Terdengar suara alarm berbunyi, memecah keheningan malam yang masih pekat. Adrian mengernyitkan mata, matanya menangkap layar ponsel yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang. Itu ponsel milik Siska. Dia melirik jam dinding di sudut ruangan—pukul 22.30. Ruangan itu adalah salah satu sisi gudang kontainer yang telah diubahnya menjadi ruang pribadi. Dinding-dinding logam yang dulunya dingin kini berlapis panel kayu, lampu-lampu gantung kecil menciptakan suasana temaram yang nyaman. Lantainya dilapisi karpet abu-abu, dan furnitur minimalis menghiasi ruangan, menciptakan nuansa modern yang tak jauh berbeda dari apartemen-apartemen mungil di Kalibata City, tempat para mahasiswa dan pekerja muda mencari kenyamanan di tengah hiruk-pikuk kota.
Sebuah ranjang king-size dengan seprai kusut menjadi saksi kehangatan yang baru saja terjadi di antara mereka. Pakaian mereka berserakan di lantai, sisa-sisa dari permainan yang masih terasa jejaknya di udara. Adrian mengingat kembali bagaimana mereka melanjutkan petualangan mereka dari kamar mandi arena pertarungan gelap ke tempat ini, lalu menghabiskan malam dalam pusaran gairah hingga kelelahan menjemput mereka berdua di ruang pribadi Adrian.
Siska masih tertidur di atasnya, tubuhnya menyatu dengan lekukan lengan Adrian, kulitnya terasa hangat. Gadis itu belum mengenakan sehelai benang pun, napasnya tenang dan bibirnya sedikit terbuka, seperti seseorang yang enggan berpisah dari mimpi yang terlalu manis. Rambut pendeknya berantakan, jatuh menutupi sebagian wajahnya yang lembut. Dalam cahaya redup, tubuhnya yang ramping tergambar sempurna—garis punggungnya yang jenjang, bahunya yang kecil dan halus, serta lekukan pinggangnya yang begitu proporsional meski tubuhnya cenderung kurus. Cahaya lampu yang jatuh ke kulitnya memberikan kesan pucat keemasan, menonjolkan kontras yang menggoda. Meski tidak berisi, ada keindahan tersendiri dalam cara tubuhnya terbentuk—siluet yang sederhana namun menggugah.
Adrian tersenyum kecil, mengangkat tangan dan menyelipkan helaian rambut yang jatuh menutupi mata gadis itu. "Siska Emily, kau membunyikan alarm. Sudah waktunya pulang ya?" suaranya terdengar serak, masih dibalut kantuk.
Siska menggeliat pelan, seperti kucing yang baru saja terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya terbuka, memperlihatkan sepasang mata yang masih berkabut kantuk. Ia tidak langsung menjawab, hanya menghela napas sebelum menyandarkan dagunya ke dada Adrian. "Hmm... ya, aku harus pulang malam ini. Aku berjanji ke Mama untuk pulang setelah penelitian," gumamnya malas.
Adrian terkekeh, menelusuri punggung Siska dengan jemarinya, menikmati kelembutan kulitnya. "Penelitian? Meneliti apa yang baru kita lakukan ya?" godanya.
Siska tertawa kecil, nada suaranya penuh godaan saat telapak tangannya yang mungil menepuk dada bidang Adrian. Sentuhan itu lembut, namun ada kilatan kenakalan dalam gerakannya. Dengan gerakan menggoda, ia mulai bergeser turun dari ranjang, kaki jenjangnya menyentuh lantai dingin sementara matanya sibuk menyapu ruangan yang masih berantakan akibat pertarungan panas mereka tadi.
"Di mana ya?" gumamnya setengah pada diri sendiri, jemarinya menyusuri lantai mencari-cari sesuatu di antara pakaian yang berserakan.
Adrian menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang, memperhatikannya dengan tatapan penuh selera. Senyumnya mengembang, seakan menikmati pemandangan yang tersaji di hadapannya. Siska, dengan rambut kusut yang masih berantakan, kulit yang masih berkilauan oleh keringat, dan lekuk tubuh yang bergerak luwes dalam pencariannya.
"Kamu simpan untukku ya, Bang," suara Siska menggelitik telinganya, menggoda seperti bisikan penuh rahasia. "Nanti kalau ketemu, berikan padaku saat aku datang lagi untuk 'penelitian'."
Ia menemukan hotpantsnya yang tergeletak tak jauh dari ranjang, lalu memakainya tanpa repot mencari celana dalamnya yang entah terselip di mana. Gerakannya santai, tanpa kepanikan, tanpa malu. Seolah tubuhnya memang diciptakan untuk dinikmati tanpa perlu ditutupi.
Adrian terkekeh pelan, matanya tak lepas dari tiap lekuk gerakan gadis itu. Ia menyaksikan Siska mengenakan singlet tipis yang langsung menempel pada kulitnya seperti lapisan kedua, memperlihatkan siluet yang menggoda di bawahnya. Ketika ia menarik kaus ketatnya yang masih kusut, Adrian akhirnya berkomentar, nadanya menggoda namun terdengar tulus.
"Kau nggak pernah memakai bra ya?"
Siska berhenti sejenak, menatapnya dengan satu alis terangkat, lalu menghela napas malas.
"Ah, malas," jawabnya santai, tangan kecilnya merapikan rambut yang jatuh ke bahunya. Namun, mendadak ia menatap Adrian tajam, bola matanya berkilat, membuat pria itu sedikit salah tingkah.
"Eh, kenapa, Siska?" tanya Adrian, mencoba menetralkan suasana.
"Hmm... kau mengejekku ya?" Siska berkacak pinggang, ekspresi pura-pura cemberutnya justru terlihat semakin menggoda.
Adrian mengangkat kedua tangannya, seolah membela diri. "Enggak kok, mengejek gimana maksudmu?"
Siska mendengus, menoyor kepala pria itu pelan. "Huh, lagian kalau aku pakai bra juga buat apa coba? Aku nggak punya payudara... bra-nya mau dibuat menutupi apa, Bang?" katanya, nada bercandanya jelas terdengar.
Adrian menatapnya, lalu terkekeh, suaranya berat dan dalam. "Ya... ya itu, kan masih ada putingnya, Siska... putingmu kan menonjol besar, buat nutupin itu donk."
Siska membelalakkan matanya, lalu mengambil bantal dan langsung menghantamkan ke kepala Adrian. "Ih, kau nakal, Bang!" pekiknya, tapi tawa di bibirnya tak bisa disembunyikan.
Adrian hanya tertawa kecil, tangannya menangkap bantal yang dilemparkan padanya. "Eh, tapi enggak kok, Siska. Kau sangat menarik, cantik... seksi..."
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Siska tiba-tiba meraih wajahnya dan mengecup bibirnya dengan cepat, sebuah serangan mendadak yang manis sekaligus membakar. Bibirnya lembut, hangat, meninggalkan sensasi yang masih berdenyut di permukaan bibir Adrian ketika gadis itu menarik diri.
"Udah ah, aku mau pulang, bang," kata Siska sekenanya sambil merapikan rambutnya.
"Siska, hmm... kau sudah skripsi kan? Bentar lagi lulus kan?" tanya Adrian tiba-tiba, suaranya lebih serius.
Siska menoleh. "Iya, kenapa Bang?"
Adrian menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Kau tidak ingin menikah? Kalau mau, aku lamar kau setelah lulus."
Siska menghentikan aktivitasnya, berbalik menghadap Adrian, lalu tersenyum kecil. "Bang, ingat komitmen kita di awal? Kita hanya one-night stand, oke?" katanya dengan nada lembut, namun tegas. "Kau yang diuntungkan kan sebenarnya?"
Adrian terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Iya, aku tahu, hanya barangkali..." Kalimatnya menggantung, sulit untuk ia lanjutkan.
Adrian menatapnya, membaca setiap lekuk wajahnya seakan mencari sesuatu yang bisa ia pegang. Tapi Siska sudah mengambil langkah mundur, memberi jarak. Ia menunduk sedikit, mengecup pipi Adrian dengan lembut, lalu berbalik. "Bang, kau melamarku pun, orang tuaku nggak mungkin setuju. Mereka pasangan pengusaha normal yang nggak pernah mau berpikiran anti-mainstream," katanya pelan. "Lagipula, kau juga tahu sendiri kan, Bang? Aku sudah punya pacar. Dari dunia yang sesuai dengan ekspektasi Papa."
Ia menepuk pipi Adrian pelan, lalu berjalan menuju pintu. Namun, sebelum benar-benar keluar, ia menoleh dan melempar senyum jahil. "Bye-bye, Bang... Jangan lupa simpan celana dalamku kalau kau menemukannya. Nanti aku ambil lagi."
Siska berbalik, melangkah ke pintu dengan gerakan ringan dan percaya diri. "Jangan kangen, Bang," katanya sambil melirik sekilas, senyum jahil terukir di wajahnya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu, meninggalkan aroma tubuhnya yang masih menggantung di udara.
Pintu tertutup dengan pelan, meninggalkan Adrian yang hanya bisa tersenyum miris di ranjangnya yang mulai terasa dingin, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilewati Siska. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya, tapi ia tak tahu pasti apa itu.
Adrian menghela napas panjang, matanya menatap langit-langit kamar. "Sial," gumamnya, senyuman kecil tak bisa ia tahan. "Gadis itu benar-benar berbahaya."
Siska Emily melangkah keluar dari ruang pribadi Adrian di sudut lain gudang kontainer yang telah diubah menjadi hunian mewah layaknya apartemen di Kalibata City. Cahaya lampu jalan yang temaram memantulkan siluet tubuhnya yang ramping, memperlihatkan lekukan halus meski tubuhnya tergolong kurus. Suasana di sekelilingnya sunyi, hanya suara deburan ombak pelabuhan dan deru mesin kapal di kejauhan yang terdengar samar. Namun, ia sudah terbiasa dengan kesunyian ini. Wilayah ini adalah teritori Adrian, dikuasai oleh Naga Besi. Tak ada satu pun orang waras yang berani berbuat onar di tempat ini—kecuali mereka sudah bosan hidup.
Namun, malam ini terasa berbeda.
Siska melangkah dengan percaya diri menuju area parkir luar, tempat mobil dan sopir pribadinya telah menanti. Sedan hitam mewah, sebuah Bentley Flying Spur terbaru, tampak berkilauan di bawah sinar lampu jalan. Jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan wajah seorang pria berusia hampir enam puluh tahun dengan rahang tegas dan sorot mata tenang. Itu Wiryanto, sopir sekaligus pengawal setianya, pria berdarah Jawa yang telah bekerja untuk keluarganya selama lebih dari tiga dekade.
Saat Wiryanto membuka pintu untuk menyambutnya, tiba-tiba, dari berbagai arah, muncul sembilan pria bertopeng, menghadang langkah Siska. Mereka berpakaian serba hitam, gerak-geriknya mencerminkan disiplin seorang petarung bayaran.
"Siapa kalian?" tanya Siska dengan nada datar, tanpa sedikit pun menunjukkan ketakutan.
Sementara itu, Wiryanto tetap berdiri tenang di sisi mobil, ekspresinya tak berubah. Hanya matanya yang mengamati situasi dengan seksama.
"Jadi ini gadisnya?" gumam salah satu pria bertopeng, yang tampaknya adalah pemimpin kelompok itu. "Bos ingin dia dibawa hidup-hidup. Tangkap dia."
Siska mendengus pelan, menatap mereka seolah sedang menegur anak-anak yang bermain terlalu jauh dari rumah. "Kalian serius membuat onar di wilayah Naga Besi?" katanya santai, tangan bertolak pinggang. "Berani sekali kalian."
Tak ada jawaban. Hanya gerakan serentak para penyerang yang berhambur ke arahnya.
Tapi mereka melakukan kesalahan fatal—mereka menganggapnya gadis biasa.
Dalam hitungan detik, Siska melompat tinggi, tubuhnya berputar di udara sebelum kaki kanannya meluncur deras menghantam wajah salah satu pria bertopeng. Tulang hidungnya terdengar patah, tubuhnya terlempar dan tak bangun lagi. Belum sempat yang lain bereaksi, Siska sudah bergerak, tinjunya menghantam perut salah satu penyerang, diikuti dengan tendangan lurus yang menghantam dadanya. Tubuh pria itu jatuh tersungkur, tersedak udara.
Kekacauan pun terjadi.
Teriakan kesakitan terdengar, tubuh-tubuh besar berjatuhan satu per satu. Setiap gerakan Siska cepat, presisi, dan mematikan. Pukulan dan tendangannya cukup untuk membuat lawannya tidak sadarkan diri. Dalam hitungan detik, sembilan pria bertopeng yang semula mengelilinginya kini tergeletak tak berdaya di atas aspal parkiran, merintih kesakitan atau benar-benar tak sadarkan diri.
Dengan tenang, Siska merapikan rambutnya, menghela napas seolah baru saja menyelesaikan peregangan ringan. Wiryanto, tetap dengan ekspresi datarnya, membukakan pintu mobil. "Silakan, Nona," katanya datar.
Siska melirik tubuh-tubuh yang berserakan di sekelilingnya sebelum melangkah masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun. Wiryanto menutup pintu dengan rapi, berjalan ke kursi kemudi, dan tanpa membuang waktu, Bentley itu melesat meninggalkan parkiran, meninggalkan sembilan pria yang masih belum bisa bangkit.
Dari kejauhan, Rafael Durnovo dan Selene Vasquez mengamati adegan itu dengan penuh minat.
Rafael berdiri tegak, bersandar ringan pada dinding kontainer, jas hitamnya jatuh sempurna membingkai tubuhnya yang tegap. Meski tampil rapi, ada kesan liar yang sulit disembunyikan, terutama dari matanya yang tajam dan bibirnya yang menyunggingkan senyum tipis—samar, penuh arti.
Di sampingnya, Selene mengenakan jumpsuit merah dengan potongan elegan yang membalut tubuhnya. Bahan kain itu mengikuti lekuk tubuhnya tanpa terkesan berlebihan, sementara garis leher rendahnya memberi ruang untuk menampilkan kulitnya yang sehalus porselen. Rambutnya yang hitam pekat dibiarkan tergerai, bergelombang lembut hingga menyentuh punggungnya. Sepasang anting panjang berbentuk tetesan kristal menggantung di telinganya, berkilau saat tertimpa cahaya samar dari lampu jalan.
Wanita itu menyeringai, menyesap anggur dari gelas ramping di tangannya sebelum berbisik dengan nada penuh kekaguman, "Aku sudah menduganya. Dia bukan gadis biasa."
Rafael hanya tersenyum tipis, matanya tetap terpaku pada sosok yang baru saja mereka saksikan. "Ini akan semakin menarik," gumamnya.