***
Akan ku ceritakan sebuah hal yang mungkin kalian tentu saja bertanya-tanya tentang sesosok pria yang telah menolong ku dan membuat jantungku masih saja berdetak cepat, saat mengingat kejadian di koridor kelas sepuluh.
Dia, Jason Harold seorang blasteran Indonesia-Belanda-Inggris. Memiliki wajah bule yang khas dengan dinaungi sepasang mata yang berwarna biru tua, hidung yang mancung, alis yang tebal berwarna coklat, bibir yang sedikit kemerahan, rambut coklat tua, dagu yang terbelah, dan rahang yang kokoh. Jason tidak pernah membiarkan wajah nya yang rupawan itu ditumbuhi bulu-bulu halus, wajahnya selalu terlihat menarik untuk dipandang.
Tinggi badannya yang menjulang itu bisa dipastikan berada dikisaran 192 cm dengan bobot tubuh nya yang besar namun berotot, memiliki berat badan 80 kg. Tubuhnya sudah termasuk ideal dan memang ia tidak memiliki lemak yang menumpuk dibeberapa tempat. Ia suka sekali bermain basket juga volly ketika jam pelajaran olahraga, dan saat waktu istirahat tiba.
Ia sekarang sama dengan ku, sama-sama kelas sebelas IPA, namun kami tak sekelas. Berbeda dengan ku yang terkesan cuek, ia adalah gunung es yang dingin dengan wajahnya yang kaku dan datar. Tidak nampak adanya keceriaan bahkan kebahagiaan disana. Sebenarnya ia merupakan siswa pindahan dari Bandung, sejak ia masuk kelas sebelas. Tepatnya setelah 6 bulan ia bergabung dengan sekolah ini, ia sudah mencari keributan di luar sekolah pada saat bel pulang berbunyi. Tampak ia dan beberapa temannya melakukan aksi yang cukup mencengangkan, dimana ia telah berani secara terang-terangan menyatakan akan mengajak siswa-siswa yang jago berkelahi untuk tawuran setelah bel pulang sekolah.
Tanpa banyak kata, segerombolan siswa yang bermasalah karena berkelahi dan membuat onar disekolah maju melangkah mengikuti ia yang sudah berada di barisan paling depan, gerbang sekolah kami SMA Persada. Masih ku ingat dalam otakku, seluruh siswa dan siswi yang tidak terlibat tawuran harus berada di sekolah. Setelah segerombolan itu pergi melewati gerbang, langsung saja pintu gerbang ditutup rapat dan di kunci oleh satpam yang berjaga pada saat kejadian. Kami hanya bisa menyaksikan lewat celah gerbang seperti kami para narapidana yang ingin dibebaskan, tawuran itu begitu mengerikan. Lemparan batu, pemukulan, pengeroyokan, dan satu hal lagi dari sebagian mereka membawa alat tajam seperti pisau lipat yang telah mereka siapkan dan taruh di saku celana abu-abu nya.
Sekelebat bayang Jason terus terngiang di kepalaku, bayangan akan dirinya yang bisa saja terkena luka paling banyak karena ia sendiri yang terlebih dulu maju, juga ada rasa khawatir bila ia akan di keluarkan dari sekolah karena aksinya yang mengerahkan juga mengajak massa untuk terlibat tawuran. Tidak lama, mobil polisi mulai menghadang massa yang tawuran, dan dalam satu kali peringatan dan juga ancaman mereka pun lari tunggang-langgang, dan polisi telah menembakkan gas air mata. Sebagian dari mereka berhasil kabur dari kejaran polisi, namun sebagian yang belum sempat untuk lari dari tempat itu langsung diamankan dan dibawa ke mobil polisi.
Satu persatu, aku melihat mereka yang naik ke mobil pickup polisi dengan secara teliti, akan tetapi orang yang ku cari dan ku cemas kan tak nampak batang hidungnya. Tawuran akhirnya telah usai, satpam pun membukakan pintu gerbang yang sempat dikunci. Kami pun bergegas pergi dari sekolah dan segera menuju rumah masing-masing, jalanan yang kami lalui nampak berserakan dengan sisa-sisa bekas tawuran yang baru saja terjadi. Rasa takut dan mencekam mulai merasuki kami yang akan menuju ke halte, takut jika saja massa yang tadi tidak tertangkap polisi bersembunyi disana. Syukurlah, tak ada satu orang pun yang sedang berada di halte. Kami pun kompak bernafas lega dan mulai menunggu busway yang siap menjemput kami untuk pulang ke rumah.
keesokkan harinya, pagi yang mulai menyapa dan matahari yang bersinar telah menyambut kami dengan penuh sukacita. Pihak sekolah sudah membereskan tawuran antar pelajar kemarin dengan mengarahkan pada pihak polisi dan para staff yang berada di lingkungan sekolah untuk mengantisipasi adanya tawuran kembali. Aku sudah berada di kelasku, dan sebelum aku mendaratkan tubuh untuk duduk di kursi ku. Olivia teman sekelas ku sedang membicarakan insiden kemarin dengan teman-teman ku yang lain.
"Gila, aku lihat kemarin Jason penuh luka lebam." Tampak teman-teman ku yang menyimak ceritanya sangat antusias, aku pun juga ikut mendengarkan cerita dari Olivia. Kembali ia melanjutkan ceritanya, "Serius, aku berani sumpah" ia mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V, ekspresi wajahnya terlihat serius.
"Kamu tahu darimana, Jason terluka sampai separah itu?" tanya Cindy penuh keraguan, "Iya benar, itu..." timpal beberapa suara yang berkumpul menjadi sebuah lingkaran, menyorot Olivia seakan meminta jawaban. Olivia menghembus nafasnya pelan, ia berusaha mengatur emosinya. Karena yang berkumpul menjadi lingkaran kecil mengelilinginya, sekarang sudah menjadi lingkaran yang begitu besar. Jumlah kami bagai massa demonstran, sedangkan Olivia kewalahan menghadapi kami.
"Kenapa bisa tahu, karena...." semua mata tertuju pada Olivia dengan harap cemas, bagaimana tidak, mereka sangat mengidolakan Jason sejak ia pindah ke sekolah ini.
"Karena, aku bertemu dengannya saat menuju pulang kerumah. ku lihat ada luka sayatan di bahu kirinya dan itu membuatku shock. akhirnya aku membawa ia ke rumah sakit untuk dicek keadaan nya." kami semua berkoor "ohhhh..." sambil menganggukkan kepal. Tanpa sadar, aku mengucap syukur dalam hati bahwa Jason masih bisa terselamatkan.