***
Setelah menutup telepon tersebut, Farrel berdiri dari duduknya dan bersiap untuk pergi. Tapi sebelum itu, Aku menarik tangannya dan dia pun menoleh. Dapat kulihat wajahnya yang cemas dan khawatir yang saat ini sedang ia tampilkan, ia pun segera menghadap kearah ku dan menggenggam kedua bahu ku. "Aku minta maaf, aku harus segera pergi ke rumah sakit karena ayahku kecelakaan." Tuturnya dengan suara pelan dan sorot matanya yang memohon padaku untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
"Ku mohon, ijinkanlah aku ikut dengan mu." Pinta ku iba, dan tanpa sadar kedua mata ku berkaca-kaca ingin rasanya aku menjatuhkan air mataku karena perasaan sedih yang ikut melanda diriku. Tanpa banyak kata, Farrel menggenggam tangan kanan ku dan tak lupa aku dengannya berpamitan pada Daryl. Setelah itu kami pergi ke rumah sakit dengan naik mobil milik Farrel.
Rumah Sakit Nightingale
Kami sudah sampai di ruang perawatan, dan dapat ku lihat di depan pintu ruang rawat ayah Farrel tampak seorang wanita paruh baya berusia sekitar 42 tahun sedang duduk di bangku dan satu wanita lagi yang berusia 20 tahun sedang merangkul wanita paruh baya tersebut yang saat ini menangis.
Farrel menghampiri kedua wanita tersebut dan berlutut di depan wanita paruh baya itu, tampak kedua tangannya menggenggam tangan wanita itu sambil menundukkan kepalanya dan berucap lirih, "Mah, Farrel minta maaf.." Suara tangis wanita itu pecah seketika dan saat ia memandang ke arah Farrel ia langsung memeluk nya dengan derai air mata yang terus meluncur keluar. "Kamu tidak perlu minta maaf, Farrel..." ucap wanita itu dengan tersedu-sedu dan dapat kulihat punggung Farrel bergetar, tanda bahwa ia pun menangis. Mereka berdua terhanyut akan pelukan itu dan wanita muda yang sedang merangkul tadi juga ikut menangis namun masih bisa ia kendalikan. Wanita muda tersebut, tampak sedang menghapus air matanya yang menetes di pipi nya yang putih seketika tatapannya mengarah kepada ku. Ku lihat ia mulai berdiri dan meninggalkan kedua orang yang saat ini masih berpelukan dengan eratnya seperti tak ingin di pisah.
"Kamu siapa?" tanya wanita muda itu yang sudah berdiri di depan ku. Aku tergagap sendiri, bingung menjawab apa tapi sepertinya, Farrel sudah kembali di samping ku dan menatap kearah wanita muda itu.
"Dia teman ku, ada apa bertanya seperti itu?" tanya Farrel mulai gusar, ekspresi wanita tersebut terkejut dan hanya memandang bingung kearah Farrel. "Aku kira kamu tidak suka perempuan, ternyata dugaan ku salah selama ini.. CK CK CK" wanita muda itu menyilangkan tangan di dadanya dan berdecak cukup kencang sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak menyangka, sekarang adik ku sudah dewasa." Senyum wanita itu tipis, Farrel berdecih kesal. "Fanny hentikan ucapan mu, Farrel baru datang jangan kamu ganggu." tegur sang wanita paruh baya itu dengan suara pelannya, Fanny yang di tegur pun memanyunkan bibirnya sedangkan Farrel tertawa terbahak-bahak. "Rasakan.." ledek nya, Fanny semakin geram saja dengan Farrel sang adik namun tak bisa membalas perkataannya.
Aku pun diajak Farrel untuk berkenalan dengan anggota keluarganya, yang ternyata wanita paruh baya itu adalah ibunya dan Fanny sang Kaka sulung. Ibu Farrel mengatakan bahwa ayah Farrel kecelakaan karena mobil yang ia kendarai tidak bisa mengerem dan akhirnya oleng dan menyebabkan kepalanya terbentur dan ada patah tulang di kaki kanannya. Saat ini masih di tangani oleh tim medis dan belum ada tindakan lebih jauh lagi.
Namun, pintu ruang rawat inap ayah Farrel terbuka dan semua yang ada di depan pintu tersebut menghampiri dokter dan perawat. "Bagaimana dok, dengan kondisinya?" tanya ibu Farrel mencoba untuk tenang tampak raut wajahnya yang cemas.
Dokter tersebut menarik nafasnya perlahan dan mulai berbicara, "Sepertinya ada benturan hebat di kepala Tuan Gilbert, dan kami menyarankan untuk merujuk tuan Gilbert ke rumah sakit yang ada di Jerman untuk masalah cedera kepala dan kaki kanannya yang patah." ujar dokter tersebut lugas dan semua mata yang mendengar penjelasan nya hanya diam membisu. kembali ibu Farrel bertanya dengan suara yang hampir ingin menangis, "Apa menurut dokter ini jalan yang terbaik?" dokter tersebut mengangguk mantap dan berkata, "Benar, ini yang terbaik bagi tuan Gilbert untuk pulih. Meskipun waktu yang di tempuh cukup lama, namun di tunjang dengan kecanggihan teknologi di Jerman dapat mempercepat proses penyembuhan nya."
"Baik, jika itu yang terbaik. Saya akan menyetujuinya." ucap ibu Farrel dan dokter pun mempersilahkan ibu Farrel untuk ke ruangannya dan mengisi juga menyetujui inform concern.
Tampak wajah sedih dan kecewa menghampiri dua kakak beradik yang berdiri di hadapan ku, Farrel yang memijit pelipisnya dan Fanny yang menutup mulutnya dengan tangan karena saat ini ia kembali menangis. Aku yang melihatnya, ku hampiri Fanny dan ku usap bahunya pelan. Ia justru memelukku dan menangis tersedu-sedu menutupi wajah nya dengan kedua tangan.
***
Dua hari kemudian, ayah Farrel sudah di berangkatkan ke Jerman untuk perawatan dan pengobatan. Sedangkan Farrel menyusul hari ini juga, karena ia di sibukkan dengan sekolah dan tugas akhir kelas dua belas. Ku lihat tatapannya yang sendu dan tidak fokus sedang berjalan mengabaikan panggilan dan seruan teman-temannya untuk bermain basket. Dan yang membuat ku heran, kenapa dia membawa tas ransel nya saat jam istirahat. Apa dia ingin pergi keluar sebentar atau dia sakit atau apa? pertanyaan itu muncul di benak ku.
Dan ku dapati Farrel berdiri di hadapan ku dan mengangkat kepalanya yang tadi ia tundukkan. Mata nya memandang ku dengan sorot lemah tak berdaya, "Aku harus pergi ke Jerman sekarang, dan aku..." ia menghentikan ucapannya yang terputus, mimik wajah nya terasa putus asa dan gamang membuat ku tanpa sadar jadi ikut menahan nafas saat ia kembali melanjutkan kalimatnya bahwa, "Aku akan pindah ke Jerman dan tidak akan kembali lagi, Amanda." detik itu juga, air mataku jatuh dan wajahnya yang rupawan itu menunduk kembali...