Malam berikutnya, langit di atas pelabuhan utara Jakarta gelap pekat, hanya diterangi cahaya redup dari lampu-lampu dermaga dan bayangan bulan yang mengintip di sela-sela awan. Aroma garam bercampur dengan bau oli dan baja berkarat, menciptakan suasana yang kental dengan ketegangan. Di kejauhan, deburan ombak terdengar seperti detak jantung yang semakin cepat, seolah alam pun ikut merasakan gelora perang yang akan segera pecah.
Adrian berdiri di atas atap sebuah gudang besar, mengamati dari ketinggian. Angin malam berembus kencang, mengibarkan ujung jaketnya. Ia menggenggam radio kecil di jaketnya, matanya tajam menelusuri gerakan di bawah.
"Semua sudah di posisi?" suaranya tenang namun tegas.
"Siap, bos. Mereka mendekat dari arah barat," suara serak anak buahnya terdengar dari radio.
Adrian menyipitkan mata, melihat deretan truk yang bergerak perlahan memasuki wilayah pelabuhan. Lampu-lampu sorot dari kendaraan mereka menembus kabut malam, menyoroti puluhan pria bersenjata yang turun satu per satu. Senapan otomatis berkilat di tangan mereka, refleksi cahaya memperlihatkan kehadiran musuh yang lebih terlatih daripada sekadar preman jalanan.
"Kelabang Hitam," gumam Adrian, mengingat peringatan Yasmin.
Kelompok ini bukan ancaman biasa. Mereka memang geng kriminal yang biasa berkeliaran di bawah radar, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mereka lebih terorganisir, lebih siap, dan lebih berbahaya. Dan seperti yang dikatakan Yasmin, mereka tidak sendiri. Di antara pasukan Kelabang Hitam, terlihat pria-pria bertubuh tegap dengan gerakan disiplin—tentara bayaran.
"Mereka bukan hanya sekadar bajingan jalanan," desis Adrian. "Ada orang-orang yang paham strategi di balik ini."
Lalu, ledakan pertama mengguncang pelabuhan. Gudang di sisi timur meledak, serpihan baja dan kayu beterbangan ke udara, menciptakan gelombang kejut yang terasa hingga ke tempat Adrian berdiri. Api membumbung tinggi, menerangi gelapnya malam dengan cahaya oranye yang mengerikan. Asap hitam tebal membumbung ke langit, menyelimuti sebagian wilayah pertempuran.
"Mereka mulai menyerang!" teriak salah satu anak buahnya melalui radio.
"Jaga formasi! Kita buat mereka membayar mahal setiap langkah yang mereka ambil!" suara Adrian menggema di radio.
Dentuman senapan mesin dan letusan pistol memenuhi udara. Percikan api beterbangan saat peluru menghantam kontainer baja dan dinding beton. Suara logam beradu, teriakan perintah, dan jeritan kesakitan bercampur menjadi satu dalam kekacauan yang semakin meningkat.
Naga Besi merapatkan barisan. Mereka sudah menyiapkan posisi bertahan dengan memanfaatkan struktur pelabuhan—tumpukan kontainer, gudang, dan crane sebagai perlindungan alami. Adrian turun dari atap dengan gesit, berlari di antara lorong-lorong kontainer yang sempit. Ia mengeluarkan pistolnya dan menembakkan dua peluru ke arah musuh yang mencoba menerobos.
"Mereka menyebar! Jangan biarkan mereka mengepung kita!" serunya sambil mengisi ulang peluru dengan cepat.
Namun, musuh mereka bukan sekadar perampok jalanan. Taktik mereka terstruktur, pergerakan mereka rapi. Dari atas, drone kecil mulai berputar, mengamati setiap pergerakan Naga Besi dan mengirimkan data ke pasukan lawan.
"Ada pengintaian udara! Hancurkan drone itu sebelum mereka mendapat keunggulan taktis!" perintah Adrian.
Salah satu penembak jitu dari Naga Besi mengarahkan senapan serbu ke langit dan menarik pelatuknya. Satu drone meledak dalam percikan api kecil, jatuh menghantam kontainer di bawahnya. Namun, masih ada beberapa lagi yang terus melayang, memberikan musuh keunggulan taktis.
Di sisi lain, Kelabang Hitam terus menekan. Mereka menyebar, berusaha mengepung posisi Naga Besi. Beberapa anak buah Adrian terdesak ke belakang, terjebak di antara tumpukan peti dan kendaraan yang terbakar.
"Mundur ke jalur dua! Jangan biarkan mereka memisahkan kita!" perintah Adrian, sambil menembak ke arah seorang musuh yang mencoba menyelinap di antara bayangan.
Dari kejauhan, suara peluru berat menggelegar. Salah satu anak buah Adrian jatuh dengan darah mengucur dari bahunya.
"Mereka punya penembak jitu! Jangan keluar dari perlindungan!" teriak seseorang.
Adrian mencengkeram radio, napasnya berat. "Tahan posisi, kita belum kalah. Kita hanya butuh celah. Bertahan sampai mereka kehabisan peluru!"
Malam semakin memanas. Api yang membakar gudang di sisi timur kini mulai menjalar ke beberapa kontainer. Ledakan kecil terus terjadi, membuat suasana semakin kacau. Kelabang Hitam semakin gencar menekan, seolah ingin menyudahi pertarungan ini secepat mungkin.
Adrian menyeka darah dari pelipisnya—bukan lukanya sendiri, tapi milik seseorang yang tertembak di dekatnya. Ia menatap ke medan pertempuran yang semakin liar. Yasmin belum datang, dan dia tidak tahu apakah wanita itu akan datang.
"Kita harus bertahan," gumamnya, mempersiapkan diri untuk babak berikutnya dari perang yang belum selesai.
Malam semakin larut, tetapi pertempuran di pelabuhan masih berkecamuk dengan dahsyat. Bau mesiu bercampur dengan anyir darah menguasai udara, menyesakkan dada siapa pun yang berani menghirupnya. Di antara kobaran api yang menjilat langit dan desingan peluru yang bersahut-sahutan, jeritan kesakitan terdengar di berbagai sudut. Korban dari kedua belah pihak mulai berjatuhan, membasahi aspal dengan darah yang mengalir seperti sungai kecil.
Adrian berlindung di balik tumpukan kontainer baja, napasnya berat, dadanya naik turun. Tangannya masih menggenggam pistol yang pelurunya hampir habis. Sisa anak buahnya masih bertahan di berbagai posisi, tetapi semakin lama semakin terdesak. Beberapa dari mereka sudah roboh, tubuhnya diam tanpa nyawa di tengah genangan darah.
"Bos! Mereka makin mendekat! Kita nggak bisa bertahan lama lagi!" teriak salah satu anak buahnya, suara gemetar di antara dentuman tembakan dan ledakan.
Adrian mengintip dari celah kontainer, melihat musuh yang semakin agresif mendesak masuk. Tubuh mereka bergerak cepat dalam formasi yang rapi, memanfaatkan taktik tempur yang jelas bukan dari kelompok gangster biasa. Tentara bayaran itu bergerak seperti mesin pembunuh, menembak dengan akurasi mengerikan, tak memberi celah sedikit pun.
Sebuah ledakan lain menghantam sisi kanan, membuat Adrian dan anak buahnya terhuyung. Percikan api dan serpihan besi beterbangan, menancap di kulit dan membakar baju mereka. Seorang anak buahnya yang berdiri terlalu dekat dengan ledakan itu terlempar ke belakang, menghantam kontainer dengan suara berdebum keras. Tubuhnya langsung lemas, nyawanya melayang sebelum sempat mengerang.
"Sialan! Kita makin terkepung!" geram Adrian, matanya menyapu medan perang yang mulai penuh dengan mayat.
Di seberang sana, Kelabang Hitam dan tentara bayaran mereka terus bergerak maju, menguasai lebih banyak wilayah. Mayat-mayat dari kedua kubu berserakan di tanah yang kini berubah menjadi ladang kematian. Asap hitam membumbung tinggi, menciptakan bayangan-bayangan menyeramkan yang menari-nari di antara nyala api.
"Jangan biarkan mereka merangsek lebih jauh! Tahan posisi!" perintah Adrian lagi, suaranya serak namun tetap penuh otoritas.
Tembakan terus menghujani medan pertempuran, menciptakan simfoni kematian yang tak kunjung usai. Beberapa anak buah Adrian mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan, peluh bercampur darah mengalir di wajah mereka. Mereka masih berusaha bertahan, tetapi perlahan, semangat mereka mulai luntur.
"Bos... Kita nggak akan bisa bertahan lebih lama. Peluru kita hampir habis..." seorang anak buahnya berkata dengan suara putus asa, tangannya bergetar saat memasukkan peluru terakhir ke magazinnya.
Adrian menggertakkan giginya. Dia tahu betul situasi mereka semakin buruk. Satu per satu anak buahnya tumbang, sementara musuh masih berdatangan dengan jumlah yang tak kunjung berkurang.
Dari kejauhan, suara langkah kaki terdengar semakin mendekat, langkah-langkah mantap yang menandakan bahwa Kelabang Hitam dan tentara bayaran mereka mulai merasa kemenangan sudah di tangan. Siluet mereka terlihat semakin jelas di balik kepulan asap, bergerak dengan percaya diri seolah tinggal menunggu waktu sebelum mereka menghabisi sisa pasukan Naga Besi.
Adrian menarik napas dalam, merasakan panas darah yang mengalir dari luka di lengannya. Matanya tetap tajam, pikirannya bekerja cepat. Dia menolak mati di tempat ini, menolak menyerah tanpa memberikan perlawanan terakhir yang berarti.
Di antara nyala api yang memantulkan bayangan kejam di wajahnya, Adrian berbisik pelan, nyaris seperti sumpah kepada dirinya sendiri. "Kita belum kalah. Selama kita masih bernapas... Kita belum kalah."
Lalu, dengan gerakan cepat, dia meraih radio di jaketnya dan menekan tombol komunikasi, menghubungi seluruh anak buah yang masih bisa mendengar.
"Bersiap untuk serangan terakhir. Kita tidak akan lari. Kita akan membuat mereka menyesal datang ke sini."
Di ujung lain, suara-suara kelelahan menjawab, tetapi tak ada satu pun yang menolak. Mereka tahu, tak ada pilihan lain. Mereka hanya bisa bertarung... atau mati.