Aku seperti bunga mawar, katanya aku cantik tapi tidak bisa dipegang.
Kisah cintaku juga seperti bunga mawar, nampaknya indah namun cukup berduri.
Eclaire's POV
Kukayuh sepeda ontelku semakin kencang mengikuti arah angin. Pedal sepedaku rasanya amat ringan, aku bagaikan terbang tertiup angin. Kuperlambat kecepatan sepedaku saat melintasi turunan jalan. Satu turunan berhasil kuturuni dengan mulus.
Eclaire ingat, jalan di depan sana masih berliku dan masih ada tikungan tajam menantimu. Janganlah jumawa karena sesungguhnya turunan jalanan adalah lintasan termudah dari segala lintasan namun dibalik lintasan turunan itu kita tidak pernah tahu ujungnya akan membawa kita ke landasan yang mulus atau berbatu. Aku berusaha meyakinkan diriku berkali-kali
Benar saja, landasan ujung dari turunan ini adalah aspal yang tidak rata, penuh kubangan kecil. Namun aku terus menerjang jalanan ini.
Dalam pikiranku rasanya menumpuk berbagai masalah, semuanya memaksa untuk aku dapat menyelesaikannya lebih dahulu. Aku sudah berusaha mengatur prioritas, namun nyatanya aku tak bisa konsisten terhadap urutan prioritas yangtelah kubuat. Ku harap semuanya bisa selesai dengan sekejap.
Ponselku bergetar, tanda ada yang menelponku.
Aku berhenti sejenak di pinggir jalan untuk mengangkat ponselku.
Baru saja kutaruh ponsel ini di telingaku seseorang membekapku dari belakang.
Dan...
Semua hitam.
***
Mataku terbelalak, terbangun seketika. Aku merasa badanku tak bisa digerakan, kakikupun juga sudah terpatri. Apa yang tejadi denganku saat ini. Tempat ini sangat gelap, aku tak bisa melihat apa-apa. Mungkinkah aku sudah berada di neraka sekarang ini?
Oh, Tuhan, jika benar aku sudah berada di neraka bagaimana? Aku belum meminta maaf kepada orang-orang di sekitarku? Aku harus siap menerima hukuman akan segala perbuatan tidak baikku. Aku hanya bisa menunduk dan kembali memejamkan, berharap jika aku masih hidup.
Terdengar suara kaki berjalan dan lampupun menyala. Aku ternyata berada d sebuah ruangan yang mirip dengan gudang. Kiniaku bisa melihat keadaan di sekelilingku.
Aku masih menggumam dalam hati, mungkinkan neraka seperti ini?
Tampak ada 4 orang pria di hadapanku, semuanya berbadan cukup kekar, salah satunya, tidak-tidak semuanya aku mengenalinya, aku pernah melihat keempat pria di hadapanku. Akhirnya aku tahu dan seharusnya dari awal aku sudah tahu jika mereka adalah antek-antek Tuan Jo Hajung. Siapa lagi jika bukan Tuan Jo yang ingin menculikku. Seorang pria datang menghampiriku dan memberikanku sepiring makanan lengkap dengan lauk pauknya.
"Rupanya kau sudah sadar! Ayo, cepat dimakan, saya tidak ingin kau mati kelaparan!" bentak pria tersebut.
Aku tak menggubris perkataan si pria berbadan kekar tersebut.
"Oh iya, mulutmu kan dilakban ya, bagaimana bisa memakannya. Maaf!"
Pria tersebut melepas lakban dari mulutku dan dia mencoba menyuapiku. Aku langsung meludahinya.
Pria tersebut murka dengan kelakuanku.
"KAU...." pria tersebut mencoba menahan emosinya.
Pria lainnya kembali melakban mulutku, aku memberontak tak inin dilakban kembali mulutnya.
Kini, aku sudah pasrah, hidup dan matiku berada di tangan Tuhan. Jika sebelumnya aku selalu bisa meloloskan diri dari tangkapan antek-antek Tuan Jo namun kali ini aku benar-benar telah berhasil ditangkap dan disekap.
Aku tak peduli jika mereka akan menyiksaku dan membuatku mati dengan tidak berbentuk.
"Hei gadis kecil, sudah dikatakan berkali-kali jangan ikut campur dengan urusan orang dewasa, sudah bagus Tuan Jo tidak mengejarmu tapi kau terus saja ikut campur dengan urusan Tuan Jo," ujar salah seorang pria tersebut.
Mulutku yang terlakban tak bisa mengatakan apapun untuk membalas ucapan antek-antek Tuan Jo. Aku hanya bisa menggeliat dan menggerak-gerakan kepalaku sebagai tanda pemberontakanku.
Salah satu pria tertawa meyumpahiku. " Pilih ya, kau ingin mati dimakan buaya? Atau piranha? Atau dicabik macan tutul? Kami masih baik memberikanmu pilihan cara matimu!"
Seorang pria melepaskan lakban yang menempel di mulutku.
"Terserah kalian yang menurut kalian paling tidak meninggalkan jejak yang mana?" tantangku.
"Dasar kau, tak takut mati rupanya!"
"Semua orang pati akan mati, kenapa aku harus takut?"
Seorang pria terlihat sudah sangat marah dan tak tahan untuk melampiaskan emosinya. Saat pria tersebut ingin menamparku, tangannya ditahan oleh seseorang.
Eclaire's POV End
***
Author's POV
Azran mengangkat ponselnya yang berdering. "Yeoboseyo!"
"Dasar kau, tak bisa dibilangi sekali? Kau ajak kemana Eclaire? Bisa-bisanya jam segini pulang!" Seorang wanita langsung melemparkan amarahnya seketika saat Azran baru berbicara di telepon.
"Tunggu dulu Nyonya Shin, saya tidak tahu apa maksud Nyonya?"
"Kau... Jangan sampai membuat emosi saya semakin naik, cepat bawa pulang Eclaire sekarang atau saya lapor polisi?" tutup Nyonya Shin mematikan telepon.
Azran membatin. Eclaire?
Azran seketika berdiri mengambil jaketnya di kasur dan bergegas keluar rumah.
Falla, adik Azran yang berpapasan dengan kakaknya itu di ruang tamu kaget akan kecepatan kakaknya melintas di depannya.
"Heh, Oppa mau kemana lu?" Falla dibuat kaget dengan tindakan Kakaknya.
"Ngopi dek, tolong bilangin Eomma ya?!" sahut Azran dari pintu keluar rumah.
Falla membatin. Mesti ada hubungannya sama Eclaire nih kalo perginya secepet itu, dasar Oppa gue kepala batu.
***
Azran tak peduli berapa kecepatannya mengendarai mobilnya, yang ia tahu adalah menemukan Elaire. Ia menyetir dengan menggenggam ponselnya. Stir dan ponsel menjadi tumpuannya.
Ia membuka ponsel sembari menyetir, mengabaikan keselamtannya berkendaran.
Berkali-kali Azran menghubungi ponsel Eclaire namun tak ada jawaban. Sungguh frustasi Azran dibuatnya. Ia pun meminggirkan mobilnya di pinggir jembatan.
Tubuh Azran berkeringat padahal di dalam mobil suhunya cukup dingin, walau musim panas kali ini cukup panas namun jika sudah melebihi pukul 10 malam cuaca tak akan seekstrim panasnya seperti siang ataupun sore hari.
Azran menscroll ponselnya.
Ia menemukan satu nama untuk ditelpon. Ia langsung menyentuh tanda telepon di layar ponselnya.
"Yeoboseyo Inna Noona!"
"Azran, ada apa menelpon jam segini?"
"Maaf aku mengganggumu. Inna Noona bisa beri alamat rumh tuan Jo Hajung?"
"Neo... michinne (apa kau sudah gila)?" Yoo Inna menaikan nada suaranya.
"Buat apa kau berurusan dengan orang itu lagi?"
"Kali ini aku ada keperluan, kumohon Noona berikan alamat rumah Tuan Jo padaku!" pinta Azran.
"Memag ada urusan apa?"
"Ini soal Eclaire..."
"Eclaire lagi? Kau dan Eclaire sama-sama kepala batu dan keras kepala!" sentak Yoo Inna ditelepon.
"Noona..."
"Tashi marhaebwa (katakan padaku sekali lagi), kau benar menyukai Eclaire kan?" Yoo Inna melepaskan pertanyaan tak terduga.
Azran mengelak seketika, "Aniya (Tidak)... Noona, aku tak menyukainya... keunyang (cuma)"
Azran berhenti, berpikir melanjutkan kata-katanya.
"Keunya mwo (Cuma apa)?"
"Jadi Noona mau bantu aku atau tidak?"
Akhirnya Yoo Inna memberikan alamat rumah Tuan Jo Hajung.
Azran tanpa pikir panjang meluncur ke tempat tersebut.
***