Chereads / Penguasa Pelabuhan Utara / Chapter 10 - Aliansi

Chapter 10 - Aliansi

Dentingan rantai kapal terdengar samar di kejauhan, bersamaan dengan deru mesin-mesin berat yang tak pernah benar-benar berhenti di pelabuhan utara. Bau asin laut bercampur aroma solar yang menyengat, membungkus udara dengan sensasi yang khas dan melekat di kulit.

Di tengah semua itu, Adrian menyalakan motornya—Ducati Diavel hitam, suara mesinnya menggeram rendah, berat, seperti pemiliknya. Dengan satu gerakan santai, dia memutar gas, meninggalkan dermaga pribadinya yang terletak di salah satu sudut pelabuhan, tempat hanya sedikit orang yang diizinkan masuk. Matanya tajam mengamati sekitar, seperti biasa. Baginya, pelabuhan bukan sekadar tempat bisnis—ini medan perang, arena yang harus selalu dia kuasai.

Malam tadi, ada laporan pergerakan tak biasa di sekitar kawasan industri. Kelabang Hitam. Anjing-anjing liar yang berpikir mereka bisa mencuri dari naga di sarangnya sendiri. Adrian mendengus. Biarkan saja mereka datang. Dia sudah menunggu.

Motornya melaju melewati jalanan yang mulai dipenuhi aktivitas pagi. Truk-truk kontainer berjejer, pekerja pelabuhan dengan wajah lelah beristirahat sejenak sebelum kembali berkutat dengan beban mereka. Tapi Adrian tidak memperhatikan mereka terlalu lama. Dia punya rutinitas sendiri.

Di sudut jalan dekat pelabuhan, berdiri sebuah warung makan kecil, bangunannya sederhana dengan dinding kayu tua yang sudah mulai memudar. Aroma kopi hitam pekat bercampur dengan harum nasi goreng yang dimasak dengan bumbu kuat memenuhi udara. Inilah tempat Adrian selalu singgah di pagi hari. Bukan restoran mewah, bukan lounge eksklusif. Di sini, dia bisa duduk dengan tenang, tanpa perlu bertanya siapa kawan dan siapa lawan.

Dia memarkir motornya, membuka helm, lalu melangkah masuk.

"Pagi, Bang Adrian!" sapa seorang pelayan, seorang pria tua bertubuh kurus dengan wajah penuh garis usia.

Adrian hanya mengangguk kecil. "Kopi hitam, seperti biasa. Sama nasi goreng."

Warung kecil itu beraroma campuran kopi hitam yang baru diseduh, asap rokok, dan sedikit bau asin laut yang terbawa angin dari pelabuhan. Lampu neon tua menggantung dari langit-langit rendah, cahayanya berkedip samar, memberikan bayangan yang bergetar di dinding kayu yang mulai lapuk.

Di balik meja kasir yang sederhana, seorang pelayan tua, lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan rambut memutih dan tubuh kurus yang masih bertenaga, tengah sibuk mengelap gelas dengan kain kusam. Matanya yang cekatan melirik ke arah Adrian sesekali, menilai pria yang baru datang itu tanpa benar-benar bertanya.

Beberapa pengunjung lain duduk di kursi plastik yang sudah usang. Dua pria berbadan kekar dengan jaket kulit lusuh duduk di dekat jendela, berbincang pelan sambil sesekali menyuap nasi goreng dari piring kaleng mereka. Salah satu dari mereka—berkepala plontos dengan bekas luka di pelipis—sesekali melirik ke arah Adrian, bukan dengan niat buruk, hanya refleks dari sesama pria yang terbiasa hidup di dunia jalanan.

Di pojok lain, seorang pria bertopi pet berusia empat puluhan menyeruput kopi hitamnya dengan tenang, matanya fokus ke koran lusuh yang terbuka di depannya. Dari cara dia duduk—punggung sedikit membungkuk, satu tangan di saku jaket—terlihat jelas dia bukan hanya sekadar pelanggan biasa.

Dari dapur terbuka di belakang, suara dentingan wajan bertemu spatula terdengar, disertai aroma bawang goreng yang menggoda. Sesekali, suara radio tua memutar lagu dangdut klasik, suaranya beradu dengan riuh rendah aktivitas di luar warung—bunyi klakson truk yang melintas, suara ombak kecil yang menghantam dermaga, dan samar-samar teriakan pekerja pelabuhan yang tengah bongkar muatan.

Adrian mendudukkan dirinya di meja sudut, posisi yang memastikan punggungnya menghadap dinding—kebiasaan lama yang tertanam begitu dalam, hingga terasa seperti naluri. Dari tempatnya, dia bisa melihat semua orang di ruangan itu tanpa ada yang bisa mendekatinya tanpa disadari.

Baru saja dia hendak menyalakan rokok, sesuatu mengusik pandangannya.

Bukan suara, bukan gerakan mencurigakan.

Tapi auranya.

Sebuah kehadiran yang terlalu kuat untuk diabaikan, terlalu asing untuk dianggap sepele.

Seorang wanita baru saja masuk ke dalam warung.

Langkahnya tenang, tidak terburu-buru, tetapi penuh keyakinan. Seakan dia tahu betul bahwa setiap mata akan menoleh ke arahnya—dan memang benar. Wanita itu memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan hanya dengan kata cantik. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar parasnya.

Yasmin.

Dia mengenakan kemeja putih ketat, cukup pendek sehingga setiap gerakannya memperlihatkan sekilas garis otot perutnya yang terukir sempurna. Rok hitamnya membalut pinggul rampingnya, tidak cukup panjang untuk menyembunyikan kaki jenjang yang bergerak dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan ketegasan di matanya. Setiap gerakan tubuhnya seperti tarian yang disengaja—lambat, namun penuh perhitungan.

Yasmin mendekat, langsung duduk di samping Adrian tanpa menunggu undangan.

Dia menyilangkan kakinya, dan gerakan itu sengaja atau tidak, memperlihatkan lekuk pahanya yang mulus di bawah rok ketatnya.

Senyum tipis tersungging di bibirnya. "Kau Adrian, bukan?"

Adrian menatapnya tanpa ekspresi. Matanya dingin, penuh kewaspadaan. "Siapa kau?"

Wanita itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. Adrian menangkap kilatan hitam di balik kemeja putih itu—bra yang membalut dadanya dengan sempurna. Apakah ini kebetulan atau trik?

"Namaku Yasmin," jawabnya, suaranya halus tetapi tajam seperti pisau yang baru diasah. "Aku tahu banyak tentangmu. Dan aku tahu tentang musuh-musuhmu."

Adrian tetap tenang. Pikirannya sudah bekerja cepat. Wanita ini jelas bukan orang sembarangan. Cara dia bergerak, cara dia berbicara, dan fakta bahwa dia tahu namanya—berarti dia telah menyelidiki lebih dalam dari yang seharusnya.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Adrian akhirnya.

Yasmin tersenyum. Ada sesuatu di matanya—bukan sekadar kecantikan, tetapi bahaya. "Aliansi."

Adrian tertawa kecil, sinis. "Aku tidak bermain dengan orang asing."

"Oh, kau akan berubah pikiran," katanya sambil menyodorkan sebuah amplop ke atas meja.

Adrian menatapnya sejenak, lalu mengambil amplop itu dengan gerakan santai. Namun, begitu dia membuka dan membaca isinya, sorot matanya berubah.

Di dalamnya terdapat detail yang terlalu rinci tentang kelompok yang akan menyerangnya besok malam. Nama-nama, jumlah pasukan, jenis senjata yang mereka miliki—semuanya tertulis di sana.

Adrian menutup amplop itu dengan perlahan, tatapannya kembali tajam ke arah Yasmin.

"Darimana kau mendapat ini?"

Yasmin tidak menjawab. Dia hanya menatapnya, senyum masih menghiasi bibirnya.

"Baiklah," kata Adrian akhirnya, suaranya rendah tetapi mengandung ancaman. "Aku akan mendengarkanmu. Tapi jika ini jebakan, aku akan memastikan kau menyesal."

Yasmin tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti tantangan.

"Kau akan berubah pikiran tentangku, Adrian."

Dia lalu menyelipkan secarik kertas ke atas meja, sebuah alamat yang ditulis tangan.

"Jika kau percaya padaku, datanglah ke sini," katanya.

Tanpa menunggu jawaban, Yasmin bangkit, gerakannya lambat namun penuh kepercayaan diri, seperti seorang supermodel yang melenggang di atas catwalk. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai kayu warung dengan irama yang seolah sengaja dimainkan untuk menggoda siapa pun yang melihat.

Rok hitamnya yang ketat membungkus pinggulnya dengan sempurna, mengikuti setiap lengkungan tubuhnya yang terukir dengan presisi yang hampir tidak masuk akal. Saat dia berjalan, pantatnya yang bulat dan kencang berayun lembut, gerakan yang tampak alami namun begitu terukur—bukan sekadar langkah biasa, melainkan pernyataan.

Parfum yang dikenakannya meninggalkan jejak samar di udara—kombinasi wangi bunga putih dan sedikit sentuhan musk yang hangat dan menggairahkan, seakan membisikkan sesuatu yang tidak bisa diabaikan.

Beberapa pria di warung yang awalnya asyik dengan makanan mereka tanpa sadar melirik ke arahnya, seolah tersihir oleh auranya yang terlalu kuat untuk diabaikan. Bahkan seorang pelayan tua yang tadi sibuk mengelap meja sempat menghentikan gerakannya, matanya sedikit melebar sebelum buru-buru kembali bekerja.

Tapi Adrian tetap diam di tempatnya.

Bukan karena dia tidak terpengaruh—justru sebaliknya. Namun, dia bukan tipe pria yang mudah dikuasai oleh godaan, tidak peduli seberapa menawan sosok di hadapannya. Tapi kali ini berbeda.

Dia tidak segera beranjak. Tatapannya tetap tertuju pada Yasmin yang semakin menjauh, meninggalkan jejak kehadirannya seperti sebuah teka-teki yang mendebarkan.

Di luar, pelabuhan masih berdenyut dengan aktivitasnya—truk-truk melintas, suara kapal bergemuruh di kejauhan, burung camar melayang rendah mencari sisa makanan. Tapi bagi Adrian, semua itu terasa sedikit lebih sunyi dibandingkan beberapa menit yang lalu.

Tangannya terangkat, jari-jarinya mengetuk amplop di atas meja.

Siapa sebenarnya Yasmin?

Dan lebih penting lagi—seberapa dalam dia akan terseret ke dalam permainan wanita itu?