***
Terkejut mendengar suara bariton nya yang khas, membuat sekujur tubuhku mendadak kaku. Perlahan Jason mendekati dengan raut wajahnya yang datar, namun itu membuat ku bertingkah konyol. Aku justru melangkah mundur saat ia maju kehadapan ku, entah mengapa tatapan matanya seolah mengintimidasi dan aku merasa takut berada didekatnya.
Punggung ku menabrak dinding, dan dengan secepat kilat kedua tangannya mengurung sisi tubuhku kiri dan kanan, nafasku tercekat dan aku merasa jantung ini tak berdetak normal, semua nya serba cepat. Ia mendekat kan kepalanya, mensejajarkan dengan tinggi badan ku. Hembusan nafasnya menerpa wajahku, dekat dan sangat dekat. Ohhh.. aku tersiksa lahir dan batin jika dalam situasi dan kondisi seperti ini, layaknya aku sebagai buruan yang siap untuk diterkam oleh pemangsanya.
Kini bibirnya berada tepat ditelinga kanan ku, dan ku rasakan lagi hembusan nafasnya yang hangat membuatk saraf dalam otakku membeku.
"Aku belum mendengar ucapan terimakasih," aku tercenung mendengar ucapannya barusan, sadar akan hal itu kedua mataku melebar. Dan kini pandangan mata kami beradu tatap, ada desiran aneh yang menguasai sanubari ku.
"Kapan kamu akan bilang kata itu, untukku" ini bukan pertanyaan yang ia ajukan, tapi sebuah pernyataan dan keharusan bagiku.
"Bisa tidak, kamu menyingkir dariku?" Aku mulai risih dengan tatapannya yang menghunus tajam, dan amat sangat tak nyaman dengan kelakuannya.
"Tidak, sebelum kamu mengatakan itu!" desisnya tajam dan tak terbantahkan, aku menolehkan wajah kesamping dan menghembuskan nafas kesal. Kenapa sih, dia begitu pemaksa?!
Ku kumpulkan rasa sabar, dan ku tatap kembali manik matanya yang hitam gelap penuh dengan misteri. "Terimakasih." kataku datar, ia berdecih dan tersenyum smirk.
"Tambahkan Jason dalam kata itu." kembali ia memerintah dengan pernyataan nya membuatku berdecih dan menatapnya sinis, akhh... aku benci kamu!
Sepuluh menit aku terkurung dalam kedua tangannya yang kekar, dan karena aku ingat setelah istirahat akan ada mata pelajaran fisika. Membuatku tak bisa berkompromi lagi dengan hati dan pikiran, mau tak mau aku harus menyelesaikan urusan ini dengan si biang masalah.
"Terimakasih, Jason." Raut wajahnya yang datar, kini semakin dingin dan tak terbaca. Membuatku mengernyit, bingung. Apa ada yang salah dengan ucapan ku?
"Aku ingin kamu tersenyum ketika mengucapkan kata itu, mengerti." ia kembali memerintahkan ku dengan tatapan tajam sebilah belati, tanpa sadar membuat urat di wajahku menegang kaku menahan amarah. Kali ini aku kembali mengulang kata 'terimakasih' dengan senyum yang dipaksakan, "Terimakasih, Jason." Dapat ku lihat binar dimatanya melembut dan ia melepaskan kedua tangannya disisi tubuh kiri dan kanan ku membuatku merasa lega dan aku pun segera pergi dari hadapannya. Aku tidak ingin Bu Vero menghukumku karena tidak ada dikelasnya. Namun, pada saat aku akan menaiki undakan anak tangga yang pertama, "Aku mencemaskan mu." Aku mendengar seseorang berbicara pelan dan saat ku berbalik ke belakang, dapat ku lihat punggungnya yang lebar dan tegap mulai menjauh, aku tercenung dan kembali jantungku berdetak cepat....