Percakapan Jenni dan Daniel tampak saling bersaut sautan saling mengisi satu sama lain, bahkan keduanya tampak menikmati suasana nya sendiri dalam dimensi nya sendiri.
Jika saja Jack tak mengetuk pintu untuk memberitahukan pada Daniel bahwa ada berkas yang harus di periksa olehnya, bisa saja Daniel tak menyadari hal tersebut, dan keduanya telah memakan waktu lebih dari satu jam untuk saling menghubungi.
"Ah, sayang sepertinya aku harus memutuskan telefon dulu, aku ada sedikit pekerjaan, tidak apa apa?" tanya Daniel pada akhirnya.
Dengan cepat Jenni mengiyakan perkataan Daniel. Ia tak ingin mengganggu pekerjaan Daniel tentunya. Bagi gadis itu Daniel yang telah menyempatkan waktunya untuk nya saja itu merupakan hal istimewa sendiri untuk Jenni.
"Ini berkasnya pak," ujar Jack pada Daniel.
Pemuda itu tampak menganggukan kepala, dan langsung dengan cepat manik nya tertuju pada berkas berkas yang di berikan oleh Jack.
Jika sudah masuk dalam pekerjaan, maka dengan sendiri nya Jack harus berpamitan keluar dari ruangan Daniel.
Pemuda itu memang workholic, hanya karena Jenni lah Daniel sedikit lebih santai dan tak terlalu kaku seperti sebelum - sebelumnya.
***
Seorang gadis tampak berusaha memejamkan maniknya yang sedari tadi ia sudah berusaha untuk membuat manik tersebut terpejam. Namun sayang kedua manik itu tampak setia terbuka dengan cerah nya.
"Arghhh ... siapa wanita itu? Mengapa Daniel seolah membela nya habis habisan? Apakah memang gadis itu lebih cantik dan pintar dariku?" tanya Kylie mempertanyakan pada diringa sendiri tanpa mendapatkan sebuah jawaban.
Gadis itu benar benar sangat kesal. Baru kali ini selama sepanjang hidup nya ia di tolak mentah mentah oleh seorang pemuda, dan beralasan ia telah memiliki kekasih.
"Kau!! aku akan mencari gadis itu," lirih Kylie mencoba menenangkan dirinya dengan argumen tersebut.
Ya, setelah mendapat penolakan dari Daniel, Kylie langsung mengendarai mobil nya menuju rumah nya dan membenamkan dirinya di kamar, tanpa seorang pun dapat mengusik nya.
Ia tak ingin di ganggu. Perasaan nya sungguh hancur.
Ia kira kisah cinta nya yang menyukai Daniel akan berakhir baik, dan ia akan berhasil mendapatkannya. Namun semua khayalan yang ada di pemikirannya semula, kini hanya lah sebuah angan angan belaka.
Mengapa harus ada gadis lain yang lebih dulu dari nya mendapatkan seorang Daniel yang merupakan CEO muda dan terbilang sukses, belum lagi dengan status nya sebelum nya terkenal dingin tak mudah di dekati seorang gadis.
Bukan kah jika berhasil mendapatkan hati Daniel, berarti sama saja dengan mendapatkan reward yak terduga?
Perlahan manik Kylie akhirnya berhasil terpejam setelah kekhawatirannya, maupun kemarahannya berhasil ia lontarkan sepenuhnya.
***
Jenni yang sebelumnya masih berada di kampus di temani oleh Edward kini tengah jalan ke sebuah cafe kecil yang tak jauh dari kampus nya itu.
"Aku baru tahu ternyata kau bisa menghubungi kekasih mu itu memakan waktu yang lama, terlebih aku masih ingat bahwa sahabatku yang sudah ku kenal lama dulunya adalah seorang gadis pendiam, irit bicara, dan hanya kepada sebagian orang saja berbicara, nyatanya aku tak melihat hal itu jika kau sedang bersama kekasih mu itu ... ini kemajuan," ujar Edward memuji Jenni.
Seketika Jenni tergelak tawa mendengar ocehan sahabat nya itu.
Memang perkataan sahabatnya itu tak dapat di katakan salah, hanya saja ia merasa bahwa sahabat nya sedikit melebih lebihkan.
"Kau mau pesan apa? Aku yang akan pesankan,"
"Green tea latte with cream,"
Sebuah anggukan pelan Edward berikan pada Jenni.
Tak lama Jenni mencari bangku dengan spot yang pas, sedang kan Edward langsung memesan pesanan untuk keduanya.
Setelah selesai memesankan minuman tersebut, Edward melangkahkan kakinya menuju mejanya, dengan cake kecil yang ia bawa dengan piring kecil di tangannya.
"Makanlah, aku tahu kau menyukai ini,"
"Kau memang sahabat terbaikku," ujar Jenni sambil mengacungkan jempol nya pada Edward saat meletakkan cake itu di hadapannya.
Keduanya tampak berbincang kecil sebelum minuman yang sudah di pesan di antar ke meja mereka.
Jenni senang walaupun ia bisa di bilang tak memiliki banyak teman, paling tidak ia masih memiliki satu orang sahabat, dan satu kekasih. Hal itu sudah lebih dari cukup untuknya, di bandingkan ia memiliki banyak teman, tetapi tak mendukung nya sepenuhnya.
"Ini minumannya Tuan, Nona," ujar sang pelayan sambil menaruh minuman tersebut di meja di mana keduanya berada.
Keduanya tampak menganggukan kepalanya sambil mengucapkan terimakasih pada sang pelayan tersebut.
"Minumlah, aku tahu pasti tenggorokan mu terasa kering, karena sedari tadi telah memakan makanan manis tanpa minuman sedikit pun," ujar Edward pada Jenni.
Sebuah senyuman tipis Jenni berikan pada Edward sebelum meminum minumannya itu.
"Jen, sebenarnya aku ingin menanyakan ini dari beberapa waktu lalu, hanya saja waktu nya tak tepat," ujar Edward pada Jenni.
Jenni mengerutkan alisnya bingung menatap Edward seolah bertanya mengenai hal apa yang ingkn di tanyakan oleh Edward pada nya.
Edward tampak menegukkan saliva nya kasar, dan menatap Jenni dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.
"Maaf, aku tak bermaksud ingin tahu, tapi memang aku penasaran, hanya saja jika kau tak berniat menjawabnya tak apa," ujar Edward terlebih dahulu berbasa basi pada Jenni.
Jenni memutarkan maniknya malas, dan mengatakan pada Edward untuk segera menanyakan padanya tanpa harus berbelit memainkan kata yang dapat membuatnya kesal.
"Jadi, apa yang sebenarnya yang tengah terjadi antara dirimu dan pak Michael?"
Deg
Seketika Jenni terdiam, dan menghentikan menyeruput minumannya.
Perlahan manik Jenni menatap Edward.
"Mengapa kau bertanya seperti itu?" tanya Jenni terlebih dahulu ingin tahu sejauh mana Edward mengetahuinya.
Edward menghela nafasnya pelan, dan dengan penuh keraguan ia menjelaskan mengapa ia bertanya pada nya seperti itu.
Ia menjelaskan bahwa belakangan ini ia melihat sang dosen terkadang memerhatika Jenni dari jauh tanpa sedikit pun berusaha mendekati Jenni seperti sebelum sebelumnya.
Ia tahu bahwa Jenni dan Michael memang cukup dekat, karena bisa di bilang Edward sadar bahwa gadis itu menganggap Michael layaknya kakak nya sendiri, untuk itu Edward tak pernah memiliki perasaan lain atas sikap Jenni dengan Michael tersebut.
"Kau tahu bahwa aku selama ini menganggap nya seperti saudaraku bukan?" tanya Jenni terlebih dahulu memastikan atas pertanyaan nya itu bahwa Jenni telah mengetahuinya.
Edward menganggukan kepalanya cepat.
"Dia salah paham atas sikap ku yang selama ini baik padanya."
Sontak Edward menyipitkan maniknya, dan mencoba menyuarakan apa yang ia fikirkan menurut logikanya.
"Apa ia menyukaimu?"
Jenni tak mengatakannya secara langsung, melainkan hanya menganggukan kepalanya, dan menghela nafasnya panjang.
"Bahkan ia sengaja membuat gallery agar aku dapat menempatkan lukisan ku disana, seolah aku lah yang menggelar gallery itu," ujar Jenni lemah sambil memijit keningnya.
"Lalu, bukankah itu bagus? Kau memimpikan hal itu bukan?"
Jenni menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku tak membutuhkannya, aku akan membuat gallery sendiri dengan kemampuanku tanpa bantuannya, dan kau juga tahu bahwa aku tak mencintainya," ujar Jenni.
Refleks Edward memukul keningnya pelan. Hampir saja ia lupa, bahwa Jenni tak menyukai hal yang mengharuskannya bergantung dengan orang lain.
"Ah ... aku mengerti, Maaf ..." ujar Edward pelan.
Jenni hanya menggelengkan kepalanya pelan, tak mempermasalahkan pertanyaan yang Edward lontarkan padanya.
'Maafkan aku yang tak dapat membalas perasaanmu,'
....
Leave a comment and vote