Chapter 19. Insiden Kota Kalt
--
Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan jalan setapak menuju jalan keluar hutan. Howard, Vai dan Dustin berjalan menuju pintu gerbang hutan. Vai kembali teringat akan para tentara yang berjaga di pintu gerbang hutan ini.
"Hei, Dustin!" Panggil Vai. "…Bukankah kamu seorang perompak? Dan aku juga bukan bagian dari anggota kerajaan. Apakah kita bisa keluar dari hutan ini melalui pintu gerbang itu?"
"Kamu tidak perlu khawatir..." Ujar Howard. "…Ada pengecualian khusus bila kalian bersamaku..."
"Sejujurnya…" Dustin menyengir, "…Menyerang kapal yang kamu tumpangi saat itu adalah kali pertamanya kami membajak kapal."
"A…Apaa??" Vai kaget. "…Padahal kalian terlihat begitu menjiwai saat itu." Sindir Vai.
Dustin tertawa.
"…Aku akan mengenalkanmu pada mereka nanti!" Ujar Dustin. "…Kamu akan segera mengerti begitu kamu bertemu dan mengenal mereka nanti."
"…Mereka?" Ujar Howard bingung.
"Ah…bukan apa-apa, Guru!" Dustin mengalihkan. Sepertinya Dustin tidak ingin Howard tahu lebih banyak mengenai teman-teman perompaknya.
--
Beberapa orang tentara lengkap dengan senjata api laras panjang dan sebilah belati di pinggang menyambut kedatangan Howard di pintu gerbang hutan terlarang.
"Saya kembali!" ujar Howard pada para tentara penjaga gerbang.
Jumlah tentara di pintu gerbang hutan saat ini lebih banyak daripada saat Vai berusaha menyusup ke dalam hutan. Sepertinya para tentara ini memang datang khusus untuk menjemput Howard.
"Selamat datang kembali, Tuan Howard!" Para tentara melakukan hormat salut pada Howard.
"…Anak muda di belakang itu tamu saya. Ia bersama saya.." Howard menunjuk ke arah Vai.
Vai dan Dustin berdiri di belakang Howard sedangkan Kiki duduk dengan santai di pundak Vai sambil menguap.
"Ada berita apa selama saya pergi?" Ujar Howard.
"Reaper kembali berulah, Tuan Howard!" Seru salah seorang tentara.
"REAPER??!!" Dustin terlihat kaget dan syok mendengar sebutan nama Reaper di telinganya. Dahinya mengernyit.
"Reaper?" gumam Vai bingung. Ia menatap ke arah Dustin.
Dustin mengepalkan tangannya sekuat tenaga hingga bergetar. Sepertinay ia tidak dapat menyembunyikan amarahnya. Entah apa yang membuat Dustin terlihat begitu marah dan geram saat mendengar sebutan nama Reaper di telinganya.
"Dustin!" Panggil Howard.
Dustin menatap Howard. Howard menggeleng kepala perlahan melarangnya melakukan hal yang tidak-tidak.
"CIH!!" Dustin memalingkan mukanya dengan kesal.
"Apa ada korban lagi kali ini?" Tanya Howard.
"Seorang pedagang di dermaga tewas mengenaskan!" Tentara itu menunjukkan selembar foto pada Howard.
Foto tersebut memperlihatkan gambar seorang pedagang yang tewas mengenaskan. Sebagian tubuhnya tampak membeku dan sebagian lagi tercabik-cabik. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Vai melirik pada gambar di foto tersebut.
"Hei!!" sorak Vai. "…itu kan pedagang senter waktu itu!"
Howard dan para tentara serentak menatap Vai.
"Kamu mengenalnya?" tanya Howard.
"Ya!" Jawab Vai. "…Aku membeli senter ini darinya dengan harga murah sebelum masuk ke hutan ini!" Ujar Vai sambil mengeluarkan senter yang dibelinya tersebut.
Para tentara yang mendengar ucapan Vai seketika mengernyitkan dahi. Sepertinya kata murah terdengar begitu sensitive di telinga mereka.
Howard mengangguk pelan dan kembali menatap para tentara.
"Apakah pengamanan sudah diperketat?" tanyanya.
"Sudah, Tuan Howard!" Jawab tentara tersebut. "…Tetapi jejak keberadaannya sampai sekarang masih tidak terlacak!"
"Hah?! Buat apa pemerintah menerapkan tarif pajak yang begitu tinggi tetapi untuk menangkap seorang penjahat saja masih tidak bisa?" Sindir Vai.
"APA KAMU BILANG?" Tentara tersebut tersinggung. "…Hei! Aku tahu kamu!! Kamu bocah yang melempar batu ke arah kami waktu itu kan? Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam???"
Tentara tersebut terlihat kesal dan menatap Vai seolah menantangnya berkelahi. Ia mengarahkan senjatanya ke arah Vai.
"Kalian tidak akan menang melawannya!" Ujar Howard. "…Dia adalah muridku!"
"A…Apa? Bocah seperti ini merupakan murid Tuan Howard?"
"Dustin, Vai!" Panggil Howard. "…Kalian pergilah terlebih dahulu! Saya akan melaporkan masalah ini ke kastil! Dan Vai! Temui saya di kastil besok!" Ujar Howard.
Dustin dan Vai mengangguk. Howard pun melangkah pergi menuju kastil bersama dengan beberapa orang tentara.
"Aku mau melihat tempat kejadian!" Ujar Vai.
Dustin tidak menjawab. Ia masih menunduk dengan wajah yang tampak geram. Tangannya dikepal sekuat tenaga hingga bergetar.
"Dustin?" Panggil Vai. "…Kamu akan ikut bersamaku kan?"
"Ah? Iya!" Dustin tersadarkan dari lamunannya.
'Kiikk!' Kiki berseru seolah tidak ingin dilupakan. Ia akan mengikuti Vai kemanapun Vai pergi.
--
-
Vai dan Dustin berhenti di tempat pedagang senter berjualan di dermaga. Etalase miliknya sudah tidak ada di sana. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kerusakan di tempat ini sebelumnya. Sepertinya sisa-sisa kekacauan di tempat ini telah dibereskan oleh para tentara.
"Kenapa orang baik sepertinya harus mati?" gerutu Vai.
"Orang baik?" Tanya Dustin heran.
"Ya! Pedagang itu memberiku diskon yang besar pada senter yang kubeli! Artinya dia orang baik!" Ujar Vai.
"Sederhana sekali pemikiranmu." gumam Dustin.
"Sepertinya pajak yang tinggi di kota ini hanya digunakan untuk membersihkan kekacauan saja!" sindir Vai. "…Buat apa pemerintah di kota ini menempatkan tentara yang begitu banyak namun masih saja tidak dapat menangkap seorang penjahat?"
"Aku tidak akan memaafkannya!!" Ujar Dustin geram. "Reaper! Aku pasti akan menangkapnya!!"
Vai mengangguk.
'Kiiik! Kiiik!' Kiki mengiyakan.
"Selagi kita di sini, bagaimana kalau kita mampir ke tempat temanku?" Ujar Vai tiba-tiba.
"Teman?"
"Ya!" Jawab Vai sambil berjalan menuju ke arah penginapan Klaus. "…Aku kenal seorang pemilik penginapan di dekat sini!"
Dustin mengangguk pelan sembari mengikutinya.
--
-
'Ngeeeeeekkk!'
Derik pintu penginapan Klaus terdengar nyaring. Suara lonceng penanda tamu tidak terdengar.
"Pak Santa?" Panggil Vai sembari mengintip ke dalam penginapan.
Alangkah terkejutnya Vai melihat pemandangan di hadapannya. Semua furniture, etalase, dan peralatan di penginapan terlihat hancur berantakan. Sepertinya sempat terjadi keributan di tempat ini.
"PAK SANTA??!!" Panggilnya lagi. Vai terlihat syok dan kaget.
Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini? Vai masuk ke dalam penginapan dan mencari Santa di dalam. Semoga saja Santa tidak kenapa-kenapa.
'KIIIKKK!!' Kiki ikut berteriak seolah ikut memanggil Santa.
'Ngiieeekk!'
Pintu penginapan kembali terbuka. Dustin yang baru sampai, masuk ke dalam penginapan. Ia tidak kalah syok. Seisi penginapan telah hancur berantakan di hadapannya.
"A…Apa yang terjadi di tempat ini?" Ujarnya.
Vai keluar dari balik ruangan. Ia tidak dapat menemukan Santa di dalam penginapan ini.
"Sepertinya telah terjadi sesuatu di tempat ini!" Ujar Vai. "…Aku tidak dapat menemukan Pak Santa!"
Vai dan Dustin berjalan ke luar penginapan.
"Kita harus melaporkan kejadian ini pada guru!" Ujar Dustin.
Tiba-tiba sesosok pria keluar dari rumah di sebelah penginapan Klaus.
"Nak Vai? Kau kah itu?" Ujar pria tersebut.
Vai menoleh ke arah asal suara. Ia melihat seorang pria kurus dengan perban yang membalut sekujur lengan dan kepalanya.
"Pak Santa!!" Ujar Vai lega. "Syukurlah Pak Santa baik-baik saja!"
Baik-baik saja sepertinya bukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan seorang pria tua dengan perban yang membalut sekujur tubuhnya. Vai dan Dustin segera menghampiri Santa. Sepertinya penginapan Klaus belum lama ini diserang dan Santa telah menjadi korban penyerangan tersebut.
"Apa yang terjadi, Pak Santa?" Ujar Vai lagi.
"Nak Vai!" Panggil Santa. "…Penginapanku belum lama diserang oleh seorang pria berjubah hitam yang membawa sebuah senjata berbentuk sabit besar dan panjang." Jelas Santa.
Pria berjubah hitam dan membawa senjata berbentuk sabit besar? Sepintas Vai teringat saat ia melihat pria dengan ciri-ciri yang sama di malam ia berlari ke penginapan mengejar batas waktu malam. Pria berjubah hitam dengan sabit besar dalam genggamannya berdiri di balik gedung di dekat penginapan.
"Sabit besar?" ujar Dustin. "…Bukankah itu senjata yang biasa dibawa Reaper??"
"Ah??!" Santa terlihat kaget saat melihat Dustin. "…Saya mohon maaf atas kelancanganku, Yang Mulia Dustin!" Santa menunduk memberi hormat pada Dustin.
"Apa?? Ya..Yang Mulia??" Vai menatap Dustin heran.
To be continued…