan penyebab mamanya jatuh pingsan dan terkena demam tinggi.
Rupanya, karena tak ingin merepotkan Misaki, ia menyembunyikan fakta kalau menjatuhkan ponselnya entah di mana. Kemudian pergi mencari barang hilangnya seperti orang gila selama hampir 48 jam, tubuhnya roboh kelelahan meski berhasil juga ponselnya ditemukan pada pos barang hilang beberapa stasiun dari rumah sakit.
Mamanya memang sangat ceroboh, itu juga alasannya tak bisa mempercayai tanggungjawab keluarga ke mamanya setelah ayahnya koma.
Ponsel hilang, kan, bisa diganti! Kenapa mesti susah payah begitu, sih?! Bikin orang cemas saja! Dasar mamanya itu sok pengertian dan berhati lembut!
Adik pertamanya masih ngambek dan benci padanya selama beberapa hari, walau Yuki juga sudah ikut membujuk dan memberi penjelasan.
Barulah Yuka tampak adem ayem beberapa hari sebelum kepulangannya—Mamanya mengajak Yuka untuk berbicara di luar setelah ia pulih total.
Entah apa yang mereka bicarakan sampai Yuka menjadi seperti itu. Apa pun itu, akhirnya badai lain berhenti sejenak. Tak masalah apa yang mamanya katakan. Ia tak mau memikirkannya. Otaknya sudah capek.
Mata Misaki menatap tangga apartemen, berdiri tepat di bawah sana.
Semuanya sudah normal kembali menurut standarnya.
"Sampai kapan kau akan berdiri terus di situ, jelek?" tegur suara yang entah kenapa agak dirindukannya, tapi sangat dibencinya.
Misaki berbalik.
Lelaki itu bermandi peluh dengan training abu-abu. Headsetnya tergantung di leher. Tatapan matanya dingin seperti biasa.
"To-Toshio-san?" tangannya menggenggam erat tas belanjanya.
Bagaimana ini? Gelang berlian pinjaman Toshio hilang! Apa yang harus ia katakan pada lelaki itu?
"Kenapa menatapku seperti itu?" sebelah keningnya terangkat, wajah juteknya sungguh membuat hati Misaki sedikit senang, entah kenapa.
Ingin rasanya Misaki tertawa lega, tapi seketika juga sekujur tubuhnya keringat dingin. Bagaimana ia menjelaskan gelang berlian edisi terbatas yang dihilangkannya, dan baru disadarinya beberapa hari lalu?
"Kenapa diam saja? Hilang tanpa alasan selama lebih seminggu lalu muncul seperti batu. Jangan harap kau kabur dengan kontrak masih terikat padaku. Aku masih bersabar menunggumu, lari ke ujung dunia pun, aku pasti akan menemukanmu."
Misaki menelan ludah gugup.
"A-anu... Itu... Toshio-san...."
"Apa?"
"Ge-gelang berliannya... hi-hilang..." kedua tangannya yang memegang tas belanjaan dimajukan ke depan, kepala tertunduk.
Toshio tak langsung menjawab. Ia mengamati Misaki selama beberapa detik.
"Hooo... Untung saja kau cuma perempuan murahan, bukan maling, ya? Baguslah. Gelang hilang tak masalah, asal bukan kau yang hilang. Buuu. daaaaakk!" Ia mengacak-acak puncak kepala Misaki, berjalan menaiki tangga.
"Eh?" bola mata Misaki membesar. Ia mematung dengan posisi masih seperti tadi.
"Cepat buatkan aku sarapan! Aku lapar!" teriaknya malas.
"A-apa?" ia berbalik cepat.
"Kau ini butuh dokter THT, ya? Cepat buatkan aku sarapan, lalu bahas kompensasi gelang yang kau hilangkan itu! Tak ada yang gratis di dunia ini!" dari railing apartemen lantai dua, ia menatap galak Misaki di bawah sana.
Ekspresi Misaki tak menentu: marah, senang, kesal, lega, syukur, sedih silih berganti memenuhi hati dan pikirannya.
"Cepat naik ke sini! Mau aku gendong, ya?!" koarnya galak.
"Ah! Ti-tidak! Tidak perlu!" buru-buru ia menaiki tangga dengan tergopoh-gopoh.
Di benaknya, sudah ada bermacam-macam skenario tentang kompensasi hilangnya gelang itu.
Bulu kuduknya merinding. Kompensasi macam apa yang harus ia tanggung dengan iblis macam Toshio itu?
Lagi-lagi, Misaki menelan ludah gugup.
***