Chapter 49 - Jangan Sampai Ketahuan!

Sementara lelaki itu sibuk di telepon, pikiran Misaki kembali pada poin-poin kontrak mereka. Kalau tak salah ingat, kontrak itu memiliki lampiran yang cukup banyak. Apa dia sudah membaca teliti semuanya, ya, sebelum menyetujui kontrak itu?

Misaki lupa.

Aduh, bagaimana ini? Harusnya ia mempelajari kontraknya terlebih dahulu meski terdesak uang.

Wajahnya tetiba menjadi muram seolah ruhnya melayang keluar.

Wataru selesai menelepon kira-kira setelah delapan menit, selama itu pula Misaki duduk berlutut dengan tidak nyaman. Ia tak berani mengiterupsi lelaki itu sedikit pun.

Sosoknya yang berbicara di telepon terkesan cerdas dan berpendidikan tinggi, plus mirip model yang tengah syuting iklan. Beda sekali saat ia marah-marah tak jelas di dalam ruangan tadi.

DASAR SINTING! mata Misaki sampai sesekali suka menyipit curiga iseng, jangan-jangan benar dia itu kepribadian ganda?

Hebat!

Yang satu berkepribadian ganda, satunya lagi amnesia selektif*!

Kombinasi gangguan mental macam apa itu?

Rasanya, Misaki sedikit sinting juga memikirkan teori ini jadinya.

"Kau mengkhayal apa sampai tertawa mengerikan begitu?" tegurnya, mematikan ponsel dan mulai menyisip teh yang sudah dingin.

Misaki menegakkan bahu, menggeleng cepat. "Tidak ada."

Tangan Wataru terjulur.

"Apa?"

"Ponsel."

"Eh?"

"Berikan ponselmu. Aku ingin melihat ibumu."

LELAKI INI! geramnya dalam hati.

Mau tak mau Misaki memberi ponselnya, tentunya dengan adegan tarik-menarik sejenak.

Lelaki itu menyalakan ponsel Misaki tanpa rasa risih sama sekali, seolah itu adalah miliknya.

"Kau bodoh, ya? Kenapa tidak mengunci ponselmu? Kalau datamu dicuri orang, bagaimana?" Wataru menjitak pelan kepala Misaki.

Apa urusannya lelaki itu! Mau-maunya, dong, dikunci atau tidak!

Wataru sibuk bermain dengan isi ponsel Misaki, dan perempuan itu sibuk menggerakkan kakinya yang kesemutan luar biasa.

"Isi kontakmu sedikit sekali. Ibu, ayah, adik Yuka, adik Yuki, rekan kerja, Reiko, layanan makanan...

Sakura-san? Siapa itu? Jangan-jangan cewekmu, ya? Kau kelainan, ya? Ada gambar hati segala di bagian rinciannya? Jangan-jangan, kau lebih parah dariku? Apa karena itu kau jijik padaku?" Wataru tertawa mengejek.

"Berikan! Dasar tukang khayal! Bukannya hanya mau lihat foto! Hargai privasi orang, dong! Ini tidak termasuk dalam kontrak!" Misaki menggapai-gapai ponselnya, tapi kakinya yang kesemutan menahannya di lantai.

"Berisik! Memangnya aku ngapain, sih? Masa liat-liat saja tidak boleh. Ponsel berhargaku saja pernah kuberikan tanpa mikir dua ka-" Ia kembali menggulir daftar kontak itu, menahan kepala Misaki dengan satu tangan, lalu terdiam.

"Itu, kan, beda! Berikan! Toshio-san!"

"Oh... Kau menyimpan juga nomor teman masa kecilmu itu?" nada suaranya terdengar tak senang.

"Itu wajar, kan!"

Wataru diam. "Benar juga." Ia mengangguk cepat seperti anak kecil.

Lelaki itu tak berkata-kata lagi, jemarinya sibuk menekan-nekan angka di ponsel, lalu terdengar bunyi ponsel Wataru.

"Ma-ji-kan-ku," ejanya santai, menyimpan nomornya pada ponsel Misaki.

"Toshio-san!"

"Ingat apa yang kau hilangkan, budak!" tegurnya santai, menepuk-nepuk puncak kepala Misaki.

"Lalu?"

"Lalu?" matanya melirik tajam.

"Apa kompensasinya?"

Sudut bibir Wataru tertekuk setengah cuek, setengah suram. "Buat kontrak lain."

"APAAAA??" suara Misaki nyaris habis tertelan oleh pekikannya sendiri, tanpa sadar ia berusaha berdiri, malah jatuh kesakitan menahan kakinya yang seperti ditusuk ribuan jarum-jarum kecil.

"Dasar bodoh. Jelas kau bakalan jatuh jika langsung berdiri. Pijat-pijat dulu, kek, kakimu itu," ia menyerahkan kembali ponsel Misaki, lalu berdiri meninggalkan perempuan itu sendirian di balkon. "Reiko mencarimu hampir tiap hari. Hubungi dia secepat mungkin, dia membuatku hampir gila dengan ocehannya itu."

Misaki menggigit bibir menahan amarah dan malu bertubi-tubi, apa ia tidak bisa membantunya untuk berdiri meski sedetik saja?

"Kerjamu hari ini sudah selesai sebagai budak. Sana kembali ke goa horror jelekmu, kau sudah izin berhari-hari di tempat kerjamu, kan? Istirahatlah, malam ini kau mesti kerja lagi seperti biasa, kan?" Wataru menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan posisi telungkup.

"Loh, kok, tahu?" kepala Misaki dimiringkan, sorot matanya keheranan.

"Jelas,kan? Budakku menghilang membawa lari uang seratus juta yen sebelum kontrak habis, bagaimana aku tidak mencarimu karena merasa dipermainkan?" Ia menopang kepala dengan satu tangan, pandangan kesalnya mengarah pada Misaki di balkon.

"Sial...." gerutu Misaki setengah berbisik, menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Cepat keluar! Aku mau istirahat. Kau membuatku capek dua kali lipat. Ini saja sudah seperti ini, bagaimana yang 'lainnya', ya?" ia menjilat bibirnya begitu menggoda.

Terpaksa dengan menahan rasa sakit dan malu luar biasa, ia berdiri tertatih-tatih meninggalkan apartemen Wataru. Sedikit pun ia tak sudi melihat lelaki amoeba* itu. Sulit sekali diprediksi melebihi lotere!

"OI! LURUSKAN KEMBALI RAMBUTMU! PAKE KACAMATA JUGA! TAMPANG JELEK BEGITU SOK PAMER PULA! MENJIJIKKAN!" teriaknya, terbahak cukup keras.

Perempuan itu terkejut hingga membeku sesaat, lalu wajahnya berubah merah padam.

Kedua bahunya gemetar menahan amarah, kakinya diseret sedemikian rupa keluar ruangan.

Seenaknya suka panggil-panggil dirinya dengan sebutan 'oi' terus.

Ia punya nama! Misaki! MISAKI!

Ia juga tak suka dandan! Ini, kan, terpaksa!

Kacamatanya rusak! Baru sempat dipesannya dua hari lalu!

SIALAAAAAAAN!!! umpatnya membatin.

BLAM!

Wataru melepas tangannya di kepala, terdiam cukup lama melihat ke arah luar balkon. Tangan satunya meraih ponsel, lalu mengecek kontak keluar.

Ia menatap serius pada nomor sekretaris kantornya.

Kata-kata sekretarisnya terngiang begitu jelas di sudut otaknya, membuat hatinya panas tidak karuan. Mau apa lagi dia dengan mainannya? Dasar lelaki brengs*k!

Kemudian, matanya melirik ke daftar bawah:

[ Budakku (153) ]

Untung saja ia segera menghapus panggilan masuk darinya di ponsel Misaki sebelum perempuan itu melihatnya dan sadar berapa kali ia mencoba menghubunginya.

Detik berikutnya, wajahnya merah seperti kepiting rebus.

"Sial! Apa yang salah dengan perempuan itu?" ia menutupi wajahnya dengan satu tangan, satu

tangan yang memegang erat ponsel dihempaskan ke sisi lain kasur, jari-jarinya dilepas, kemudian jari-jari itu gemetar hebat. Sedari tadi ditahannya sejak melihat perempuan itu muncul tiba-tiba di depan tangga apartemen mereka.

Wataru memang aktor yang hebat dalam bersandiwara dan menguasai diri. Tak heran semua rekan bisnisnya tunduk begitu saja hanya dengan modal penampilan dan gertakan, selain kejeniusannya tentu saja.

"Untunglah ia kembali... bikin khawatir saja," bisiknya serak, lebih kepada dirinya sendiri.

Samar-samar senyum lega terpasang di wajah lelaki itu.