Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Penguasa Pelabuhan Utara

🇮🇩Lux_Ferre_King
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.1k
Views
Synopsis
(Rate 21+) Di balik hiruk-pikuk Jakarta, dunia hitam memiliki aturannya sendiri. Adrian, pemimpin Naga Besi, menguasai wilayah utara kota, termasuk sebuah pelabuhan kecil yang menjadi pusat bisnis penyelundupannya. Namun, kekuasaannya mulai digoyang ketika berbagai kelompok gangster mulai mengincar pelabuhan tersebut—bukan sekadar untuk perdagangan ilegal biasa, melainkan untuk sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Sebuah organisasi rahasia internasional berniat menyebarkan virus mematikan dari Jakarta ke seluruh dunia. Mereka telah menyuap pejabat tinggi dan menggunakan gangster lokal untuk memastikan virus dapat dikembangkan tanpa gangguan. Namun, ada satu masalah: pelabuhan Naga Besi adalah jalur paling strategis, dan Adrian tidak akan membiarkan siapa pun mengambilnya. Di saat situasi memanas, seorang wanita misterius muncul. Yasmin, agen terbaik dari Dakhma, organisasi rahasia asal Asia Barat, memanfaatkan otak, otot, dan tubuhnya mendekati Adrian, lalu memperingatkan Adrian tentang ancaman yang lebih besar dari sekadar perang antar-gangster. Awalnya ragu, Adrian akhirnya harus bekerja sama dengannya setelah serangan besar-besaran terjadi di pelabuhan. Dari pertempuran brutal di jalanan Jakarta, penyusupan ke gala eksklusif para elit korup, hingga perburuan di laboratorium rahasia, Adrian dan Yasmin menyusun rencana berbahaya untuk menghentikan bencana global. Namun, musuh mereka bukan hanya gangster rival atau pasukan bayaran, melainkan orang-orang di pemerintahan yang memegang kendali sebenarnya. Saat darah mengalir di pelabuhan utara dan pengkhianatan terungkap, Adrian harus memilih: melindungi wilayahnya, atau menyelamatkan jutaan nyawa. Sebuah novel aksi penuh intrik politik, pertempuran brutal, adegan dewasa—seksual, dan konspirasi global—di mana dunia hitam bertemu dengan kekuatan yang jauh lebih berbahaya. Ketika senjata dan strategi tak lagi cukup, siapa yang akan bertahan di tengah perang di dunia bawah ini?
VIEW MORE

Chapter 1 - Naga Besi

Malam di Jakarta adalah simfoni kelam, perpaduan antara bayangan dan cahaya yang bertarung dalam kekacauan tanpa akhir. Di sebuah gang belakang yang sempit dan lembap, aroma anyir bercampur asap knalpot mengendap di udara, menyelubungi lorong yang dikuasai oleh bayang-bayang suram. Dinding-dinding di sekelilingnya penuh dengan coretan graffiti yang tampak seperti jeritan sunyi dari kota yang terluka—saksi bisu dari pertempuran yang tak pernah benar-benar usai.

Adrian berdiri di ujung gang, sosoknya tegak bagaikan patung batu di tengah gulita. Jaket kulit hitam yang membungkus tubuhnya berkilau samar di bawah pantulan lampu neon yang berkedip-kedip, menciptakan siluet yang hampir mistis. Rahangnya mengeras, ekspresinya sedingin malam itu sendiri saat tatapannya terkunci pada pintu baja berkarat di hadapannya—sebuah gerbang yang memisahkan mereka dari apa yang sedang mereka buru.

Di belakangnya, lima pemuda berdiri dalam diam, masing-masing menggenggam berbagai macam senjata dengan jemari yang tegang. Mata mereka penuh kesiap-siagaan, napas mereka tertahan dalam ketegangan yang mendidih. Mereka adalah Naga Besi, kelompok gangster yang namanya dibisikkan dalam ketakutan di sudut-sudut kota. Setiap langkah mereka berarti darah, setiap keputusan mereka menentukan hidup dan mati.

"Ini tempatnya," bisik salah satu anak buahnya, suaranya serak seperti angin yang berbisik di antara bangunan tua. Di tangannya, sebilah parang berkilat di bawah sorotan lampu jalan yang redup, mencerminkan malam yang haus akan kekerasan.

Adrian mengangguk pelan. Matanya tak berkedip, penuh perhitungan dingin. "Kita tidak datang untuk basa-basi," suaranya rendah, tajam seperti bilah pisau yang baru diasah. "Begitu masuk, hajar siapa saja yang melawan. Kalau perlu, habisi."

Tak ada yang membantah. Mereka hanya mengangguk serempak, bagaikan kawanan harimau yang siap menerkam mangsa. Keheningan menegang seperti tali yang siap putus kapan saja.

Adrian melangkah maju. Sepatu botnya menciptakan suara tumpul saat menapak di genangan air kotor, yang memantulkan kilatan lampu merah dari kejauhan. Adrian melangkah maju, sepatu botnya menghantam genangan air kotor yang menggenang di antara retakan aspal. Cahaya merah dari lampu jalan yang berkedip memantul di permukaan air, menciptakan bayangan buram di wajahnya yang dingin. Bau besi berkarat dan sampah busuk menguar di udara, bercampur dengan samar-samar aroma darah yang masih basah di sudut gang sempit itu.

Di depan, sebuah pintu baja besar berdiri kokoh, suram dan tak bernama. Adrian mengangkat tangannya, bersiap mengetuk, tapi sebelum jarinya menyentuh logam dingin itu, sebuah suara kasar membelah keheningan.

"Cari siapa kalian? Ini bukan tempat umum!"

Adrian berhenti. Tak perlu menoleh, dia sudah bisa merasakan tujuh pasang mata mengawasi dari belakang. Ketika akhirnya dia menoleh, tatapannya bertemu dengan para penjaga bertubuh gempal yang berdiri dalam formasi mengintimidasi. Wajah-wajah mereka dipenuhi tatapan curiga, sebagian menggenggam pentungan baja, sebagian lagi menyelipkan tangan ke balik jaket—mencari pegangan senjata.

Seorang dari mereka, yang tampaknya pemimpin kelompok itu, melangkah maju dengan dada membusung. Rahangnya kasar, ada bekas luka panjang melintang di pelipis kirinya. Dia menatap Adrian dengan tatapan menilai.

"Kalian tidak diundang. Tempat ini khusus undangan," katanya dengan suara rendah, penuh ancaman.

Adrian menghela napas pelan. Tanpa peringatan, tubuhnya melesat seperti kilat. Tinju kanannya menghantam rahang pria itu dengan dentuman brutal—tulang berderak, darah bercipratan ke trotoar. Tubuh besar itu terlempar ke belakang, membentur dinding bata dengan suara berdebum keras.

Para penjaga lain membelalak, tapi keterkejutan mereka hanya bertahan sepersekian detik sebelum insting mereka mengambil alih. Mereka menyerbu bersamaan, berusaha menghabisi Adrian dengan serangan serampangan.

Terlambat.

Adrian sudah bergerak lebih dulu. Dia menghindari sabetan pisau dari kiri dengan miringkan tubuhnya ke belakang, lalu menendang lutut penyerangnya hingga terdengar suara patahan yang mengerikan. Jeritan melengking membelah malam.

Seorang lainnya mencoba menyerang dari belakang, tapi Adrian berputar cepat, menyikut lehernya dengan keras. Pria itu langsung tersungkur, terbatuk darah sebelum kehilangan kesadaran.

Yang lain mencoba menyerang serempak, tapi Adrian adalah badai yang tak terbendung. Tinju, siku, lutut, dan tendangannya menghantam tanpa ampun. Hidung remuk, tulang patah, darah menyembur di udara seperti seni brutal yang ditarikan dengan presisi mematikan.

Sementara itu, kelima anak buahnya hanya berdiri, menonton tanpa niat untuk turun tangan. Mereka tahu—ini bukan pertarungan yang membutuhkan bantuan mereka.

Tak butuh waktu lama. Dalam hitungan detik, semua penjaga sudah terkapar, tubuh mereka berserakan di trotoar dingin. Beberapa masih mengerang pelan, sisanya tak bergerak sama sekali.

Adrian mengibaskan tangannya, membuang percikan darah dari buku-buku jarinya. Tanpa mengubah ekspresi, dia kembali menghadap pintu baja itu. Tangannya terangkat, lalu mengetuk—dua kali keras, satu kali pelan.

Lalu, sunyi.

Hanya desir angin yang bergerak di antara gang-gang sempit itu, membawa serta aroma besi dan kehati-hatian. Di balik pintu, seseorang menunggu. Pertarungan belum dimulai, tetapi kematian sudah melayang di udara.

Pintu baja itu terbuka perlahan, berderit seperti jeritan logam yang tersayat. Cahaya dari dalam merembes ke gang yang gelap, menguak bayangan seorang pria bertubuh raksasa yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya kasar, penuh bekas luka, dengan mata kecil yang menatap Adrian dan kelompoknya dengan ejekan sinis.

"Apa maumu?" suaranya berat, serak seperti batu yang digerus di dalam tenggorokan.

Tapi Adrian tak menjawab. Dengan satu gerakan cepat dan brutal, dia mendorong pria itu ke samping. Tubuh besar itu menghantam dinding dengan keras, kepala terbentur pipa besi hingga terdengar bunyi gedebuk tumpul. Pria itu mengerang, tapi sebelum bisa bereaksi lebih jauh, Adrian sudah melangkah masuk, diikuti oleh anak buahnya.

Ruangan itu luas, penuh dengan meja judi yang dijejali kartu dan uang tunai yang berserakan. Lampu gantung berkedip-kedip, menciptakan suasana suram yang berdenyut dalam aroma alkohol dan keringat. Pria-pria berbadan besar memenuhi ruangan, gelas-gelas berisi minuman keras masih tergenggam di tangan mereka. Suasana awalnya penuh tawa kasar dan obrolan berat, tapi begitu Adrian masuk, semuanya berhenti.

Mata mereka beralih, satu per satu menatap Adrian dan anak buahnya dengan penuh kewaspadaan. Seolah ruangan itu baru saja disapu angin dingin yang membawa pertanda buruk. Tawa kasar yang tadi menggema kini mereda, gelas-gelas alkohol berhenti di udara, dan tangan-tangan yang semula menggenggam kartu judi perlahan merayap ke balik jaket, mencari senjata.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk mengenali sosok yang berdiri di ambang pintu.

Di tengah ruangan, seorang pria bertubuh besar bangkit dari kursinya. Rambut cepaknya dipotong rapi, tetapi wajahnya kasar, penuh bekas luka lama yang mengisyaratkan sejarah kekerasan. Lengan kekarnya dihiasi tato harimau menerkam, cakar-cakarnya mencengkeram kulit seperti siap merobek siapa saja yang menantangnya. Dia menyeringai, tawa rendahnya bergetar di udara seperti gemuruh badai yang mendekat.

"Apa ini?" katanya, suaranya dalam dan berat, memantul di antara dinding ruangan. "Tamu tak diundang? Atau mungkin kau datang untuk mengemis tempat di meja ini, Adrian?"

Dia melangkah maju, menatap Adrian dengan penuh minat, seolah menilai harga kepalanya. Lalu dia mendecakkan lidah.

"Naga Besi," gumamnya, seakan mencicipi nama itu di lidahnya. "Adrian... sang pemimpin. Si Algojo dari Utara. Kudengar kau brutal, kejam, tak kenal belas kasihan." Dia menyeringai lebih lebar. "Tapi ini pertama kalinya aku melihatmu langsung. Jujur saja, aku agak kecewa. Kupikir kau lebih... besar."

Beberapa anak buahnya terkekeh, tetapi suara mereka penuh kehati-hatian.

Adrian tak bergerak sedikit pun. Matanya tetap tajam, dingin seperti baja yang baru diasah. "Kalian melanggar wilayah kami," katanya, suaranya tenang, tetapi mengandung ancaman yang sulit diabaikan. "Aku tak peduli dengan bisnis kotormu ini. Kau mau berjudi, selingkuh, jual organ, atau apapun yang kau lakukan, itu urusanmu. Tapi bukan di wilayahku."

Pria bertato itu mendengus, matanya menyipit sedikit. "Wilayahmu?" Dia menepuk dadanya, lalu tertawa kecil. "Kelompok kami, Banteng Hitam, sedang memperluas wilayah. Kota ini besar, Adrian. Dan aku tidak melihat namamu terukir di jalan-jalan ini."

Adrian tak menjawab. Tatapannya tetap sama—dingin dan mematikan.

Pria bertato itu melangkah lebih dekat, suaranya merendah namun semakin menusuk. "Aku ingin tahu... apakah Naga Besi memang sekuat gosipnya? Karena terus terang, aku tidak terkesan." Dia menyeringai, lalu menambahkan, "Naga… hanya hewan dongeng. Bualan belaka. Tak nyata. Kau pikir aku takut pada legenda murahan?"

Salah satu anak buah Adrian, pria berambut gondrong dengan bekas luka panjang di pipinya, mencibir. "Kau bicara terlalu banyak, anjing. Kalau ingin coba, datanglah."

Pria bertato itu tertawa, lalu menoleh pada anak buahnya sendiri. "Kalian dengar itu? Mereka pikir mereka bisa menghentikan kita?" Dia kembali menatap Adrian. "Kau tahu apa bedanya Banteng dan Naga, Adrian? Banteng tidak hidup dalam dongeng. Kami ada di dunia nyata. Kami tidak takut darah. Jika kau ingin perang, aku pastikan darah anak buahmu akan mengalir sebelum malam ini berakhir."

Adrian tetap diam beberapa detik, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Kemudian dia tersenyum tipis—bukan senyum ramah, tapi senyum pemangsa yang baru saja melihat mangsanya berjalan ke dalam jebakan.

"Kalau begitu," katanya pelan, suaranya nyaris berbisik, "kau sudah memilih mati malam ini."

Suasana di ruangan itu berubah dalam sekejap. Otot-otot menegang, tangan-tangan merayap ke balik jaket dan sabuk, meraih senjata. Dalam satu tarikan napas, semuanya akan berubah menjadi neraka.

Dan Adrian—Adrian sudah siap membakar tempat ini sampai hanya tersisa abu.

Dari balik badannya, dia mengeluarkan pistol, menodongkannya langsung ke kepala Adrian. Udara di ruangan seketika berubah, membeku dalam ketegangan yang mengancam meledak kapan saja. Beberapa pria di sekitar meja mulai bergerak, bersiap untuk menumpahkan darah.

Tapi Adrian hanya tersenyum tipis, ekspresinya tetap dingin. "Kalau begitu," suaranya nyaris berbisik, "kau sudah menggali kuburmu sendiri."

Dalam sekejap, dia bergerak.

Sebelum pria bertato itu bisa menarik pelatuk, Adrian sudah meluncurkan tendangan memutar yang menghantam pergelangan tangannya. Bunyi retakan terdengar jelas ketika jari-jarinya terlepas dari pistol yang kini melayang di udara. Belum sempat pria itu mengerang kesakitan, tendangan kedua Adrian menghantam rahangnya, membuat tubuh besar itu terpental ke belakang, menabrak meja judi hingga kartu-kartu berhamburan ke lantai.

Dan saat itulah neraka pecah.

Pria-pria di ruangan itu bangkit serentak, menghunus pisau, pentungan, dan beberapa bahkan mengeluarkan pistol. Anak buah Adrian bergerak cepat, menerjang lawan dengan brutal.

Seorang pria besar menyerbu Adrian dengan pisau, mencoba menusuknya dari samping. Adrian menghindar dengan gerakan gesit, lalu menangkap pergelangan pria itu dan membantingnya ke lantai. Suara tulang yang patah bergema, disusul jeritan kesakitan. Tanpa ragu, Adrian menginjak leher pria itu hingga napasnya berhenti.

Di sebelahnya, seorang anak buahnya menghantam botol ke kepala lawan, membuat pecahan kaca bercampur darah berhamburan ke lantai. Suara tembakan menggema di ruangan, peluru menembus kayu dan beton. Adrian melompat ke atas meja, menghindari tembakan, lalu menyambar kursi dan melemparkannya ke wajah pria yang menodongkan pistol. Hantaman itu membuat hidungnya patah, darah menyembur liar ke bajunya.

Seorang pria mencoba melarikan diri ke pintu belakang, tapi Adrian menangkap sebuah botol kaca dan melemparkannya dengan akurat. Botol itu menghantam bagian belakang kepala pria itu, suara kaca pecah bercampur dengan suara tubuh yang terjerembab ke lantai.

Dalam waktu singkat, ruangan itu berubah menjadi medan pertempuran yang brutal. Darah merembes di lantai, tubuh-tubuh tergeletak dalam keadaan tak bergerak, beberapa masih mengerang dengan luka parah.

Adrian berdiri di tengah kekacauan, napasnya sedikit terengah. Jaket kulitnya kini berlumuran darah, beberapa bukan miliknya. Dia melangkah perlahan menuju pria bertato yang kini tersungkur di lantai, tubuhnya gemetar saat mencoba merangkak mundur.

Adrian berlutut, menarik kerah kemejanya hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa senti. Matanya dingin, penuh ancaman yang tak terselubung.

Lelaki itu terbatuk, darah merembes di sudut bibirnya saat sepatu menginjak dadanya dengan tekanan yang cukup membuatnya sulit bernapas. Nafasnya tersengal, ketakutan membayang di matanya yang nanar.

Sosok di atasnya menunduk perlahan, suaranya nyaris seperti desisan ular yang siap menyuntikkan bisa. Dingin. Terukur. Mematikan.

"Dengar baik-baik," katanya, nada suaranya tenang, namun mengandung ancaman yang tak terbantahkan. "Sampaikan ini kepada bosmu."

Jari-jarinya yang bersarung tangan menarik kerah lelaki itu, mendekatkannya hingga mereka hampir berbagi napas.

"Jakarta punya aturan." Ia menekankan setiap kata dengan nada yang seolah mengukir peringatan di tulang rusuk lawannya. "Dan aku yang membuatnya."

Lelaki itu berusaha bicara, mungkin untuk memohon, mungkin untuk membela diri—tapi tak ada kesempatan.

Tangan yang mencengkeramnya mengendur, lalu secepat kilat, satu pukulan telak menghantam rahangnya. Denting pisau jatuh ke lantai bergema di ruangan yang sunyi, bercampur dengan erangan tertahan.

Sosok itu berlutut, wajahnya hanya beberapa inci dari korbannya, lalu berbisik, "Jika kalian melanggar lagi..." Ia membiarkan ancaman itu menggantung, memberi waktu bagi lelaki itu untuk merasakan ketakutan yang menggigit tulangnya.

Dan kemudian—senyum tipis terbentuk di wajahnya, sebuah senyum yang lebih menyerupai hukuman yang sudah dijatuhkan sebelum eksekusi.

"...Aku akan datang tanpa peringatan."

Ia merapatkan bibirnya ke telinga lelaki itu dan menambahkan, nyaris seperti nada seorang kekasih yang membisikkan sumpah, "Dan lain kali, aku tidak akan meninggalkan siapa pun hidup."

Lalu ia berdiri, melangkah pergi begitu saja, meninggalkan lelaki itu dengan tubuh gemetar dan ketakutan yang akan menghantui tidurnya selama sisa hidupnya—jika ia masih beruntung memiliki hari esok.

Pria itu mengangguk panik, wajahnya pucat seperti mayat hidup.

Adrian melepaskan cengkeramannya, membiarkan tubuh pria itu terhempas kembali ke lantai dengan suara berdentum. Dengan satu isyarat, anak buahnya berbalik, melangkah keluar tanpa tergesa.

Di luar, udara malam terasa lebih dingin. Adrian menarik napas panjang, membiarkan aroma darah dan kematian tertinggal di belakangnya. Dia menatap langit gelap yang tak berbintang, matanya menyiratkan sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di cakrawala.

Dan malam itu, Jakarta kembali menjadi saksi. Bahwa di dunia yang dikuasai kegelapan, hanya mereka yang paling brutal yang bertahan hidup.