"Ini surat yang sudah ku buat, semoga saja kamu mengirim nya langsung." aku mengambil sebuah amplop berwarna merah muda dari tangan Clara, sekali lagi dia tersenyum sumringah padaku. Tatapan ku kosong sejak menerima surat cinta Clara untuk Ivan.
Tanpa terasa, aku sudah mulai dekat dengan Ivan, hanya sebatas teman mengobrol ketika ia bertamu ke rumah Daryl. Aku tahu, yang ku lakukan semua ini begitu bodoh dan sia-sia. Mungkin di mata dunia, aku adalah gadis yang tidak bisa berkorban demi sebuah cinta dan harapan. Tapi, boleh kah aku jujur? Aku hanya tidak ingin kehilangan seorang teman yang bersama ku sejak kami masih SD dulu.
"Hai..." sapa ku pada Ivan yang duduk di kursi taman belakang rumah Daryl, iya langsung menyambut ku dengan senyum khasnya yang datar.
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu, bisa kah kamu menerima nya?" tanya ku mulai gugup, aku begitu takut ia akan menolak surat cinta yang Clara tulis. karena semenjak aku mengenal Ivan, ia adalah sosok laki-laki yang sangat dingin dan cuek terhadap perempuan yang didekat nya, contohnya seperti ku ini. Aku harus ekstra sabar untuk dekat dengannya, karena ini tidak mudah bagi ku.
surat dari Clara sudah ku sodorkan pada Ivan, ia hanya mengernyitkan dahi dan menatapku dengan bingung.
"Apa kamu yang menulis nya?" tanya nya begitu mengintimidasi ku, aku menatap matanya yang hitam dan menggelengkan kepala ku pelan.
"Teman ku yang menulis nya, dia hanya ingin aku membantu untuk mengirimkan nya padamu."
Ivan mulai menerima alasan dari jawaban ku, dan langsung mengambil surat yang sudah aku serahkan padanya. Seketika, surat tersebut sudah ia masukan kedalam backpack nya. Aku hanya bisa menunduk menahan tangis ku, ini berat, sungguh berat, perjuangan ku selama ini, bukanlah untukku melainkan untuk orang lain.
Tak ingin terus berada di tempat yang sama dengannya, aku pun pamit undur diri. sebagian ragaku tidak menginginkan nya, tapi jiwa ku sudah hampa dan tak tersisa.
"Aku pamit pulang dulu, cuma itu yang bisa ku sampaikan."
"Ok, berhati-hatilah." Ivan menggiring ku dengan tatapan nya ketika aku mulai menjauh pergi dari sana. seketika, Daryl menghentikan langkahnya dan mendekati ku.
"Ada apa dengan mu?" tanya nya sarat akan kekhawatiran. aku menarik nafas ku perlahan dan menatap wajahnya, dengan kedua mataku. Aku dapat berkomunikasi dengan Daryl bahwa aku baik-baik saja. Lantas bergegas pergi dari rumah Daryl, aku tahu ini tidak mudah. tapi kan ku coba sampai hati ku pulih dari luka yang ku buat.
Sudah seminggu ini, aku tidak melihat Clara maupun Ivan di lapangan sepakbola. Apa mungkin, Ivan menerima Clara dan mereka sedang pergi kencan? Oh... ayolah kenapa aku mesti marah, kan aku sendiri yang malah membantu Clara untuk dekat dengan Ivan.
saat ini aku begitu tidak fokus, sampai ketika sesuatu yang bulat dan keras menghantam kepala ku dan menyebabkan aku jatuh terduduk di tanah. awwww... hanya sebuah ringisan tanpa suara yang ku buat.
Aku hanya mengusap kepala ku yang tadi, terkena lemparan bola basket yang tergeletak tak berdaya di samping tubuh ku.
"Maaf ini salah ku, kamu tidak apa-apa?" tanya seorang laki-laki yang berdiri di hadapan ku, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena auranya yang begitu gelap dan ditambah pula bentuk tubuhnya yang tinggi dan besar itu.
"Mari, aku bantu kamu berdiri." kini ia menyerahkan kan tangan kanan nya padaku, aku pun melongo dan seketika aku dapat melihat wajahnya yang berada diatas kepalaku.
Ohhhhhhh tidak, dia laki- laki yang sempurna...