Pagi itu, langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis, sementara matahari perlahan memanjat cakrawala, memantulkan cahaya ke jendela-jendela pencakar langit. Jalanan mulai dipadati kendaraan, menciptakan simfoni klakson dan deru mesin yang khas. Namun, di dalam salah satu hotel bintang lima yang menjulang megah di pusat kota, suasana terasa lebih tenang, mewah, dan berkelas.
Restoran hotel itu dihiasi lampu gantung kristal yang memantulkan kilauan ke seluruh ruangan, sementara alunan musik jazz mengisi udara dengan irama lembut. Para tamu duduk rapi di meja-meja berlapis linen putih, menikmati sarapan mereka dengan piring-piring porselen yang diisi hidangan mewah—croissant yang renyah, omelet lembut, dan kopi dengan aroma yang menggoda.
Di antara para tamu, seorang pria bertubuh tegap melangkah masuk dengan penuh wibawa. Setelan jas hitam yang dikenakannya terjahit sempurna di tubuhnya, memberi kesan elegan sekaligus berbahaya. Mikhail. Sosok yang namanya hanya berbisik di lingkaran elite, namun kehadirannya dapat mengguncang dunia bawah tanah Jakarta. Di belakangnya, seorang pria lebih muda dengan ekspresi serius mengikuti, asistennya yang setia.
Mikhail melangkah menuju salah satu meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian namun dengan sudut pandang luas ke seluruh restoran. Dengan tenang, ia duduk. Asistennya, tanpa perlu diperintah, segera mengambilkan piring dan mulai mengisi dengan makanan. Gerakannya efisien, hampir tanpa suara, seperti sudah terbiasa melayani tuannya tanpa perlu bertanya.
Tak lama kemudian, beberapa pria berpakaian rapi memasuki restoran. Mereka berjalan dengan langkah terukur, mata mereka menyapu ruangan sebelum akhirnya mendekati meja Mikhail. Salah satu dari mereka, pria dengan jas abu-abu dan raut wajah tegang, menarik kursi dan duduk di hadapan Mikhail.
Mikhail, yang tengah mengaduk kopi dengan tenang, mengangkat pandangannya. "Ada laporan apa pagi ini?" tanyanya, suaranya rendah namun sarat otoritas.
Pria itu menelan ludah sebelum menjawab. "Selene gagal, Pak Mikhail. Adrian diselamatkan oleh… wanita itu lagi. Yang ikut bertempur di pelabuhan."
Mikhail tidak menunjukkan keterkejutan. Ia hanya mengangguk kecil, seolah sudah menduga hasilnya. Dengan gerakan perlahan, ia mengangkat cangkir kopinya dan menyesapnya. "Dan… siapa wanita itu?" tanyanya, nada suaranya mengandung ketertarikan samar.
Pria itu terdiam sejenak, jelas ada sesuatu yang mengganggunya. "Kami tidak berhasil menemukannya," akhirnya ia berkata. "Dia seperti muncul dari udara. Kami sudah menggunakan jaringan kami di kepolisian, kantor imigrasi, kantor kependudukan, bahkan jaringan kami di interpol. Namun, wanita itu seolah tidak pernah ada. Dia seperti hantu."
Mikhail menurunkan cangkirnya perlahan, keningnya sedikit berkerut. "Sepertinya kita menghadapi kekuatan besar di balik ini semua," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Ada kelompok lain yang mencoba menunggangi Naga Besi… entah siapa mereka, dan entah apa motivasi mereka. Yang jelas, mereka memiliki sumber daya yang kuat."
Pria di depannya mengangguk setuju, lalu melanjutkan laporannya. "Selene punya rencana lain," katanya dengan nada lebih hati-hati. "Dia menemukan identitas seorang mahasiswa yang dekat dengan Adrian. Dia bermaksud menculiknya untuk dijadikan sandera… guna menjebak Adrian."
Mikhail terdiam sejenak, jemarinya mengetuk ringan permukaan meja. Matanya menyipit sedikit, menimbang informasi itu. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Lakukan apa yang dirasa perlu untuk dilakukan," ucapnya dengan nada datar.
Sebuah keputusan telah dibuat. Namun, di balik ketenangan restoran mewah ini, badai baru tengah bersiap untuk menghantam Jakarta.