Chapter 10. Hutan Terlarang (2)
Sepertinya tidak mungkin bagi Vai untuk masuk ke dalam hutan ini melalui gerbang utama. Vai berjalan di tepi hutan. Sepanjang mata memandang, hutan ini dikelilingi oleh pagar kawat yang tinggi. Ia terus berjalan menelusuri tepi hutan berharap menemukan celah dari pagar kawat agar dapat memasuki hutan tersebut.
Vai telah berjalan selama kurang lebih satu jam. Ia sama sekali tidak dapat menemukan celah untuk masuk dari pagar kawat tersebut.
"AAARRGHHH!!!" Vai berteriak kesal karena tidak dapat masuk ke dalam hutan. Ia pun merebahkan tubuhnya ke atas tanah.
Apa sebaiknya aku menyerah saja ya? Pikir Vai. Ia menatap ke arah langit. Untuk apa aku melakukan perjalanan ini? Apa untungnya buatku? Kenapa harus aku yang melakukan perjalanan ini? Keluh Vai.
Vai termenung menatap langit. Hembusan angin menerpa wajahnya. Tiba-tiba, pandangan Vai teralihkan pada pagar tinggi yang mengelilingi hutan.
"Hei!! Kenapa tidak terpikirkan olehku? Aku kan bisa memasuki hutan dengan memanjat pagar ini! " Ujar Vai. Pagar yang mengelilingi hutan ini hanya setinggi kurang lebih tiga sampai empat meter.
Vai bangkit berdiri dan memperhatikan sekeliling. Hanya jalan setapak dan rerumputan yang terlihat di sekelilingnya. Tidak ada seorangpun di sini. Kurasa aku bisa memanjat masuk sekarang. Pikir Vai.
'HUP!!' Vai memanjat masuk ke dalam hutan perlahan.
Tak lama kemudian, Vai telah berada di balik pagar kawat. Ia memperhatikan sekeliling.
'GLUPP!'
Vai menelan ludahnya. Ia tertegun melihat besarnya pepohonan dalam hutan ini. Hutan ini terlihat begitu gelap. Cahaya matahari hampir tidak dapat menembus ke tanah. Aura dingin dari dalam hutan berhembus kuat dan menusuk tulang.
"..Apa yang telah kulakukan?" gumamnya. Ia telah memasuki hutan terlarang.
Sepertinya Vai tidak berpikir Panjang. Ia memasuki hutan terlarang tanpa persiapan. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bertemu dengan Howard Knut. Tetapi ia tidak mempertimbangkan betapa luasnya hutan ini. Dan lagi, sepertinya hutan ini sangat berbahaya.
Vai menghela nafas panjang. Aku tidak akan kalah dari hutan ini. Keluarga Sarma dulunya merupakan keluarga yang selalu hidup di hutan. Darah keluarga Sarma mengalir dalam tubuhku. Aku pasti bisa menakhlukkan hutan seperti ini. Pikir Vai. Ia pun menyalakan senter yang dibelinya tadi dan melangkah masuk ke dalam hutan.
Sepanjang perjalanan di dalam hutan, Vai takjub dengan ukuran-ukuran pepohonan di hutan ini. Pepohonan di sini sangat besar dan lebat. Apakah World Tree lebih besar daripada ini? Pikirnya. World Tree merupakan pohon terbesar di dunia yang diceritakan dalam Legenda keluarga Sarma secara turun temurun.
Berbeda dengan di kota, tidak ada seorang pun warga yang tinggal di hutan ini. Kesunyian di dalam hutan membuat Vai bergidik. Apakah ia bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup?
"Aku pasti bisa bertahan di hutan ini. Zaman dahulu, nenek moyangku juga tinggal di hutan. Kalau cuman begini sih aku juga pasti bisa" gumam Vai menghibur dirinya sendiri
"Zaman dahulu nenek moyangku juga tinggal di hutan! Kalau begini saja aku juga pasti bisa masuk ke hutan!" ujar Vai menghibur dirinya sendiri.
--
Sepanjang perjalanan di hutan, tidak terlihat adanya jalan setapak. Sulit sekali bagi Vai untuk mencari Howard di hutan ini tanpa petunjuk sama sekali.
'TAP..TAP!!'
"hah? Suara apa itu?"
'SRAK..SRAK!!'
Terdengar suara gesekan dedaunan dari pepohonan sekitar.
"..Si…siapa disana?" Vai mengarahkan senternya ke arah asal suara.
'Tap… tapp.. tapppp…'
"KIKKKKK!!!!!!" Seekor monyet melompat ke arahnya.
'KYAAAAAAA!!!!'
Hanya tiga langkah. Iya, cukup tiga langkah saja untuk membuat keturunan dari keluarga yang mengabdikan hidupnya di hutan berteriak histeris seperti seorang gadis.
Vai kaget luar biasa. Monyet tersebut berjalan melewatinya begitu saja. Ia pun melihat sekeliling.
"..Monyet sialan..bikin kaget saja.." gerutunya. Vai menghela nafas panjang. "..Untung tidak ada seorang pun yang melihatku berteriak seperti itu.." Vai menghibur dirinya.
Di saat bersamaan, monyet tersebut tersenyum menyeringai seolah meledek Vai.
"APA KAU LIHAT-LIHAT??" Ujar Vai.
"KIIIKK!!!" Monyet tersebut kembali melompat ke arah Vai.
"HEEEI!!!" Vai menghindar.
Monyet itu merebut senter dari genggaman Vai. Ia kembali tersenyum menyeringai menatapnya.
"..Kamu!!!" Vai mulai kesal. "..kembalikan senterku!!!"
"KIKK!!! KIIKKK!! KIIIKK!!!!" monyet itu melompat-lompat seolah menantangnya. Hei, ada yang berbeda dengan monyet tersebut. Ternyata ia memiliki dua ekor di tubuhnya. Monyet yang unik.
"..Baiklah! kalau kamu menantangku seperti itu, akan kuladeni!!" Ujar Vai.
Vai memejamkan mata dan mengatur ritme pernapasannya. Ia akan menggunakan Teknik dari kakeknya.
'Fiuh!'
Vai membuka matanya perlahan. Suasana sekeliling menjadi sangat lambat. Ia pun tersenyum menyeringai. Aku pasti akan menangkapmu, pikirnya.
Monyet berekor dua tersebut berlari meninggalkan Vai. Vai dengan sigap mengejarnya. Dalam sekejab, ia telah berada di samping monyet tersebut.
"KIIIK!!"
"DAPAAT!!" Teriak Vai sembari menangkap monyet itu.
Namun, berbeda dari yang diharapkan Vai. Ia meleset. Monyet itu berhasil menghindar. Gerakan monyet tersebut jauh lebih cepat darinya. Padahal Vai sudah menggunakan Teknik dari kakeknya.
"Sial..pasti Cuma kebetulan!" gerutu Vai. "..Kemari kau!!"
Vai kembali melompat ke arah monyet itu dan berusaha menangkapnya.
"HUP!"
"KIK!"
"PLAK!!" Sebuah tamparan dari telapak tangan kecil monyet itu mendarat di pipi Vai.
"AAUUUCH!!" Vai memegang pipi kirinya yang ditampar monyet itu. "..SIAL!! KALAU BERHASIL KUTANGKAP,KUSATE KAMU!!!"
"HAH!"
"KIK!"
"HAAAH!!"
"KIIK!!"
--
-
"Hosh..Hosh..Hosh…" Nafas Vai terengah-engah.
Ia tidak berhasil menangkap Monyet berekor dua itu. Suasana sekeliling Vai terlihat kembali normal. Monyet berekor dua itu melompat-lompat kegirangan dan mengejeknya. Kedua pipi Vai terlihat merah bekas tamparan. Sepertinya ia telah ditampar berkali-kali oleh monyet itu.
"..si..sial..hosh..hosh.." Vai merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Ia terlihat sangat kelelahan. "..bagaimana mungkin?"
Monyet itu mendekati wajah Vai.
"Kenapa? ..Hosh..hosh.." Ujar Vai terengah-engah.
'BROT!'
Ternyata monyet tersebut mengarahkan pantatnya ke wajah Vai dan kentut.
"AAAARRRHHH!!!!" Vai berteriak maraaah sembari menutup hidungnya. "..KUBUNUH KAMU KALAU KETANGKAP!!"
Monyet tersebut pun berlari meninggalkan Vai. Vai tidak sanggup lagi mengejar monyet itu. Tubuhnya kehabisan tenaga. Ia hanya bisa pasrah membiarkan monyet berekor dua itu membawa senternya.
'Hosh..hosh..hosh..'
Vai mengistirahatkan tubuhnya dan menatap ke langit. Dari tempat ini, ternyata cahaya matahari dapat tembus hingga ke tanah. Pepohonan di daerah ini tidak terlalu lebat. Bau rerumputan di sekitar justru membuatnya rileks dan nyaman.
Entah sudah berapa lama ia berada di dalam hutan ini. Ia memasuki hutan ini dengan tujuan bertemu dengan Howard Knut. Tetapi ia tidak memiliki petunjuk sama sekali. Bagaimana caranya ia menemukan Howard di hutan yang sebesar ini?
--
To be continued..