Mikhail duduk di sebuah kafe di tepi pantai, matanya menatap layar laptop dengan sorot tajam dan penuh perhitungan. Ombak menggulung tenang di kejauhan, langit malam di atasnya diterangi sinar bulan yang memantul di permukaan laut. Aroma garam bercampur dengan aroma kopi yang mengepul dari cangkir di mejanya, namun pikirannya tak berada di sini. Angin pantai menerpa wajahnya, tetapi yang memenuhi benaknya adalah gambaran perang yang tersaji di layar.
Dalam rekaman yang diputar di laptopnya, pertempuran sengit di pelabuhan terpapar jelas dari sudut pandang udara. Drone yang dikirimnya telah merekam segalanya—baku tembak brutal antara Kelabang Hitam dan Naga Besi. Kilatan tembakan menerangi kegelapan, tubuh-tubuh bersimbah darah, dan suara ledakan menggema meskipun hanya dalam imajinasinya. Mikhail memperhatikan bagaimana pasukan Kelabang Hitam akhirnya dipukul mundur, bahkan helikopter tempur yang dengan susah payah mereka selundupkan hancur sebelum sempat memberi dampak besar.
Tiba-tiba, rekaman terhenti dengan gambar yang bergetar. Drone itu jatuh. Mikhail mengernyit. Dia tahu apa yang terjadi. Senjata elektromagnetik anti-drone. Tim Pembersih. Mereka memang tak pernah membiarkan siapa pun mengawasi pekerjaan mereka. Rekaman berhenti beberapa menit sebelum rombongan tim misterius itu tiba.
Di sampingnya, Surya Adipradana duduk dengan wajah tegang. Beberapa anak buah Mikhail berdiri mengelilingi mereka, menunggu perintah. Surya meneguk ludah saat Mikhail menutup laptopnya dengan perlahan, lalu menoleh padanya dengan sorot dingin.
"Gagal," suara Mikhail terdengar datar, tapi mengandung bara api yang siap meledak kapan saja.
Surya menelan ludah. "Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuan Mikhail. Bahkan saya menyiapkan tentara bayaran untuk mendukung Kelabang Hitam. Kita punya helikopter tempur, kita punya—"
"Dan semua itu dihancurkan," potong Mikhail, suaranya tetap tenang, tapi setiap kata adalah belati yang menyayat kepercayaan diri Surya. "Kau tahu betapa berharganya helikopter itu? Betapa sulitnya memasukkannya ke Jakarta tanpa terendus? Lalu semuanya hilang begitu saja."
Surya semakin gelisah. "Saya... saya akan merekrut lebih banyak orang. Kita bisa menghubungi gangster lain. Tambahan tentara bayaran, lebih banyak senjata. Kita bisa merebut pelabuhan itu kembali!" katanya dengan nada putus asa.
Mikhail menatapnya lama. Matanya yang tajam menembus kebohongan kecil yang disembunyikan Surya—ketakutan. Dia tahu, Surya tidak hanya takut kehilangan pelabuhan. Dia takut kehilangan lebih dari itu—mungkin kepalanya.
Mikhail menghela napas pelan, lalu kembali menatap layar laptopnya. Dia menekan tombol replay, memutar ulang bagian akhir rekaman. Kali ini, matanya terpaku pada satu sosok.
Seseorang di kubu Naga Besi.
Bukan Adrian. Bukan anak buahnya.
Seorang wanita.
Tubuhnya bergerak seperti tarian kematian, lentur namun mematikan. Bahkan dalam rekaman yang bergetar, dia bisa melihat ketangkasan yang melampaui pejuang biasa.
"Siapa wanita itu?" tanya Mikhail perlahan, nada suaranya berubah lebih tajam.
Surya ikut menatap layar, mencoba mengenali sosok itu. "Kami belum tahu. Akan coba kami cari tahu."
Tapi Mikhail tidak menunggu. Dia menoleh pada salah satu anak buahnya yang berdiri di belakangnya. "Cari informasi siapa dia. Sampai dapat. Aku ingin tahu semua tentangnya."
Anak buahnya mengangguk cepat, lalu segera beranjak untuk menindaklanjuti perintah itu. Mikhail masih menatap layar yang kini membeku pada satu frame—wanita itu, berdiri di tengah kobaran api dan kepulan asap, dengan mata yang bersinar seperti predator dalam kegelapan.
Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa wanita ini adalah kunci. Mungkin dia yang berada di balik kebangkitan Naga Besi, dari sekadar gangster jalanan menjadi kekuatan yang bisa menghancurkan rencana besar Mikhail. Jika itu benar...
Mikhail tersenyum tipis.
"Kalau memang dia yang menyebabkan semua ini," gumamnya, "aku ingin bertemu dengannya. Tapi jika dia ancaman..." Matanya berkilat dingin. "Kita habisi dia sebelum dia menjadi lebih berbahaya."
Di kejauhan, deburan ombak terus berulang, seakan menegaskan bahwa badai yang lebih besar akan segera datang.
Di dalam kafe yang remang-remang, Mikhail mengetukkan jemarinya ke atas meja kayu dengan irama yang nyaris hipnotis. Matanya tetap terpaku pada layar laptop, tetapi pikirannya melayang jauh. Rekaman pertempuran di pelabuhan terus berputar di benaknya, membakar sumbu kemarahannya dengan tiap detik yang berlalu. Segala sesuatunya telah dirancang dengan presisi, setiap langkah telah diperhitungkan, namun tetap saja, mereka gagal merebut pelabuhan itu. Kegagalan ini adalah luka yang menganga dalam egonya—dan seseorang harus menanggung akibatnya.
Surya Adipradana duduk di seberangnya, gelisah. Ia tahu betul amarah Mikhail bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Napasnya terasa berat ketika ia mencuri pandang ke arah pria itu, melihat ekspresi yang semakin mengeras. Mata Mikhail kini bukan hanya sekadar dingin—ada badai yang siap meledak di dalamnya.
"Kita harus mengubah rencana," Mikhail akhirnya berkata, suaranya berat, penuh ketegasan yang tak dapat dibantah. Tak ada kebimbangan, hanya keputusan mutlak.
"Selene masih ditugaskan untuk memata-matai Adrian, bukan?"
Salah satu anak buah Mikhail yang berdiri di sampingnya menjawab cepat, suaranya mantap. "Ya, dia terus mengawasi Adrian seperti yang diperintahkan."
Mikhail menghela napas pelan, tetapi sarat dengan ketegangan yang menyesakkan ruangan. Dengan satu gerakan halus namun penuh tekanan, ia menutup laptopnya. Layar yang kini gelap hanya memantulkan bayangan samar wajahnya yang penuh perhitungan. Tatapannya menyipit, berpikir cepat, menyusun langkah berikutnya di dalam labirin pikirannya.
"Aku ingin tahu siapa wanita yang bertarung di pihak Adrian," katanya, suaranya lebih rendah, lebih dalam, mengandung ancaman terselubung. Jemarinya kembali mengetuk meja, pelan tapi sarat makna. Ada ritme dalam ketukannya, ritme yang hanya bisa diartikan sebagai hitungan mundur menuju kehancuran seseorang.
Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke salah satu anak buahnya yang berdiri di dekat mereka. "Adrian tidak bisa dibiarkan terus bernapas."
Tatapan Surya sedikit terkejut, meskipun ia segera menguasai dirinya. "Kau ingin dia mati malam ini juga?"
Mikhail tersenyum tipis, tetapi senyum itu dingin, tanpa belas kasihan. "Aku ingin memastikan bahwa mereka tidak punya waktu untuk menyusun strategi baru. Hubungi Selene—bunuh Adrian malam ini juga."
Seolah menerima titah dari dewa kegelapan, salah satu pria di sampingnya segera mengeluarkan ponselnya. Jemarinya lincah menekan nomor, dan dalam hitungan detik, panggilan tersambung.
"Selene," katanya dengan suara datar, penuh otoritas. "Ada tambahan perintah dari Mikhail. Selain tetap mengawasi, kau harus menghabisi Adrian malam ini."
Di seberang telepon, terdengar jeda sejenak. Sunyi yang mendebarkan sebelum suara perempuan itu akhirnya terdengar—rendah, nyaris seperti bisikan beracun yang mengalir di telinga.
"Malam ini, ya? Menarik." Ada nada hiburan dalam suaranya, seolah ia telah menunggu momen ini. Seolah menghabisi seseorang bukan sekadar tugas, tetapi seni yang ia nikmati.
Mikhail tersenyum puas. Malam ini, darah akan tertumpah, dan kekuasaan akan berpindah. Satu langkah lebih dekat menuju kehancuran Adrian.
Mikhail menyeringai tipis, mendengar respons Selene dari pengeras suara ponsel. "Jangan mengecewakanku, Selene."
"Aku tidak pernah mengecewakan klienku, Mikhail," jawabnya. "Adrian akan mati sebelum fajar menyingsing. Dan mengenai wanita itu... aku akan mencari tahu lebih lanjut."
Panggilan berakhir. Kafe itu kembali diliputi kesunyian yang dingin, hanya suara deburan ombak yang terdengar dari kejauhan. Mikhail mengambil cangkir kopinya, menyesapnya perlahan. Dalam kepalanya, permainan baru saja dimulai.