Chapter 11. Tindakan bodoh
--
Vai kembali menelusuri hutan tanpa arah. Sudah beberapa jam berlalu sejak ia memasuki hutan ini. Ia bahkan tidak melihat adanya jalan setapak di sekitarnya. Sepertinya ia tersesat. Jangankan untuk bertemu dengan Howard, untuk kembali ke pagar kawat tadi pun rasanya ia sudah tidak tahu arah. Ia tidak punya pilihan lain selain bertemu dengan Howard agar dapat keluar dari hutan ini.
Perjalanan di dalam hutan ini membuat Vai tersadarkan betapa menyenangkannya hidup di kota. Di Kota, semua serba praktis. Ia dapat bersantai-santai di atas kasur yang empuk, bahkan memesan makanan tanpa perlu keluar rumah sekalipun.
Makanan?
'Krruuuukk..Kruuuuk…'
Perut Vai berbunyi. Vai baru sadar kalau ia belum makan seharian. Dan lagi, ia tidak mempersiapkan bekal untuk perjalanannya di hutan ini.
Hei, ini adalah hutan. Semua sumber daya yang dapat mengenyangkan perut pasti tersedia di hutan. Pikir Vai. Pasti ada hewan buruan atau buah-buahan yang dapat dimakan di hutan ini. Vai memperhatikan pohon-pohon sekitar berharap menemukan buah yang dikira dapat dimakan.
'krik-krik-krik..'
Ia tidak menemukan satupun pohon yang memiliki buah.
"..Ya..yang benar saja.. dari sekian banyak pohon disini, kenapa aku tidak menemukan satupun pohon yang berbuah??" gerutu Vai.
Pandangan Vai teralihkan pada semak sekelilingnya. Beberapa buah beri tumbuh di semak-semak tersebut. Kelihatannya buah beri itu layak untuk dimakan. Pikir Vai. Vai langsung memetik buah beri tersebut dan memakannya.
'PHUEEEEHHHH!! PHEEEHH!!'
Beri tersebut terasa sangat asam. Vai melepehan buah beri tersebut. Wajahnya mengerut menahan rasa asam di mulut. Wajah Vai terlihat sangat jelek.
'KIKKK..KIiiikkk..Kiiiikkkk!!'
Dari balik pepohonan, monyet berekor dua tadi menertawakan Vai.
"..Apa kamu lihat-lihat???" bentak Vai.
Sebenarnya Vai ingin sekali menangkap monyet itu dan memberinya pelajaran. Namun, lelah di tubuh ditambah dengan rasa lapar membuat Vai mengurungkan niat mengejar monyet tersebut. Monyet tersebut kembali melompat pergi meninggalkan Vai. Sepertinya monyet tersebut kembali selama beberapa saat hanya untuk meledek Vai.
'Srek..srek..srek..'
Vai mendengar suara dari balik semak-semak. Ia mengintip ke balik semak perlahan.
Terlihat seekor kelinci putih sedang menggaruk-garuk tanah dan mengendus-endus dari balik semak tersebut. Hei, ada yang berbeda dengan kelinci ini. Kelinci ini memiliki sebatang tanduk di kepalanya. Bentuk tanduk kelinci itu menyerupai tanduk unicorn. Sedikit tidak selaras dengan tubuh kecilnya, ukuran tanduk di kepalanya cukup panjang bahkan mencapai dua kali ukuran kepalanya.
"Kelinci bertanduk??" gumam Vai. "..memangnya kelinci punya tanduk ya?"
Kelinci apapun itu aku tidak peduli. Kelinci adalah kelinci, pasti rasa dagingnya akan sangat enak bila dibakar nanti. Pikir Vai.
Vai membuka tas pinggangnya perlahan. Ia mengeluarkan sebuah belati dari dalam tasnya. Ternyata belati yang direbutnya dari tentara kemarin dapat berguna juga di saat seperti ini.
Vai menggenggam kuat belati tersebut dengan tangan kanannya. Kelinci tersebut hanya berjarak kurang lebih 5 meter darinya. Vai masih bersembunyi dari balik semak. Ia bersiap menerjang kelinci putih itu dengan belati tersebut.
Kelinci tersebut masih menggaruk-garuk tanah tanpa menyadari ada bahaya yang mengintai. Vai menunggu momen yang tepat untuk menghabisinya. Ia pun menahan nafas menyembunyikan keberadaannya. Satu-satunya yang berbahaya dari kelinci itu adalah tanduknya. Ia tinggal menghindari tanduk kelinci tersebut dan kelinci panggang pun siap disajikan. Pikir Vai.
'Grrrrr…'
'GROAARR!!!'
Terdengar geraman seekor hewan buas, di saat bersamaan sosok makhluk besar tiba-tiba muncul entah dari mana dan menerjang kelinci tersebut dengan cepat. Seekor macan dengan taring besar bagaikan pedang mencengkeram tubuh kelinci kecil putih tak berdaya tersebut dan mencabik-cabik tubuhnya. Kelinci putih bertanduk itu seketika menjadi cemilan sore hewan buas nan besar tersebut.
Darah segar masih menetes di mulut dan taring macan bergigi pedang tersebut. Vai syok dan matanya terbelalak menyaksikan pembantaian mengerikan itu terjadi begitu cepat di depan matanya. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi padanya apabila ia terlebih dahulu menyerang kelinci itu. Mungkin sebaliknya, tubuhnyalah yang akan berada di dalam mulut dan taring macan tersebut.
Ukuran tubuh macan bergigi pedang tersebut tergolong sangat besar. Bila dibandingkan dengan tubuh Vai, ukuran tubuhnya bisa mencapai dua sampai tiga kali lebih besar.
'GLUP!'
Vai menelan ludah dari balik semak. Ia masih menahan napas menyembunyikan keberadaannya. Semula ia berniat berburu kelinci, kini, ia malah terlihat bagaikan kelinci yang hendak diburu.
Macan bergigi pedang itu berjalan pergi meninggalkan tempat itu tanpa memperdulikan keberadaan Vai di balik semak. Sepertinya macan tersebut tidak menyadari keberadaan Vai atau mungkin ia memang tidak tertarik untuk menyerang Vai. Apapun alasannya, Vai sudah bisa bernafas lega. Nyaris saja.
Mungkin sebaiknya aku lebih berhati-hati di hutan ini. Tidak ada yang tahu kapan bahaya akan menyerang. Makhluk buas di hutan ini bisa muncul kapan saja dan darimana saja. Pikir Vai. Mungkin bisa dikatakan ia cukup beruntung bisa bertahan di hutan terlarang ini sampai sekarang.
Vai memilih untuk melangkah pergi dari daerah tersebut. Ia tidak tahu kapan macan tersebut akan kembali. Mungkin saja daerah ini merupakan daerah kekuasaan macan bergigi pedang tersebut.
--
'Krruuuukk…'
Bunyi perut Vai semakin kencang. Langit semakin gelap, cahaya matahari pun mulai terlihat sangat redup di dalam hutan ini.
"..Aku lapaaar…" gerutu Vai. Mungkin rasa lapar di perutnya yang membuat Vai berjalan lunglai. Sebilah belati tentara masih berada dalam genggamannya. Ia memutuskan untuk memegang belati ini di tangannya sepanjang perjalanan agar sewaktu-waktu ia dapat dengan sigap menghadapi serangan makhluk buas. Tidak ada yang tahu kapan serangan dari makhluk buas akan datang.
Vai merebahkan pantatnya di samping sebuah pohon besar. Ia duduk mengistirahatkan kakinya. Vai telah berjalan seharian selama berada di hutan ini. Belum lagi rasa lapar terus menghantuinya sepanjang perjalanan.
Hei, ternyata ada jamur yang tumbuh di bawah pohon ini. Vai kegirangan. Bentuk jamur ini mirip dengan jamur yang biasa dimasak ibunya di rumah. Pasti jamur ini layak untuk dimakan. Pikir Vai. Vai pun langsung mencabut jamur-jamur tersebut dan bersiap memasaknya.
Hal pertama yang perlu ia siapkan adalah api. Tidak sulit baginya untuk menemukan ranting-ranting pohon di sekitar hutan ini dan tak butuh waktu lama, Vai telah mengumpulkan ranting-ranting pohon dan dahan kering dari sekitar. Sebuah pematik api dari dalam tas pinggang Vai digunakan untuk menyalakan api unggun. Vai pun segera membakar jamur yang dipetiknya barusan.
Rasa lapar yang sedari pagi ditahannya membuat Vai tidak sabar menyantap jamur tersebut.
'Hap! HAP! Nyam!'
--
Rasa lapar di perut Vai pun sirna seketika. Jamur yang dibakarnya tadi dalam sekejab telah masuk ke dalam perutnya.
"FUUAAAHH!!" Vai bernafas lega . "..kupikir aku akan mati kelaparan tadi…"
Vai bangkit berdiri.
'Hyuuuunggg'
"Eh?"
Dunia terasa berputar dan bergoyang hebat.
Tidak.. perasaan ini hanya dirasakan oleh Vai.
Keringat dingin mulai membanjiri kening dan tubuh Vai.
"..a..ada apa ini?" gumam Vai. Dunia terasa terus berputar kencang dan semakin kencang di kepala Vai.
'BRUK!!' Vai tumbang.
Vai tidak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali, keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya. Seluruh tubuhnya mulai terasa kesemutan.
"..A..Aku tidak dapat merasakan kaki tanganku…"
Sepertinya ada yang salah.
Vai keracunan makanan. Efek dari jamur yang dimakannya membuatnya tidak dapat bergerak. Ia merasakan pusing dan mual di kepala ditambah lagi dengan rasa kesemutan di seluruh tubuhnya.
Vai pun pingsan.
To be continued..