Chereads / I'm Vai - I just want to Live Peacefully / Chapter 23 - Chapter 23. Belati Taring Macan

Chapter 23 - Chapter 23. Belati Taring Macan

Chapter 23. Belati Taring Macan

--

Vai dan Dustin berjalan melewati rubanah (Ruang Bawah Tanah / Basement) kastil ini. Vai baru tahu, ternyata kastil ini memiliki ruang bawah tanah di bawah bangunan kastil. Rubanah kastil ini memang tidak semewah ruangan-ruangan lain di atas, namun tempat ini terlihat begitu besar terlepas dari pilar-pilar raksasa yang menopang bangunan kastil ini. Vai memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan takjub.

"Tempat apa ini, Dustin?" tanya Vai.

"Rubanah kastil…" Ujar Dustin. "…tempat ini sudah ada sejak pertama kali kastil ini dibangun.. Dulunya tempat ini merupakan penjara bawah tanah sekaligus dijadikan sebagai tempat perlindungan."

"Tempat perlindungan?"

"Benar! Dulunya tempat ini digunakan oleh para leluhur kami untuk berlindung dari serangan musuh pada jaman perang..."

Vai mengangguk pelan sambil terus memperhatikan sekelilingnya. Mereka terus berjalan melewati Lorong-lorong di rubanah ini sampai akhirnya mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar.

"Kita telah sampai di ruang penempaan!" Ujar Dustin sambil membuka pintu kayu tersebut.

Vai dan Dustin memasuki ruang penempaan.

'Teng!!! Teng!!! Teng!!!'

Suara penempaan besi terdengar begitu nyaring dan keras dalam ruangan ini. Vai nyaris tak bisa berkata-kata menyaksikan pemandangan ini di hadapannya. Ia memperhatikan sekelilingnya. Di tempat ini, terdapat tempat peleburan besi, penempaan senjata tajam, produksi bubuk mesiu untuk bahan peledak, dan masih banyak lagi. Ternyata tempat ini juga merupakan pusat pembuatan senjata kota Kalt.

Tidak seperti bayangan Vai sebelumnya, ternyata tempat ini sangat ramai. Banyak sekali pekerja dalam ruangan ini. Para pekerja di ruang penempaan ini bertugas memproduksi senjata secara massal.

"Apakah tempat ini memang selalu ramai seperti ini?" tanya Vai.

"Sebelum ayahku meninggal, produksi senjata di tempat ini tidak seintens sekarang." Ujar Dustin. "…ayahku sangat cinta akan perdamaian. Ia tidak suka dengan konflik."

Dustin dan Vai terus berjalan menyusuri ruangan yang sangat besar itu.

"Semenjak meninggalnya ayahku… Pamanku, Raja Hendrik merasa bahwa pertahanan dan keamanan di kota Kalt ini sangat kurang baik..." Lanjut Dustin. "…Oleh karena itu, semenjak pamanku menjabat sebagai raja, ia langsung memfokuskan pengembangan kota Kalt di bidang militer. Kebutuhan senjata para tentara pun semakin meningkat.. dan tempat ini menjadi seperti ini…"

"Berfokus pada militer?" Ujar Vai. "…dengan produksi senjata sebanyak ini, Daripada keamanan dan pertahanan, aku lebih melihatnya seperti persiapan perang… "

Dustin menggelengkan kepalanya dan tersenyum menatap Vai.

"…Pamanku bukan orang seperti itu." Ujarnya. "…meskipun ia memfokuskan pengembangan kota pada Militer, Paman Hendrik dikenal sebagai orang yang sangat ramah pada semua orang. Ia tidak akan mungkin memulai sebuah perang."

Vai mengangguk mengiyakan.

Perhatian Dustin teralihkan pada seorang pria tua yang mengenakan sebuah celemek di pinggangnya. Pria tua tersebut terlihat sibuk mengatur para pekerja di ruangan ini.

"Pak Kepala!" Panggil Dustin. Pria tua tersebut merupakan pengawas sekaligus kepala produksi senjata di kastil ini.

"Ah? Yang Mulia Dustin!" Jawab pria tua tersebut. "…Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?" Pria tua tersebut berjalan mendekati mereka.

"Saya ingin meminta bantuan anda untuk membuat sebuah senjata!" Ujar Dustin. Dustin pun mengambil taring pedang macan tersebut dari tangan Vai. "…apakah anda bisa membuat senjata dengan taring ini?"

Pria tua tersebut mengambil kacamata baca dari kantong dan mengenakannya. Ia pun memperhatikan taring pedang tersebut dengan seksama.

"Bukankah taring ini berasal dari macan bergigi pedang?" Ujarnya.

"Benar, Pak Kepala! Bisakah anda membuatnya menjadi sebuah senjata?" Tanya Dustin.

Pria tua itu mengangguk pelan.

"Kembalilah nanti malam, Yang Mulia!" Ujarnya. "…saya akan membuatkan sebuah senjata yang kuat dengan taring ini!"

"Baik! Terima kasih, Pak Kepala!" Ujar Dustin. "…kami akan kembali lagi ke sini nanti malam!"

--

Malamnya,

Setelah menikmati jamuan makan malam bersama, Vai dan Dustin kembali ke rubanah.

"Hei, Dustin!" Panggil Vai. "…apakah kamu selalu menikmati makan malam mewah seperti itu?"

"Begitulah!" jawab Dustin santai. "…tetapi kehidupan yang serba berkecukupan seperti ini terus terang membuatku jenuh dan ingin segera pergi dari tempat ini!"

"Di luar sana banyak sekali orang yang ingin menikmati hidup berkecukupan bahkan mewah sepertimu… tetapi kamu malah berkebalikan dari mereka." Ujar Vai. "…kamu malah merasa jenuh dan ingin pergi meninggalkan semua itu…"

"Sudahlah, Vai! Tidak perlu dibahas lagi!" Ujar Dustin. "…Ngomong-ngomong, aku tidak sabar untuk mengetahui seperti apa senjata yang akan dibuat Pak Kepala dengan taring itu!"

"Kuharap senjata itu akan sangat kuat seperti pedangmu, Dustin!" Ujar Vai.

Dustin mengangguk sambil tersenyum.

--

"Silahkan, Yang Mulia Dustin!" Ujar Kepala produksi tersebut sembari menyerahkan sebuah belati lengkap dengan sarungnya pada Dustin. "…seharusnya belati ini cukup tajam untuk menembus kulit seekor beruang…"

Dustin mengambil belati tersebut dan memperhatikannya. Ganggang belati itu terbuat dari logam metal yang diukir. Berat belati tersebut terasa cukup pas saat dipegang Dustin.

"Cobalah, Vai!" Ujar Dustin sambil menyerahkan belati tersebut pada Vai.

Vai membuka sarung belati tersebut secara perlahan. Taring pedang dari macan bergigi pedang tersebut kini telah menjadi mata pisau dari belati ini bahkan telah diasah dengan tajam oleh Kepala produksi tersebut. Ganggang belati yang terbuat dari bahan metal khusus tersebut membuat belati ini terasa berat di tangan Vai. Tidak, berat tersebut malah membuat belati tersebut semakin kuat saat diayunkan. Dengan memegangnya saja, Vai tahu bahwa benda tersebut pastinya sangat kuat dan tajam.

"Wow!" Vai terpana. "...belati ini berasal taring pedang tadi?" Ujar Vai tidak percaya.

Vai pun mengayunkan belati tersebut pada sebatang kayu di sebelahnya.

'SLASH!'

Batang kayu itu terbelah dengan mudah. Batang kayu yang terbelah tersebut menunjukkan bahwa belati milik Vai sangat tajam. Dustin yang menyaksikan hal tersebut tersenyum menyeringai.

"Terima kasih, Pak Kepala!" Ujar Dustin.

Pria tua itu mengangguk pelan sambil tersenyum simpul. Vai dan Dustin pun melangkah pergi meninggalkan pria tua tersebut.

"Vai, Kurasa sebaiknya kita pergi menemui Bard dan yang lainnya sekarang!" Ujar Dustin. "…Bard dan yang lainnya berada tidak jauh dari perbatasan kota…Kamu juga bisa mencoba kekuatan belati itu di sana."

Vai mengangguk setuju.

"Tapi bagaimana jika kita ketahuan?" tanyanya. "…pamanmu pasti akan sangat marah.."

"…Paman Hendrik tidak pernah memarahiku…" Ujar Dustin. "…terakhir kali aku ketahuan menyelinap keluar, Paman Hendrik langsung turun ke kota dengan membawa banyak sekali tentara untuk meminta maaf secara langsung pada para warga kota atas tindakanku."

"Kenapa seorang raja malah melakukan hal itu?" Ujar Vai heran.

" Paman Hendrik dikenal sebagai pribadi yang ramah sekaligus tegas…" Jelas Dustin. "…mungkin akibat dari perbuatanku saat itu, ia merasa sangat bersalah pada warga kota karena keponakannya sendirilah yang justru melanggar larangan darinya… padahal seharusnya aku menjadi contoh yang baik untuk para warga, bukan sebaliknya…"

Vai mengangguk pelan sambil berusaha mencerna penjelasan Dustin. Seorang raja sampai sebegitu niatnya meminta maaf secara langsung pada warganya? Di balik semua kegiatan militer dan pembuatan senjata massal, ternyata Raja Hendrik sangat peduli pada warganya.

"Saat ayahku masih hidup, Paman Hendrik tidak pernah sebaik itu padaku. Tetapi semenjak kepergiannya, Paman menjadi sangat ramah dan baik sekali padaku." Jelas Dustin. "…tapi mungkin saja itu hanyalah caranya untuk menghiburku.."

"Aku mengerti, Dustin!" Ujar Vai sambil tersenyum. "…sepertinya Raja Hendrik memang merupakan sosok yang sangat luar biasa …"

Dustin mengangguk mengiyakan.

"Baiklah! Aku sudah mempersiapkan jalur lubang dari tembok belakang kastil. Kita akan keluar dari tempat itu melalui lubang itu!" Ujar Dustin.

Vai kembali mengangguk setuju

--

To be continued…