Hati Misaki masih berdebar keras sekali saat melanjutkan acara memasaknya.
Dasar Toshio!
Lelaki itu bahkan bersikap tak terjadi apa-apa dan tetap melanjutkan mandinya seraya bersandung lebih keras.
Kenapa ia tak mengunci pintu kamar mandinya, sih? Pekiknya kesal saat mengocok telur, matanya berkilat murka.
Krek!
"Masih belum siap sarapannya? Kau masak apa, sih? Lama banget?"
Wataru muncul dari dalam kamar mandi hanya dengan handuk menutupi bagian bawahnya, bagian atasnya tanpa sehelai benang pun. Air menetes-netes dari ujung rambutnya ke dadanya yang bidang.
Misaki yang berbalik, tak mengantisipasi hal ini sontak mundur menjauh ke arah sudut genkan.
"MISAKI!" seru Wataru kesal, tersinggung hebat.
"A-aku ganti baju sebentar, makanya masaknya belum selesai," ia menatap lantai genkan, menghindari tatapan galak nan jengkel lelaki tak tahu malu itu.
Misaki kini memakai kaos rajut pink lengan pendek dan rok putih lipat panjang. Ia memakai celemek miliknya sendiri. Habis ia basah kuyup, sih!
Wataru mengintip kedua pipi Misaki yang merona. Ide licik terbesit di otaknya.
Lelaki itu berjalan lurus ke arah pintu, setengah cuek pada Misaki.
"Kau mau apa, Toshio-san?"
TAK!
"Eh?"
Misaki melihat tangan lelaki itu mengunci pintu apartemen.
"To-Toshio-san?" keringat dingin menghujam wajah Misaki.
Senyum licik Wataru terlihat senang bukan kepalang ke arah Misaki, segera ia melakukan kabedon
pada Misaki.
"Kenapa? Apa perawan jelek ini belum terbiasa melihat tubuh indah seorang lelaki tampan?"
PEDE SEKALI DIA! teriak Misaki jijik dalam hati. Masih menolak menatap mata lelaki itu.
"Kenapa Misaki?" bisiknya di telinga sang wanita, "apa jantungmu deg-degan sekarang?"
"To-Toshio-san. He-hentikan sekarang juga! Ingat kontraknya!" ancam Misaki, kedua tangannya mengepal kuat.
"Kontrak?" ia menatap santai pada Misaki yang ketakutan. "Kau mau berapa sebagai pinaltinya, hah?"
SIAL! DASAR ORANG KAYA! umpatnya dalam hati.
"To-tolong jangan main-main, Toshio-san," kepalanya semakin menunduk, kedua tangannya gemetaran di bawah dagu.
"Kau sudah melihatku telanjang, kenapa masih gugup begini?" ejeknya.
"AKU, KAN, TIDAK SENGAJA! TOSHIO-SAN JUGA YANG SALAH! KENAPA PINTUNYA TIDAK DIKUNCI, SIH! LUPA BAWA HANDUK LAGI! AKU JUGA CUMA LIHAT PANTAT DAN PUNGGUNG SAJA, KAN?" raung Misaki tanpa sadar, amarahnya meledak tepat di depan wajah lelaki itu.
Lelaki itu cukup terkejut, lalu tersenyum bengis.
"Hoooo.... mulai berani, ya? Hanya pantat dan punggung saja? Kau menghinaku?" wajahnya didekatkan. "Ingat tidak, ada wanita jelek yang menghilangkan gelang berlian edisi terbatas seharga jutaan yen? Lalu masuk ke apartemen seorang playboy tanpa pikir dua kali? Apa ini taktikmu untuk mendekatiku?"
DEG!
SIALAAAANN!!!! Misaki menggertakkan gigi, matanya menatap tajam pada lelaki itu.
"Lebih baik aku minum racun daripada harus tidur denganmu." Jelas Misaki tajam, tegas, dan dalam. Sorot matanya memancarkan permusuhan dan kebencian yang begitu kuat.
Wataru tertegun hebat, terdiam sesaat.
"Oi..." katanya lambat-lambat, memperbaiki posisinya hingga kepalanya mendongak angkuh pada Misaki, " memang aku seburuk itu di matamu? Lebih memilih racun daripada tidur denganku?"
"Berhenti mempermainkan orang, Toshio-san!" desis Misaki galak.
Wataru tak merespon. Ia hanya diam mengamati perempuan itu cukup lama.
"Lanjutkan masakmu! Nanti hangus, tuh!" Ia berbalik dengan santainya, meninggalkan Misaki seperti
orang bodoh di sana.
"Lelaki itu!" geramnya setengah berbisik pada diri sendiri, kedua tangannya mengepal kuat.
"CEPAT! Aku sudah lapar! Baru lanjut bahas mengenai gelang yang kau hilangkan itu!" serunya dari balik lemari pakaian.
"BAIK!" teriaknya tak kalah keras.
Sesaat, Wataru terkekeh sendirian dengan aksinya tadi, lumayan puas juga dia.
Sebenarnya ia tak peduli kalau gelang itu hilang. Tak dikembalikan pun atau hilang semuanya ia tak ambil pusing. Namun, keseruan mengerjai perempuan itu membuat hatinya tergelitik untuk terus mengungkit dan menekannya.
Racun?
Keningnya bertaut kesal dalam sedetik saat kata-kata Misaki terngiang di telinganya.
Apa dirinya sebegitu tak menariknya di mata perempuan itu?
Raut wajahnya berubah jengkel. Dari balik pintu lemari, ia mengintip Misaki yang bergerak cepat menyelesaikan masakannya.
Atau.... jangan-jangan, perempuan itu pemain yang hebat dalam memancing lelaki?
Hati Wataru geram berpilin-pilin tak karuan, sakit hati antara harga dirinya terluka dan malu dianggap begitu hina dibanding-bandingkan dengan racun. Bagaimana baiknya membalas semua itu? Ia pun memutar otak.
Misaki telah selesai memasak, tapi kakinya ragu melangkah ke ruang utama. Apa lelaki itu sudah berpakaian?
"Toshio-san! Makanannya sudah jadi!" ujarnya takut-takut dari arah dapur.
"Bawa kemari!"
Duh! Kenapa dirinya tak memikirkan matang-matang saat masuk ke sarang serigala, sih? Otaknya
terlalu sibuk dengan kompensasi gelang berlian itu!
"Ini makanannya. Hanya ini yang bisa aku temukan di dapur," ia meletakkan sepiring omurice* di atas meja.
Wataru tak merespon.
Lelaki itu memakai baju kaos putih lengan panjang dan celana abu-abu panjang santai, kakinya disilangkan. Matanya sibuk memeriksa grafik di tabletnya. Handuk kecil menutupi sebagian kepalanya hingga terlihat seksi dan menawan.
Wangi tubuh lelaki itu kini menyeruak ke seluruh ruangan, membuat jantung sadako mini market itu berdebar keras.
Perasaan, tadi, tidak sewangi ini, deh! Apa ia memakai parfum? renung Misaki.
"Kenapa berdiri terus di situ?"
"Ya?"
"Kau mau jadi patung pajangan kamarku atau gantungan jas?" matanya menatap santai Misaki, punggungnya disandarkan, kepala dimiringkan.
"Du-duduk? Di mana, ya?" gelagapan, Misaki celingak-celinguk mencari tempat duduk.
"Di sana!" tunjuknya pada tempat tidur dengan ujung bibir.
"A-apa?"
"Duduk di sana saja."
"Ehmm...." Misaki menelan ludah gugup.
"Kenapa? Takut?"
"Bu-bukan. I-itu...."
Bagaimana ia menjelaskannya, ya? Selain takut juga, sebenarnya ia jijik dengan tempat tidur yang sudah 'dimainin' oleh bermacam-macam perempuan di sana.
"Jangan bilang kau jijik, ya?"
Kedua bahu Misaki naik, kaget pikirannya ketahuan. Ia melirik takut-takut pada Wataru yang kini bertampang murka penuh kekesalan.