Di salah satu sisi kota Singapura, kehidupan malam berdenyut dengan ritme yang khas. Jalanan bersih dan tertata rapi, dipenuhi kendaraan mewah yang meluncur nyaris tanpa suara. Lampu-lampu neon dari gedung pencakar langit memantul di permukaan Marina Bay, sementara kapal-kapal kecil berlayar perlahan di perairan tenang. Di kejauhan, patung Merlion berdiri tegak, menyaksikan lalu lintas pejalan kaki yang tak pernah surut di sepanjang Esplanade. Aroma khas dari kedai-kedai makanan jalanan bercampur dengan wangi laut yang terbawa angin, menciptakan perpaduan yang unik antara modernitas dan tradisi.
Namun, di balik megahnya kota yang dikenal dengan ketertiban ini, tersembunyi rahasia yang tak terlihat oleh mata publik.
Di puncak salah satu pencakar langit di kawasan Raffles Place, sebuah pertemuan rahasia berlangsung di balik jendela besar yang menampilkan panorama Singapura malam hari. Hujan gerimis membasahi kaca, menciptakan pola-pola acak yang memantulkan gemerlap cahaya kota. Gedung-gedung menjulang seperti raksasa bisu, kelap-kelip lampu mereka menyala dalam keheningan yang dingin—sebuah lanskap urban yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat.
Di dalam ruangan dengan desain modern beraksen Timur Tengah, nuansa gelap mendominasi. Dinding-dinding dihiasi ukiran kuno yang samar terlihat di bawah cahaya lampu redup, sementara aroma dupa khas Persia bercampur dengan wangi kulit dari sofa mahal yang berjajar di sudut ruangan.
Di tengah ruangan, beberapa layar monitor berkedip, menampilkan data dan rekaman dari berbagai sudut kota—peta, laporan keuangan, transaksi ilegal, serta wajah-wajah yang menjadi target organisasi. Di atas meja panjang dari kayu eboni, bertumpuk dokumen rahasia dengan segel lilin hitam, simbol bahwa isinya hanya boleh dibaca oleh mereka yang benar-benar dipercaya. Nama-nama yang tertulis di dalamnya adalah bayang-bayang di dunia kriminal, individu yang begitu berbahaya hingga hanya sedikit orang yang berani menyebut mereka dengan lantang.
Di ujung meja, seorang pria tua dengan janggut putih duduk dengan sikap penuh wibawa. Tatapannya tajam, sorot matanya seolah mampu menembus tabir kebohongan dan membaca niat seseorang hanya dengan sekali pandang. Dia bukan sekadar seorang pemimpin—dia adalah pewaris pengetahuan berusia ribuan tahun, pemegang kendali atas Dakhma, organisasi rahasia yang telah berakar sejak zaman kekaisaran Persia.
Dakhma bukan sekadar kelompok bayangan yang bergerak di balik dunia kriminal. Ini adalah sekte kuno, pewaris ajaran yang berasal dari masa Zoroaster, penjaga ilmu hitam dan strategi yang telah dijalankan oleh para penguasa, pembunuh, dan pedagang perang sejak peradaban pertama berkembang. Dari zaman raja-raja Persia hingga abad modern ini, Dakhma terus bertahan, menyusup ke dalam tatanan dunia, menarik tali kekuasaan dari balik layar tanpa pernah benar-benar terdeteksi. Mereka bukan sekadar pemain—mereka adalah arsitek yang membangun dan menghancurkan peradaban dengan satu perintah.
Tangan pria tua itu yang berurat mengetuk meja pelan, iramanya teratur, sejalan dengan pikirannya yang tengah merangkai strategi. Di sekelilingnya, beberapa pria berpakaian gelap duduk diam, para petinggi Dakhma yang hadir malam itu. Mereka adalah eksekutor organisasi, dalang yang menarik benang-benang pergerakan politik dan kriminal di berbagai belahan dunia.
Pria tua itu menghela napas pelan sebelum akhirnya berbicara. Suaranya dalam, berat, dan berwibawa—seperti suara gemuruh halus badai yang belum pecah.
"Namanya Adrian," katanya, matanya masih menatap layar monitor yang menampilkan wajah seseorang.
Gambar di layar memperlihatkan seorang pria berusia awal tiga puluhan, rahangnya tegas, sorot matanya dingin seperti baja. Wajahnya penuh luka bekas perkelahian, bukan sekadar goresan sepele, melainkan peta kekerasan yang telah ia lalui sepanjang hidupnya. Ada sesuatu dalam tatapannya—bukan sekadar kebrutalan tanpa arah, tetapi juga perhitungan. Seorang algojo yang tahu kapan harus mengayunkan kapaknya, dan kapan harus menunggu.
"Pimpinan Naga Besi," lanjut pria tua itu, suaranya tetap tenang namun sarat dengan makna. "Gangster yang menguasai beberapa wilayah di Jakarta Utara. Salah satu pemain paling brutal dalam dunia kriminal kota ini. Dia tidak hanya beroperasi di jalanan, tetapi juga mengendalikan bisnis penyelundupan yang berjalan di bawah hidung aparat. Salah satu pelabuhan kecil di utara adalah miliknya—pintu masuk bagi senjata ilegal, narkotika, dan barang-barang lain yang tidak seharusnya ada di pasar gelap."
Para petinggi Dakhma duduk dalam diam, membiarkan kata-kata pria tua itu menggantung di udara. Mereka bukan orang-orang yang mudah terkejut, tetapi mereka tahu bahwa nama yang baru saja disebut bukanlah nama sembarangan.
Pria tua itu melanjutkan, nadanya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang berat.
"Orang-orang menyebutnya Algojo dari Utara. Bukan sekadar julukan kosong." Dia berhenti sejenak, memperhatikan reaksi di sekelilingnya. "Adrian tidak sekadar memerintah. Dia mengeksekusi. Jika ada yang menentang Naga Besi, dia sendiri yang turun tangan. Dan tidak ada yang pernah selamat dari cengkeramannya."
Salah satu pria di meja panjang itu, seorang lelaki dengan kepala plontos dan mata setajam elang, menghela napas sambil menyilangkan tangan di depan dada. Namanya Bahram, seorang veteran dalam organisasi, seseorang yang sudah berkali-kali menyaksikan orang-orang sejenis Adrian muncul—dan kemudian lenyap.
"Seorang eksekutor dengan otak," gumam Bahram. "Jarang. Biasanya, orang-orang seperti dia hanya kuat dalam aksi, tapi lemah dalam strategi."
Pria tua itu mengangguk pelan. "Itu yang membuatnya berbeda."
Seseorang di sisi lain meja tertawa kecil—nada rendah, hampir menghina. Pria itu bertubuh kurus, bermata tajam seperti rubah, dan selalu memiliki senyum sinis di wajahnya. Namanya Rashid, spesialis informasi dan propaganda Dakhma.
"Dia hanya gangster jalanan," katanya dengan nada meremehkan. "Tidak peduli seberapa banyak pelabuhan yang dia kuasai, dia tetap bukan tandingan kita. Dakhma sudah ada sejak sebelum leluhurnya lahir. Kita telah menyusup ke pemerintahan, militer, dan ekonomi global. Naga Besi hanyalah sekumpulan preman yang masih bermain di lumpur."
Pria tua itu berbalik, menatap Rashid. "Kau meremehkannya?"
Rashid mengangkat bahu. "Aku mengatakan fakta."
Pria tua itu mengangkat tangannya, dan layar lain di ruangan itu menyala. Rekaman buram dari kamera pengintai mulai berjalan, menampilkan adegan yang berbicara lebih dari sekadar kata-kata. Seorang pria berlutut di lantai, tubuhnya penuh luka, darah menggenang di bawahnya. Sosok Adrian tampak berdiri di depan pria itu, wajahnya tanpa ekspresi. Tidak ada emosi, tidak ada kesenangan dalam perbuatannya—hanya sebuah tugas yang harus diselesaikan. Dalam satu gerakan cepat, pukulan keras menghantam rahang pria itu, diikuti oleh suara retakan tulang yang tajam.
Ruangan kembali sunyi. Rashid mengangkat alisnya, sementara Bahram menghela napas pelan.
Pria tua itu akhirnya bersandar di kursinya. "Dia tidak hanya sekadar preman jalanan. Dia seorang algojo dengan naluri predator. Dia tahu kapan harus bertarung, kapan harus bersembunyi, dan kapan harus menunggu."
Seorang pria lain di ujung meja, wajahnya tertutup bayangan, akhirnya berbicara. Suaranya berat dan dalam.
"Jadi, apa rencananya?"
Pria tua itu melirik ke sisi ruangan, ke arah sosok yang sejak tadi berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Di sisi ruangan, berdiri seorang wanita muda yang kehadirannya seakan mengisi setiap inci udara dengan aura misterius dan mematikan.
Yasmin.
Seorang infiltrator, pembunuh, dan manipulator yang menguasai seni tipu daya seperti seorang maestro memainkan instrumennya. Matanya tajam, ekspresinya datar, tetapi ada ketenangan yang berbahaya dalam dirinya—sebuah kesabaran seekor pemangsa yang menunggu saat yang tepat untuk menerkam.
Dia tidak sekadar cantik—dia memancarkan daya tarik yang berbahaya, sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tubuhnya tinggi dan ramping, dibalut pakaian hitam yang melekat sempurna pada lekuk tubuhnya. Otot perutnya terukir sempurna, membentuk garis-garis tajam yang mencerminkan disiplin dan kekuatan. Kakinya panjang dan jenjang, setiap langkahnya terukur, seperti seekor panther yang siap menerkam mangsanya. Tidak ada yang bisa meremehkannya—dan dia tahu itu.
Namun, daya tariknya bukan hanya fisik. Matanya, tajam dan penuh perhitungan, mampu membaca niat seseorang sebelum mereka menyadarinya sendiri.
Dia masih diam beberapa detik, matanya menatap layar, menganalisis setiap gerakan Adrian dalam rekaman.lalu bertanya dengan suara lembut, tetapi mengandung ketegasan seorang pembunuh terlatih.
"Apa perintah Anda?"
Pria tua itu menatapnya lama, lalu bersandar sedikit ke kursinya. Di layar, wajah Adrian terpampang dengan berbagai informasi di sekelilingnya—data keuangan, pergerakan bisnis, catatan kriminal yang bahkan pemerintah tidak punya aksesnya.
"Dekati dia," ucapnya pelan, tetapi penuh makna. "Gunakan dia untuk menghancurkan kelompok lainnya. Buat dia berpikir bahwa dia yang mengendalikan permainan, padahal kau yang menarik tali di baliknya."
Yasmin tidak bereaksi. Tidak ada keterkejutan, tidak ada ketakutan. Hanya kesunyian yang menjadi tanda penerimaan mutlak.
"Dan jangan sampai dia menyadarinya."
Wanita itu mengangguk, ekspresinya tetap tak terbaca.
Ini bukan pertama kalinya dia harus menyusup ke dalam dunia kriminal. Bukan pertama kalinya dia harus menggunakan otaknya, ototnya, atau bahkan tubuhnya untuk menyelesaikan misi.
Dia berbalik, melangkah keluar dari ruangan dengan langkah ringan, tetapi di balik ketenangan itu, dia tahu—ini akan menjadi salah satu permainan paling berbahaya yang pernah ia jalani.
Dan dalam permainan ini, hanya ada dua kemungkinan: mengendalikan atau dikendalikan.