Chereads / Penguasa Pelabuhan Utara / Chapter 17 - Tantangan Malam

Chapter 17 - Tantangan Malam

Pintu apartemen tertutup dengan suara klik halus di belakang Yasmin. Cahaya dari lampu gantung menyorot tubuh mereka dalam temaram keemasan, menciptakan siluet samar di dinding. Adrian bersandar di sofa, menyalakan televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Matanya lebih tertarik mengamati wanita yang kini berdiri di tengah ruangannya, tangannya melipat jaket kulit hitam sebelum melemparkannya ke sandaran kursi.

"Ingat, jangan berpikir macam-macam, Adrian. Aku hanya butuh tempat tidur. Mana ranjangmu?" Yasmin menoleh dengan tatapan setengah menggoda, setengah peringatan.

Adrian terkekeh pelan. "Kamarku cuma satu. Aku bisa tidur di sofa di depan TV. Kamar yang satu lagi penuh barang-barang, nggak bisa dipakai."

Yasmin mengangkat bahu ringan, lalu berjalan ke kamar yang ditunjukkan Adrian. Saat langkahnya melintas, aroma samar parfum dan keringat tempur yang tersisa bercampur dalam udara. Adrian menghela napas, berusaha tetap fokus pada layar televisi, tapi matanya tak bisa tidak mencuri pandang ke dalam kamar yang terbuka separuh. Dan di sanalah dia melihatnya.

Yasmin berdiri di depan cermin, melepas kaos ketat yang menempel di tubuhnya. Bra hitamnya yang sederhana namun menggoda hanya menutupi sebagian dari keindahan yang ia miliki. Payudaranya kecil tapi padat, seolah diciptakan untuk ditelusuri dengan jemari. Perutnya ramping, ototnya tersirat lembut di bawah kulit kecokelatan yang berkeringat tipis. Pusar kecil yang dalam menambah daya tarik liar yang tak terbantahkan.

Adrian menelan ludah. Napasnya mendadak lebih berat.

Yasmin yang menyadari tatapan itu, hanya terkekeh tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. "Kenapa? Menikmati pemandangan?" suaranya ringan, menggoda.

Adrian mengangkat satu alis, menyandarkan kepalanya di sofa dengan senyum miring. "Aku hanya kagum dengan betapa percaya dirinya seorang Yasmin."

"Lebih baik percaya diri daripada munafik, kan?" Yasmin menjawab sambil menurunkan celana hitam ketatnya, memperlihatkan kaki jenjangnya yang berotot namun tetap anggun. Dia berbalik menghadap Adrian, hanya menyisakan bra dan celana dalam renda hitam di tubuhnya.

"Kau pikir aku akan tidur dengan celana ketat seperti ini?" katanya tanpa beban, seolah tak peduli dengan bagaimana Adrian memperhatikannya. Matanya menangkap ekspresi pria itu—campuran kagum, godaan, dan sesuatu yang lebih dalam.

Adrian tersenyum tipis. "Silakan. Aku tidak keberatan sama sekali. Malah, sering-seringlah menginap di sini kalau begitu."

Yasmin terkekeh, lalu dengan gerakan tanpa ragu, tangannya meluncur ke belakang, melepas kait bra dan membiarkannya jatuh ke lantai. Payudaranya terbebas, kecil tapi indah dalam keunikan proporsinya. Putingnya yang semula lembut kini menegang perlahan saat udara malam menyentuh kulitnya.

Adrian menghela napas perlahan, seolah menyimpan setiap detik ini dalam ingatannya.

"Jangan heran, aku biasa tidur begini. Memberiku kebebasan," ucap Yasmin sambil meraih ikat rambutnya, melepaskan ikatan dan membiarkan helai-helai panjangnya jatuh membingkai wajahnya yang liar dan memikat.

Adrian bangkit dari sofa, berjalan mendekat dengan langkah pelan dan mantap. "Sepertinya lebih bebas kalau tanpa itu," ujarnya, dagunya sedikit terangkat ke arah celana dalam yang masih tersisa.

Yasmin tertawa kecil. "Bisa jadi." Lalu, tanpa perlu dorongan lebih, jemarinya mengait pinggiran celana dalamnya dan menariknya ke bawah dalam satu gerakan halus. Kini, dia berdiri di sana, telanjang sepenuhnya, tanpa sedikit pun rasa canggung.

Mata mereka bertemu. Ada tantangan dalam tatapan Yasmin, ada hasrat dalam mata Adrian. Seperti dua api yang siap menyatu dalam kobaran yang lebih besar.

Adrian mengulurkan tangan, jemarinya menyapu lembut di sepanjang garis rahang Yasmin sebelum turun ke lehernya. Yasmin menutup mata sejenak, menikmati sentuhan itu, sebelum menarik Adrian lebih dekat dengan tarikan ringan di kerah bajunya.

"Kalau begini, kita harus berbagi tempat tidur, kan?" gumamnya tepat di bibir Adrian sebelum menutup jarak di antara mereka.

Ciuman pertama mereka bukan sekadar pertemuan bibir—itu adalah peperangan kecil, eksplorasi penuh gairah, dan pengakuan tak terucap akan tarikan yang selama ini mereka abaikan. Tangan Adrian meluncur turun, merasakan lekuk punggung Yasmin, menghafal setiap inci kulitnya yang panas di bawah sentuhannya.

Yasmin mendesah pelan, tubuhnya merapat, panas mereka berpadu. Malam itu, di apartemen kecil Adrian, bukan hanya strategi dan pertempuran yang mereka bagi, tapi juga keinginan yang selama ini mereka pendam, meledak dalam gelombang keintiman yang liar namun tetap elegan.

Adrian menarik Yasmin ke dalam dekapan yang lebih erat, bibirnya meluncur turun dari leher ke bahu, menelusuri tiap lekuk tubuhnya dengan lembut namun mendalam. Sentuhannya membuat Yasmin menggeliat kecil, merasakan gelombang panas yang menjalari setiap sarafnya. Putingnya yang sudah menegang kini semakin mengeras saat bibir Adrian mencuri kecupan ringan di sepanjang tulang selangkanya.

Jemari Adrian menyusuri punggung Yasmin, turun ke pinggulnya, menariknya lebih dekat. Kulit mereka bersentuhan tanpa penghalang, menciptakan keintiman yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Yasmin menghembuskan napas di telinga Adrian, sebuah godaan halus yang membuat pria itu semakin tak tertahankan.

Mereka tenggelam dalam ritme yang semakin intens, setiap sentuhan adalah eksplorasi baru, setiap desahan adalah pengakuan yang tak lagi bisa mereka sembunyikan. Malam itu, di ruang yang hanya diterangi temaram lampu, Adrian dan Yasmin menyerahkan diri pada hasrat yang tak bisa mereka hindari, membiarkan tubuh mereka berbicara dalam bahasa yang lebih jujur dari ucapan apa pun.