Chereads / Penguasa Pelabuhan Utara / Chapter 16 - Bidadari Kematian

Chapter 16 - Bidadari Kematian

Adrian memarkir motornya—Ducati Diavel hitam—di basement apartemennya. Mesin menderu rendah sebelum akhirnya dimatikan, menyisakan keheningan yang menggantung di udara. Ia melepas helmnya, mengusap tengkuknya yang tegang. Malam ini, ia memilih untuk pulang ke apartemennya di pinggir Jakarta Utara, tidak terlalu jauh dari pelabuhan. Kurang dari satu jam perjalanan dan ia sudah tiba di tempat yang paling aman baginya.

Pelabuhan malam ini pasti dipenuhi petugas kepolisian. Mereka akan sibuk menyelidiki "kebakaran akibat kebocoran gas" yang terjadi beberapa jam lalu. Tapi Adrian tahu, tak akan ada yang mencurigakan yang ditemukan. Tim Pembersih telah menyelesaikan tugas mereka dengan sempurna. Tidak akan ada satu selongsong peluru pun yang tersisa. Tidak akan ada jejak pertumpahan darah, tidak ada bukti yang bisa mengarah padanya atau pasukannya. Yang tersisa hanya puing-puing hangus dan laporan resmi tentang kecelakaan industri. Semua sudah diatur, semua sudah biasa.

Adrian menghela napas panjang, melangkah keluar dari area parkir, kepalanya dipenuhi pikiran tentang langkah selanjutnya. Namun, sebuah firasat aneh merayapi tulang punggungnya. Perasaan dingin yang menusuk, membuat nalurinya terpicu. Ia mendengar sesuatu—langkah kaki. Tidak berat, tapi cukup ringan dan teratur. Seseorang mengikutinya.

Tangannya secara refleks bergerak ke pinggangnya, meraih pistol yang terselip di balik jaket kulitnya. Napasnya ditahan, matanya dengan cepat menyapu sekitar. Tak ada siapa-siapa. Hanya deretan mobil mewah yang terparkir dalam keheningan. Ia menoleh ke belakang, hanya untuk disambut oleh kehampaan.

Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, sosok itu muncul. Bukan dari belakang, tetapi dari depan, menghalangi jalannya dengan anggun.

Wanita itu berdiri dengan kepercayaan diri yang tajam seperti bilah pisau. Wanita awal 30-an dengan wajah eksotis, perpaduan Asia dan Eropa Timur yang menghasilkan kecantikan yang tidak biasa. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan bahaya, sensualitas yang bukan sekadar daya tarik, tetapi senjata. Sorot matanya tajam, bibirnya melengkung tipis dalam senyum yang tidak bisa ditebak.

Ia mengenakan kemeja hitam satin tipis dengan potongan dada rendah yang membingkai kulitnya yang mulus, membuat lekuk tubuhnya semakin terlihat jelas. Belahan payudaranya kecil namun padat, menciptakan bayangan yang cukup untuk menggoda imajinasi siapa pun yang melihat. Rok putihnya hanya mencapai pertengahan pahanya, menampilkan paha jenjang yang mulus dengan otot betis yang tegas, bukti bahwa ia bukan hanya sekadar wanita cantik, tapi juga seseorang yang terbiasa bergerak dengan ketangkasan dan disiplin tinggi.

Setiap gerakannya mengundang perhatian, setiap langkahnya terasa seperti predator yang tahu kapan harus menerkam. Ia berjalan perlahan mendekati Adrian, membiarkan udara malam yang dingin menyelimuti mereka dalam ketegangan yang membakar.

"Adrian..." suaranya rendah, hampir seperti gumaman, tetapi ada nada tajam di dalamnya yang membuat bulu kuduk berdiri.

Adrian tetap waspada, matanya memperhatikan setiap detail, mencari tanda-tanda bahaya yang mungkin mengintai di balik kecantikan itu. Tangannya tetap siaga di pistolnya. "Siapa kau?" tanyanya, nadanya tajam dan penuh kewaspadaan.

Wanita itu tersenyum kecil, seolah menikmati ketegangan di antara mereka. Ia memiringkan kepala sedikit, membuat rambut panjangnya yang gelap jatuh di satu sisi bahunya. Mata tajamnya tidak berkedip, menatap Adrian seperti seorang penilai yang mengamati barang antik berharga.

"Namaku Selene Vasquez," katanya dengan nada dingin, "mereka menyebutku, Bidadari Kematian."

Malam semakin sunyi, tetapi ketegangan yang menggantung di udara semakin menebal. Pertemuan ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Bidadari Kematian tersenyum, tatapan matanya tajam seperti pisau yang baru diasah. "Kau cukup kuat untuk seorang pemain jalanan, Adrian," suaranya terdengar tenang, nyaris seperti bisikan yang mematikan.

Adrian menyipitkan mata, membaca setiap gerakan wanita di depannya. "Rupanya kau salah satu dari mereka," desisnya, rahangnya mengeras. "Seseorang membantu kalian. Siapa dia?" Namun, sebelum ia bisa menarik kesimpulan lebih jauh, Selene menyelipkan senyuman penuh arti.

"Sepertinya wanita itu cukup... mampu. Jadi aku harus mengubah rencana," ucapnya santai, jari-jarinya bermain di udara seakan sedang menimbang sesuatu. "Aku akan menghabisimu sendiri malam ini."

Adrian segera bersiap. Tangannya meraih pistol di pinggangnya, tapi sebelum ia sempat mengokang senjata, sebuah bayangan melesat dengan kecepatan luar biasa. Selene bergerak seperti kilatan petir—satu tendangan keras menghantam lengan Adrian, membuat pistolnya terlepas dan melayang di udara, sebelum tendangan kedua mendarat telak di dadanya. Tubuhnya terpelanting ke belakang, menghantam dinding beton di belakangnya.

Adrian tersentak, merasakan nyeri menjalar ke seluruh dadanya, tapi matanya tetap terpaku pada wanita di depannya. Selene masih berdiri anggun, kakinya terangkat tinggi dengan kesempurnaan postur seorang ahli bela diri. Rok putihnya yang hanya menutup setengah pahanya tersingkap lebar, memperlihatkan celana dalam putih yang kontras dengan kulitnya yang mulus.

Sekilas, pemandangan itu cukup mengguncang konsentrasinya. Seakan menyadari efeknya, Selene menyeringai kecil sebelum melesat lagi, kali ini menyerang dengan ayunan tumit yang mengincar kepala Adrian.

Adrian berkelit ke samping, nyaris saja terkena hantaman itu. Ia membalas dengan pukulan hook ke arah rahang Selene, tapi wanita itu bergerak seperti air—melengos dengan mudah, lalu menghantam lututnya ke perut Adrian dengan presisi yang sempurna.

Adrian mundur beberapa langkah, tangannya menggenggam perutnya yang kini terasa seakan dihantam besi. Napasnya berat. Tapi tidak ada waktu untuk pulih. Selene kembali menyerang tanpa memberi celah sedikit pun.

Dengan kecepatan yang mengerikan, wanita itu berputar, mengayunkan kakinya dengan akurasi mematikan. Adrian berusaha menangkis, tapi sebagian besar serangannya tetap mengenai sasaran. Pukulan ke rusuk, tendangan ke bahu, hantaman siku ke rahang—Adrian mulai kewalahan. Ia berhasil menyarangkan beberapa pukulan ke tubuh Selene, tapi seolah itu tak memberi dampak berarti. Wanita itu terlalu kuat, terlalu cepat.

Adrian tersentak kagum. Nafasnya memburu, keringat membasahi pelipisnya. Selene masih terlihat segar, seolah tak ada setetes pun tenaga yang terbuang percuma.

"Hanya segini?" Selene memiringkan kepalanya, matanya berbinar dengan ejekan halus. "Kupikir kau lebih jago setelah melihatmu di arena pertarungan di pelabuhan. Tapi ternyata kau hanya buang-buang waktuku."

Adrian menggeram. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, tapi ia menolak menyerah. Dengan sisa tenaga, ia menerjang ke depan, mengerahkan seluruh kekuatan yang ia punya untuk serangan terakhir. Namun, sebelum tinjunya mencapai target, sebuah tendangan lurus menghantam dadanya dengan brutal.

Dunia terasa berputar. Tubuhnya terhuyung ke belakang, lututnya hampir goyah. Darah hangat merembes dari sudut bibirnya.

Selene menatapnya dengan sorot mata puas. "Kau masih ingin lanjut?" tanyanya, suaranya terdengar hampir menggoda, tapi tetap membawa ancaman tersembunyi.

Adrian menggertakkan giginya, tapi tubuhnya mulai kehilangan kendali.

Malam ini, ia bertemu lawan yang benar-benar di luar perkiraannya.

Angin malam berhembus tajam, membawa aroma besi dari darah yang mengering di aspal. Di antara nyala api kecil yang tersisa, bayangan melesat tanpa suara, bagaikan petir hitam yang menyambar dalam gelap. Sebuah sosok melompati kap mobil yang terparkir dan menghantam dada Selene dengan tendangan penuh tenaga.

Tubuh Selene terhempas beberapa meter ke belakang, namun dengan kelincahan luar biasa, ia berputar di udara dan mendarat dengan mulus. Lututnya sedikit menekuk untuk menahan dampak, sementara napasnya terdengar berat, namun tatapan matanya tetap tajam.

Adrian tertegun sejenak, namun kemudian matanya melebar saat melihat siapa yang baru saja bergabung dalam pertarungan.

Yasmin berdiri di hadapannya, siluet tubuhnya diterangi cahaya yang berkedip dari nyala api yang belum padam. Jaket kulit hitamnya terbuka di bagian dada, memperlihatkan kilauan samar kulitnya yang berkeringat tipis, membuat cahaya lampu jalan memantul lembut di belahan dadanya. Bra hitam tipis yang membalut tubuhnya terlihat samar, menegaskan sensualitas yang liar namun tetap memancarkan aura berbahaya.

Celana ketatnya membalut paha panjangnya dengan sempurna, setiap otot yang terdefinisi tampak seiring dengan gerakannya yang lentur. Perutnya rata, dengan garis otot yang tersirat halus di bawah kulitnya yang kencang. Nafasnya sedikit memburu, membuat dadanya naik turun dengan ritme yang menggoda, sementara tatapannya tajam menembus gelap.

"Yasmin," suara Adrian serak, masih diliputi keterkejutan.

Yasmin menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis dalam senyum tajam. "Ayo kita libas wanita itu. Dia Bidadari Kematian, jangan beri kesempatan. Dia sangat berbahaya."

Selene menyeringai, menarik napas panjang. Bekas tendangan Yasmin masih membekas merah di dadanya yang mulus, namun bukannya kesakitan, ia justru terlihat semakin bersemangat. "Kau mengenalku? Siapa kau?"

Yasmin tak menjawab, hanya mengangkat dagunya sedikit. Dalam sekejap, pertarungan kembali pecah.

Adrian meluncur ke depan dengan pukulan cepat, Selene menghindar dengan gerakan licin, tetapi Yasmin sudah ada di sisi lain, menghantamnya dengan tendangan putar yang hampir mengenai pelipisnya. Selene menunduk dengan gerakan nyaris mustahil, rambut panjangnya berayun sebelum dia membalas dengan tendangan lurus yang harus ditepis Yasmin dengan lengannya.

Mereka bertarung seperti bayangan yang menari di tengah cahaya yang berkedip. Setiap serangan mematikan, setiap gerakan seperti koreografi yang disusun untuk saling membunuh. Selene melawan dua orang sekaligus, namun ia tidak tampak terdesak. Sebaliknya, dia semakin cepat, semakin ganas, dan semakin berbahaya.

Adrian mencoba menyarangkan pukulan ke rusuknya, tetapi Selene berputar, lututnya menghantam perut Adrian, membuatnya terhuyung mundur. Yasmin memanfaatkan celah itu, menerjang dengan serangkaian tendangan yang memaksa Selene untuk mundur beberapa langkah.

Namun, meski tampak lebih unggul, Selene tahu ini bukan pertarungan yang bisa dia menangkan dengan mudah. Ia menilai situasi, menyadari bahwa bertahan lebih lama hanya akan memperkecil peluangnya untuk lolos. Dengan satu gerakan cepat, ia menyapu kaki Yasmin, membuat wanita itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke tanah.

Dalam gerakan yang sama, Selene memutar tubuh dan menendang dada Adrian dengan keras, menghantamnya ke belakang hingga ia terjungkal di atas aspal.

Sebelum Yasmin atau Adrian bisa kembali berdiri, Selene sudah melompat ke atas kap mobil, kemudian melesat pergi, menghilang ke dalam gelap. Jejaknya lenyap seperti kabut yang tersapu angin.

Adrian bangkit dengan napas terengah-engah, tangannya menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya.

"Kita harus mengejarnya," katanya dengan suara serak.

Yasmin menyentuh lengannya, menghentikannya. "Jangan dikejar. Kita berdua belum tentu mampu mengalahkannya."

Adrian menatapnya, lalu mengangguk. Dia tahu Yasmin benar. Selene bukan musuh sembarangan.

Hening sejenak, hanya suara angin malam yang menggeliat di antara mereka. Adrian menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Aku berutang nyawa padamu lagi. Sepertinya aku harus membalas budi."

Yasmin menaikkan sebelah alisnya, matanya bersinar jahil. "Kalau begitu, bayarlah dengan tempat tidur yang nyaman. Aku butuh istirahat."

Adrian tertawa kecil. "Baiklah, kalau begitu, ikut aku. Aku punya tempat yang lebih baik dari bangku taman untukmu."

Mereka berjalan berdampingan menuju basement, menuju motornya. Ketegangan perlahan berganti dengan keheningan yang lebih intim. Tak ada lagi bayangan Bidadari Kematian malam ini—hanya ada mereka berdua, dan malam yang masih panjang.

Saat mereka memasuki lift menuju apartemen Adrian, Yasmin menatapnya dengan senyum samar. "Jangan berpikir macam-macam, Adrian. Aku hanya butuh tempat tidur."

Adrian terkekeh, menekan tombol ke lantai atas. "Tentu saja. Aku pria yang sangat menghormati keinginan seorang wanita."

Yasmin hanya mendecak pelan, tetapi senyum itu tetap ada di wajahnya saat pintu lift tertutup, membawa mereka ke dunia yang lebih pribadi di atas sana.