Yasmin melangkah pergi, tubuhnya perlahan menghilang dalam kegelapan malam. Bayangan tubuhnya yang ramping dan berlekuk samar terlihat sebelum akhirnya lenyap sepenuhnya di balik reruntuhan kontainer. Langkahnya senyap, seolah menyatu dengan kegelapan yang membungkus pelabuhan yang kini porak-poranda.
Adrian tetap terpaku, matanya masih menatap ke arah Yasmin menghilang. Ada sesuatu tentang wanita itu yang selalu membuatnya terhenti sejenak, bukan hanya karena keahliannya dalam bertarung, tetapi juga karena auranya yang penuh misteri. Butuh beberapa detik baginya untuk mengalihkan pandangannya. Ia menarik napas panjang, lalu menoleh ke anak buahnya yang masih berdiri, menunggu perintah lebih lanjut.
"Hubungi Tim Pembersih," kata Adrian dengan suara berat, nada suaranya masih sarat dengan sisa ketegangan pertempuran.
Seorang anak buahnya segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Tak butuh waktu lama, suara gemuruh mesin terdengar dari kejauhan. Beberapa pasang lampu mobil mulai menerobos gelap, mendekat dengan kecepatan terukur. Sebuah sedan tua berwarna hitam dengan bodi yang masih terawat dengan baik memimpin iring-iringan itu, diikuti oleh beberapa mobil boks berwarna gelap.
Sedan hitam itu melambat, berhenti dengan mulus beberapa meter dari Adrian. Dari dalamnya, seorang wanita melangkah turun dengan anggun, setiap gerakannya mengalir seperti tarian yang telah lama dilatih. Tumit tinggi berwarna perak beradu lembut dengan aspal yang basah oleh darah dan sisa pertempuran, menciptakan irama halus yang kontras dengan kekacauan di sekelilingnya.
Gaun putih ketat yang membalut tubuhnya adalah definisi kesempurnaan. Kainnya yang jatuh dengan lembut mengikuti setiap lekuk tubuhnya, menonjolkan pinggang ramping bak gitar Spanyol dan pinggulnya yang penuh, menggoda setiap mata yang tak bisa berpaling. Payudara besarnya terlihat jelas menyembul dari belahan dada yang terbuka sebagian, kancing-kancing gaun yang sengaja dibiarkan tak terkancing hingga batas yang berbahaya membuat setiap pria di sekitar mereka menelan ludah tanpa sadar. Tekstur halus kainnya berkilauan samar di bawah pantulan api yang masih berkobar di beberapa sudut, menciptakan ilusi cahaya yang menari di permukaan kulitnya yang sempurna.
Rambut hitam panjangnya tertata rapi, mengalir seperti sutra yang baru disisir, dengan beberapa helai jatuh liar di pelipisnya, memberinya pesona liar namun tetap terkontrol. Sebuah kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya, memberikan kontras sempurna antara intelektualitas dan sensualitas. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang tajam—sebuah misteri yang membius, seolah-olah ia bisa membaca pikiran pria mana pun yang menatapnya terlalu lama.
Meski usianya sudah menginjak awal 40-an, wanita itu seperti menolak tunduk pada waktu. Kulitnya tetap mulus, tanpa cela, sehalus porselen mahal yang hanya bisa disentuh oleh tangan terpilih. Bibirnya penuh, dihiasi lipstik merah muda lembut yang menambah daya tariknya. Senyum tipis yang terlukis di wajahnya bukanlah sekadar ekspresi, melainkan sebuah janji terselubung—sebuah permainan yang hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang cukup berani untuk memainkannya. Jika ada ratu kecantikan yang lahir dari dunia bayangan, dialah wujudnya.
Wanita itu berdiri sejenak, menikmati perhatian yang tak terhindarkan tertuju padanya. Dengan satu langkah santai, ia melangkah lebih dekat ke Adrian, membiarkan aroma parfumnya yang halus namun menggoda menyusup ke udara di antara mereka. "Hmm, Adrian... Apa yang baru saja kau lakukan? Kau meledakkan hampir separuh pelabuhan ini?" katanya dengan nada ringan, namun penuh sindiran manis, sebelum akhirnya mengeluarkan tawa kecil yang lembut namun tajam, seperti belati yang diselipkan di antara kata-kata.
Adrian hanya terkekeh kecil. "Sepertinya malam ini sedikit lebih panas dari biasanya."
Wanita itu menghela napas kecil, lalu memberi isyarat dengan tangan kepada orang-orang yang baru keluar dari mobil-mobil boks di belakangnya. Begitu menerima perintah, mereka langsung bergerak cepat, bekerja dengan tangkas seperti sebuah orkestra yang sudah sangat terbiasa dengan ritme mereka.
Malam semakin larut, namun aktivitas di pelabuhan yang porak-poranda belum juga mereda. Asap masih mengepul dari beberapa titik, bercampur dengan bau mesiu dan besi terbakar. Genangan darah yang membasahi aspal mulai mengering, meninggalkan jejak kepergian jiwa-jiwa yang terenggut di tengah pertempuran brutal. Lalu, dalam kesunyian yang mencekam itu, terdengar deru mesin mendekat.
Beberapa mobil pemadam kebakaran muncul dari balik kegelapan, lampu-lampunya berkedip tanpa suara. Tapi ini bukan kendaraan milik pemerintah. Tak ada sirene meraung, tak ada kepanikan dari para petugas penyelamat. Mereka datang dengan ketenangan yang tak wajar, seolah-olah ini bukan pertama kalinya mereka menghadapi kekacauan seperti ini.
Dari dalam mobil-mobil itu, orang-orang berseragam gelap turun dengan cekatan. Mereka tidak mengenakan emblem resmi, tidak ada tanda identitas yang bisa dikenali. Gerakan mereka cepat, terlatih, dan tanpa suara. Selang air digulung, lalu disambungkan ke titik-titik api yang masih menyala. Busa kimia disemprotkan, menghilangkan jejak bahan peledak dan mesiu dalam sekejap. Darah di jalanan diguyur cairan khusus, menghapus noda dan bau kematian. Mayat-mayat yang berserakan mulai dikumpulkan, dimasukkan ke dalam kantong hitam tanpa ada raut emosional di wajah mereka.
Di antara mereka, seorang wanita melangkah dengan anggun. Gaun putih ketatnya kontras dengan suasana penuh kehancuran di sekelilingnya. Setiap langkahnya mantap, tanpa ragu sedikit pun. Mata tajamnya mengamati keadaan, memastikan bahwa setiap jejak pertempuran segera hilang tanpa sisa. Dia bukan sekadar pemimpin dari kelompok ini, dia adalah perwujudan dari hukum yang tak tertulis dalam dunia bawah tanah.
Adrian berdiri di sisi pelabuhan, mengamati bagaimana Tim Pembersih bekerja seperti ilusi dalam gelap. Dia sudah terbiasa dengan kehadiran mereka, tapi tetap saja ada rasa takjub setiap kali melihat bagaimana mereka mampu menghapus kekacauan seolah-olah tak pernah terjadi apa pun di sini.
Seorang anak buahnya mendekat. "Mereka bergerak cepat. Kita tak akan meninggalkan jejak sedikit pun," katanya lirih.
Adrian mengangguk pelan. "Seperti biasa."
Dalam dunia hitam, Tim Pembersih adalah entitas yang tak bisa disentuh, mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia hitam. Mereka tidak berpihak, tidak peduli siapa yang menang atau kalah. Mereka hanya memiliki satu tugas: menghapus jejak.
Entah itu perang antar geng, perseteruan mafia, operasi sindikat, atau bahkan genosida yang terjadi dalam praktik intelijen hitam—mereka adalah tangan tak terlihat yang menghapus semuanya dari catatan dunia. Mereka seperti ilusi dalam kegelapan, membuat tempat yang hancur lebur akibat pertempuran tampak seolah-olah hanya mengalami kebakaran biasa, ledakan gas akibat kebocoran, atau kecelakaan industri yang biasa terjadi.
Tak ada yang tahu pasti siapa yang membiayai mereka, dari mana mereka berasal, atau bagaimana mereka bisa bekerja dengan begitu sempurna. Tapi satu hal yang pasti, siapapun yang berani mengganggu mereka akan menghadapi konsekuensi yang tak terbayangkan.m Dalam dunia bawah tanah, ada aturan yang tak tertulis, dan Tim Pembersih adalah salah satu hukum absolutnya.
Api perlahan padam, tubuh-tubuh yang tak bernyawa telah disingkirkan, dan ketika matahari terbit esok, pelabuhan ini akan tampak seperti tempat yang tak pernah menyaksikan pembantaian. Seperti mimpi buruk yang lenyap begitu saja dalam kegelapan malam.
Wanita itu menatap Adrian sebentar, lalu menggeser kacamatanya dengan satu jari. "Kau tahu, ini pekerjaan yang sulit. Dan mahal," katanya, suaranya masih terdengar ringan, tetapi ada nada peringatan tersirat di dalamnya.
Adrian mengangkat bahu. "Kau tahu aku selalu membayar tepat waktu."
Wanita itu tersenyum lagi, lalu menoleh ke arah timnya yang kini mulai mengatur ulang puing-puing, memasang tanda larangan masuk, dan mulai mengendalikan api yang masih menyala.
"Aku harap begitu," katanya, lalu berbalik, membiarkan timnya bekerja tanpa gangguan.
Pelabuhan yang tadinya dipenuhi suara tembakan dan jeritan kini mulai tenang. Asap masih membubung, aroma mesiu masih pekat di udara, tetapi ilusi mulai tercipta. Dalam beberapa jam ke depan, tempat ini akan tampak seperti hanya insiden kebakaran biasa.
Adrian menarik napas dalam-dalam dan menatap ke langit yang masih gelap. Ini hanyalah satu malam dari banyak malam lainnya. Tapi ia tahu, perang ini belum selesai.