Di salah satu pelabuhan kecil di utara Jakarta, di antara deretan gudang kontainer yang berkarat dan penuh coretan vandal, berdiri sebuah bangunan besar yang tampak lusuh dan tak terawat. Dari luar, gedung itu terlihat seperti gudang tua yang nyaris ditinggalkan, pintunya berkarat, catnya mengelupas, dan jendela-jendela kacanya buram tertutup debu. Namun, bagi mereka yang tahu, gedung ini adalah pusat hiburan bawah tanah, tempat para pencari sensasi, petaruh, dan kriminal berkumpul dalam hiruk-pikuk pertarungan ilegal.
Mendekat ke bangunan itu, suara riuh terdengar jelas—sorakan, makian, dan dentuman musik elektronik yang menggema dari dalam. Saat memasuki gedung, atmosfer langsung berubah drastis. Lampu-lampu sorot menerangi sebuah arena besar di tengah ruangan, sebuah oktagon besi yang dikelilingi pagar kawat berduri, menyerupai ring UFC namun jauh lebih brutal. Kursi-kursi penonton disusun mengelilingi arena, sebagian besar dipenuhi oleh para petaruh yang berteriak liar, sementara di sisi lain terdapat meja VIP, tempat orang-orang berkuasa menikmati pertunjukan dengan segelas minuman mahal di tangan mereka.
Di dalam oktagon, dua petarung saling berhadapan dengan napas memburu. Satu pria bertelanjang dada dengan tubuh berotot dan kulit kecoklatan, berdiri dalam kuda-kuda khas Muay Thai. Kakinya yang penuh bekas luka dan memar mengisyaratkan pengalaman bertahun-tahun di arena jalanan. Lawannya adalah seorang pria lebih kecil, mengenakan celana karate putih yang sudah pudar warnanya. Tatapannya tajam, dan sikapnya tegap dalam posisi khas karate tradisional.
"FIGHT!"
Pria Muay Thai langsung menerjang, melepaskan teep keras ke arah perut lawannya, namun pria karate berkelit dengan cepat, melompat ke samping dan membalas dengan tendangan samping, yoko geri, yang hampir mengenai rahang lawannya. Namun petarung Muay Thai sigap, menangkis dengan lututnya lalu membalas dengan pukulan siku memutar, sok ti. Kepala pria karate terpental, darah segar menyembur dari pelipisnya. Sorakan semakin menggila.
Tapi pertarungan belum usai. Dengan refleks yang terlatih, pria karate berputar dan melepaskan tendangan tinggi, ushiro mawashi geri, yang menghantam bahu lawannya, membuatnya sedikit goyah. Namun, dalam hitungan detik, pria Muay Thai menyergap, menghujani lawannya dengan kombinasi siku dan lutut bertubi-tubi, sebelum mengakhirinya dengan jumping knee keras ke dagu. Terdengar bunyi retakan tulang. Petarung karate ambruk seketika.
Juara dielukan, sementara yang kalah ditandu keluar, wajahnya tak lagi bisa dikenali karena bengkak dan berlumuran darah.
Di barisan VIP yang sedikit lebih tinggi dari kursi penonton biasa, sepasang pria dan wanita duduk dengan santai, namun mata mereka tak lepas dari arena.
Pria itu, Rafael Durnovo, berusia akhir 30-an. Tubuhnya tegap, proporsional, tanpa otot yang berlebihan, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia bukan pria biasa. Dia mengenakan pakaian kasual—celana jeans gelap yang duduk sempurna di pinggangnya, kaos hitam yang membalut tubuhnya dengan pas, dan sepatu kets putih yang tetap bersih meskipun tempat ini jauh dari kata steril. Sekilas, dia tampak seperti pekerja di dunia kreatif, mungkin seorang fotografer atau pengusaha start-up yang suka mengamati dunia dengan santai. Namun, bagi yang jeli, ada sesuatu di caranya duduk—santai, tetapi tetap waspada. Sesuatu di sorot matanya yang tajam dan penuh perhitungan, menunjukkan bahwa pria ini bukan orang biasa.
Di sampingnya, seorang wanita bernama Selene Vasquez duduk dengan kaki bersilang, satu tangan bertumpu pada sandaran kursi, sementara jemarinya yang lentik memainkan ujung gelas anggur yang nyaris kosong. Wanita awal 30-an itu memiliki kecantikan yang memancarkan bahaya, sensualitas yang bukan sekadar daya tarik, tetapi senjata. Gaun terusan hitamnya terbuat dari satin tipis, jatuh mulus mengikuti lekuk tubuhnya, memperlihatkan bahu telanjangnya yang mulus, dan bagian dada yang rendah menampilkan belahan payudaranya yang kecil namun padat. Gaun itu hanya mencapai pertengahan pahanya, memberikan pemandangan kaki jenjangnya yang mulus dan otot betis yang tegas. Setiap gerakannya mengundang perhatian, meskipun dia sama sekali tidak mencoba menariknya.
Rambut hitamnya yang panjang dikuncir kuda tinggi, mempertegas garis rahangnya yang tajam dan leher jenjang yang menggoda. Saat dia memiringkan kepalanya sedikit, kilatan cahaya menari di anting kecil berbentuk lingkaran di telinganya.
Rafael menyeruput minumannya, gelas kristal itu berembun, kontras dengan kehangatan ruangan yang dipenuhi napas, keringat, dan aroma tembakau. "Sebentar lagi Adrian akan turun laga," katanya, nada suaranya santai, tetapi ada sesuatu di balik ucapannya—sesuatu yang membuat Selene meliriknya dengan lebih tajam.
"Jadi benar," gumam Selene, suaranya sedikit rendah, menggoda. "Adrian tidak hanya pemilik bisnis pertarungan ini, tetapi juga petarung di dalamnya?"
Rafael tertawa kecil, bibirnya melengkung tipis. "Oh, lebih dari itu." Dia menaruh gelasnya di meja kecil di samping kursinya, lalu menoleh ke arahnya. "Bagi Adrian, ini bukan sekadar bisnis. Ini… hiburan. Dia menikmati setiap pukulan yang dia berikan. Bisa dibilang, dia hobi menghajar orang."
Selene menyeringai kecil. "Dan dia tidak pernah kalah?"
"Sejak lima tahun lalu, sejak tempat ini didirikan," Rafael bersandar santai, kakinya disilangkan di pergelangan. "Tidak sekalipun. Bahkan, kalau kau perhatikan baik-baik, banyak dari lawannya yang tidak hanya kalah… tapi juga rusak. Adrian tidak bertarung untuk sekadar menang. Dia bertarung untuk menghancurkan."
Selene mengangkat alis, lalu kembali menyesap anggurnya dengan tenang, seolah mencerna kata-kata Rafael dengan lambat. Matanya yang gelap kembali tertuju ke arena, di mana para penonton mulai menggema, menyerukan nama yang sama berulang-ulang.
"Adrian! Adrian! Adrian!"
Senyum tipis terukir di bibirnya.
"Menarik."
Saat itu, terdengar sorakan menggema di seluruh arena. Nama "Adrian" dipanggil oleh penonton seperti mereka menyambut seorang dewa pertempuran. Dari salah satu pintu besi, muncul seorang pria muda berusia awal 30-an. Tubuhnya tegap, meski tidak terlalu tinggi atau besar. Dia hanya mengenakan celana jeans dan jaket jeans terbuka tanpa kaos, memperlihatkan otot dadanya yang terukir sempurna seperti pahatan marmer.
Di sisi lain, lawannya melangkah masuk. Pria bertubuh tinggi besar dengan codet di pipi kanan, bertelanjang dada dengan celana karate putih yang lusuh. Tubuhnya kekar dengan otot bergelombang seperti seorang petarung veteran.
Pembawa acara mengumumkan pertarungan, dan bel pun berbunyi.
Pria besar itu langsung maju, melepaskan pukulan keras yang mengarah ke wajah Adrian. Namun, Adrian hanya miring sedikit ke samping, menghindarinya dengan mudah. Sebelum lawannya bisa menarik kembali lengannya, Adrian menerjang maju—satu hantaman keras ke perut, straight punch yang membuat lawannya terhuyung. Tak memberi kesempatan, Adrian memutar tubuhnya dan menghantamkan spinning back fist ke rahang pria besar itu.
Darah muncrat.
Pria besar itu berusaha bertahan, mencoba menendang, tapi Adrian menangkap kakinya dan melepaskan pukulan hammer fist ke lututnya. Terdengar bunyi patah. Pria itu menjerit kesakitan, tapi Adrian belum selesai. Dia meraih kepala lawannya dan menghantamkannya ke pagar kawat. Wajah pria itu berlumuran darah. Matanya hampir tertutup oleh bengkak yang semakin membesar.
Namun Adrian masih belum puas. Dia melompat, menghantam lawannya dengan lutut ke wajah. Pria besar itu terjatuh, tubuhnya gemetar tak berdaya.
Adrian berdiri, napasnya sedikit memburu. Dengan ekspresi dingin, dia mengangkat kedua tangannya, menunjukkan dominasinya.
"Ayo! Siapa lagi yang ingin melawanku?! Turun atau bawa jagoan kalian! Arena ini adalah kesempatan bagi siapa pun yang ingin mengalahkanku!"
Sorakan menggema, sementara darah masih menggenang di lantai kanvas.
Wanita di bangku VIP menyunggingkan senyum tipis. Senyum yang lebih menyerupai kilatan pisau di kegelapan—tipis, tajam, berbahaya. Ia menyesap anggurnya perlahan, membiarkan cairan merah tua itu membasahi bibirnya sebelum lidahnya mengecap rasa pekat yang menggantung di langit-langit mulutnya. Matanya yang gelap tidak lepas dari sosok di arena, pria yang berdiri tegap dengan tangan berlumuran darah lawannya, dadanya naik turun dalam ritme napas yang teratur, seolah yang baru saja terjadi hanyalah pemanasan belaka.
"Luar biasa," gumamnya, suaranya rendah dan nyaris tak terdengar di tengah gemuruh penonton yang masih meneriakkan nama sang juara.
Pria di sebelahnya—Rafael—tertawa kecil. Bukan tawa yang ceria, melainkan lebih seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat kebrutalan dan menganggapnya sekadar tontonan. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi kulit mewah, jemarinya yang panjang dengan bekas luka samar menggenggam gelas kristal, menggoyangkannya pelan hingga cairan di dalamnya berputar perlahan.
"Itulah Adrian," katanya, suaranya berat, sedikit serak, dengan nada seorang pria yang telah melihat terlalu banyak kekerasan hingga tak lagi terkejut. "Tak terkalahkan. Pemimpin Naga Besi yang menguasai pelabuhan ini."
Selene, wanita itu, meliriknya sekilas. Kilatan cahaya dari lampu-lampu sorot di arena membuat kulitnya yang pucat berpendar samar, memberikan kontras yang menggoda dengan gaun hitam tipisnya yang membungkus tubuhnya seperti kabut malam.
Namun Rafael, yang biasanya selalu tenang dan percaya diri, mendadak bergumam pelan—hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. "Mungkin satu-satunya orang yang bisa melawannya adalah Sambara. Pemimpin Guntur Hitam."
Selene mengangkat satu alisnya. Ini menarik. Ia berbalik, menautkan kakinya dengan anggun, lalu memiringkan kepalanya sedikit, membiarkan rambut kuncir kudanya jatuh di bahu. "Kenapa mereka tidak dipertemukan di sini?"
Rafael terdiam sesaat. Matanya menatap lurus ke arena, tetapi pikirannya jelas berada di tempat lain. Dengan satu tarikan napas, ia menyesap minumannya lagi, lalu menggeleng pelan.
"Sambara tidak tertarik," katanya akhirnya. "Dia berbeda dari Adrian. Dia lebih low profile. Tenang. Tidak seperti Adrian yang menikmati sorotan, Sambara bergerak dalam bayangan. Dia bukan tipe yang butuh sorakan atau pujian. Dia membangun Guntur Hitam dengan cara yang berbeda."
Selene menatap Rafael, matanya menyipit sedikit. "Tapi pasti ada alasan lain," desaknya. "Dua pemimpin organisasi besar dengan kekuatan yang seimbang… Mengapa mereka tidak bertarung? Apakah mereka diam-diam saling menghindar?"
Rafael tertawa, tapi kali ini tawa itu terasa getir. Ia meletakkan gelasnya di meja kecil di sampingnya, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke arah Selene.
"Guntur Hitam dan Naga Besi punya wilayah masing-masing," bisiknya. "Dan sejauh ini, mereka tidak saling mengusik. Bukan karena takut, bukan karena hormat. Tapi karena keseimbangan."
Selene menahan napas sejenak.
Rafael menyandarkan tubuhnya kembali, lalu menatap lurus ke arahnya. "Tapi kalau mereka bentrok… Kalau Adrian dan Sambara bertemu dalam satu arena, dalam satu pertempuran yang nyata…"
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang hampir bisa dirasakan secara fisik.
Rafael tersenyum tipis, namun matanya tetap dingin. "Maka pelabuhan ini akan berubah jadi kuburan."
Selene menatapnya beberapa detik lebih lama, lalu kembali menyesap anggurnya. Kali ini, senyum yang menghiasi bibirnya lebih lebar.
"Menarik," katanya pelan. "Sangat menarik."
Adrian melangkah kembali menuju pintu tempat ia datang tadi, langkahnya mantap, penuh percaya diri. Napasnya masih sedikit memburu setelah pertarungan brutal barusan, tapi ekspresinya tetap tenang—seperti harimau yang baru saja merobek mangsanya tanpa sedikit pun beban. Sorot matanya dingin, tidak memedulikan riuhnya teriakan para penonton yang masih mendewakannya.
Sementara itu, di sisi lain arena, duduk seorang gadis muda di antara hiruk-pikuk penonton yang gaduh. Ia seperti anomaly di tempat ini—begitu kontras dengan atmosfer liar dan penuh testosteron yang memenuhi udara. Dalam sorot lampu temaram, kulitnya yang halus dan terawat tampak berkilau samar, nyaris seperti porselen yang terlalu rapuh untuk berada di tengah kekacauan ini.
Gadis itu mengenakan hotpants hitam yang melekat sempurna di pinggul kecilnya, menampilkan kaki jenjang yang tampak mulus bagai terbuat dari satin. Kaos putih ketatnya membungkus tubuh mungilnya, mencetak siluet ramping tanpa cela, cenderung kurus namun tetap menggoda. Bahan tipisnya menempel di kulit, mengikuti kontur halus perutnya yang rata, membiarkan garis samar tulang selangkanya terlihat di bawah sorotan lampu redup. Rambutnya yang pendek dan jatuh hingga seleher dibiarkan tergerai sedikit berantakan, seolah tidak peduli, tetapi justru semakin memperkuat pesonanya. Leher jenjangnya terbuka, memancarkan aura keanggunan yang tidak seharusnya ada di tempat seperti ini.
Tatapannya tajam, namun ada sedikit kesan lugu dalam sorot matanya—bukan kepolosan yang naif, melainkan keingintahuan yang berbahaya. Bibir mungilnya sedikit terbuka, seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun urung. Jari-jarinya yang ramping mengetuk ringan tepi kursi, sebuah gerakan kecil yang mengisyaratkan bahwa ia lebih dari sekadar penonton biasa. Ia tidak canggung, tidak tersesat. Gadis ini tahu persis di mana ia berada.
Namun, berbeda dengan kebanyakan wanita yang datang ke tempat ini dengan tatapan haus adrenalin atau sekadar mencari sensasi liar, gadis itu duduk diam, memperhatikan dengan tenang. Seolah dia bukan bagian dari hiruk-pikuk ini, melainkan seorang pengamat yang berdiri di luar lingkaran kekacauan.
Dari bangku VIP, Selene memperhatikannya dengan pandangan tajam, matanya yang penuh perhitungan mengikuti setiap gerakan gadis itu. Ada sesuatu yang janggal. Gadis itu bukan pekerja malam, bukan penghibur, dan jelas bukan petaruh yang datang untuk berjudi. Aura yang dipancarkannya berbeda. Terlalu bersih. Terlalu tenang.
"Siapa gadis itu?" Selene akhirnya bertanya, suaranya lembut tapi menyiratkan rasa ingin tahu yang tajam. "Sepertinya bukan bagian dari dunia ini."
Rafael, yang duduk di sampingnya, mengangkat gelasnya sebelum menyesap anggurnya perlahan. Ia tidak langsung menjawab, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka sesaat, sebelum akhirnya ia menoleh ke arah gadis itu.
"Hmm... ya." Rafael menghela napas. "Pertama kali melihatnya di arena ini, aku juga sempat bertanya-tanya. Seorang gadis seperti dia, di tempat seperti ini? Itu tidak masuk akal."
Selene menunggu, matanya tetap terpaku pada gadis itu.
"Ternyata dia seorang mahasiswa," lanjut Rafael, suaranya lebih pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Dia sedang melakukan penelitian tentang dunia pertarungan bawah tanah. Salah satu informannya adalah Adrian, dan karena itu, dia mendapatkan akses bebas ke tempat ini. Namanya Siska."
Selene mengangkat satu alisnya. "Penelitian?"
"Ya," Rafael mengangguk. "Entah apa yang dia cari di sini, tapi dia sering datang, mengamati, mencatat sesuatu di ponselnya. Tidak banyak bicara, tapi jelas dia bukan sekadar gadis naif yang tersesat. Dia tahu persis di mana dia berada."
Selene tersenyum tipis. "Menarik. Jadi dia menjadikan Adrian sebagai subjek penelitiannya?"
"Kurang lebih seperti itu."
Sorak-sorai penonton kembali menggema, menyambut pertarungan selanjutnya. Nama baru diumumkan, dua petarung mulai memasuki arena dengan langkah mantap. Namun, perhatian Selene masih tertuju pada Siska.
Dan gadis itu melakukan sesuatu yang semakin membuatnya penasaran.
Tanpa tergesa, Siska bangkit dari tempat duduknya. Tidak seperti kebanyakan wanita yang mungkin akan bergidik ngeri atau mundur ketika melihat begitu banyak darah berceceran di arena, dia justru bergerak dengan tenang, seolah tempat ini bukan lagi sesuatu yang mengejutkan baginya.
Ia berjalan sendirian menuju lorong sempit di sudut arena—arah menuju ruang ganti.
Selene memperhatikannya dengan intens, lalu tanpa sadar menggumam. "Seolah arena ini sudah sangat dikenalnya…"
Rafael yang ikut memperhatikan gadis itu, hanya tersenyum tipis. "Dan mungkin, dia lebih dari sekadar pengamat."
Di dalam arena, dua petarung sudah mulai bergerak, saling mengitari dengan tatapan tajam penuh ancaman. Namun di bangku VIP, Selene dan Rafael sudah kehilangan minat pada pertarungan kali ini.
Mereka sama-sama tahu.
Gadis itu, Siska, bukan sekadar seorang mahasiswa yang melakukan penelitian biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, yang tersembunyi di balik mata jernihnya.
Dan itu, membuatnya jauh lebih menarik.