Chereads / Penguasa Pelabuhan Utara / Chapter 11 - Keanggunan Yang Mematikan

Chapter 11 - Keanggunan Yang Mematikan

Sore menjelang di pelabuhan. Langit yang tadi biru terang mulai berpendar kejinggaan, menyisakan semburat merah yang memantul di permukaan laut. Udara berbau asin, bercampur aroma minyak solar dan besi berkarat dari kapal-kapal kargo yang tertambat. Di kejauhan, suara burung camar bercampur dengan dentingan besi dan teriakan pekerja yang masih sibuk membongkar muatan. Tapi di satu sudut dermaga, di antara jejeran kontainer yang tersusun tinggi, suasana terasa berbeda—lebih sunyi, lebih waspada.

Adrian berdiri di samping sebuah Toyota Land Cruiser FJ40 tua berwarna hitam, catnya sudah pudar dan beberapa bagian bodinya menunjukkan baret-baret tanda usia. Lima anak buahnya sudah menunggu di dalam, siap bergerak. Tanpa banyak bicara, Adrian membuka pintu depan dan masuk. Mesin meraung rendah saat mobil itu melaju keluar dari pelabuhan, menembus jalanan kota yang mulai padat oleh kendaraan yang bergegas pulang.

Mereka berkendara dalam diam, menelusuri jalanan sempit dengan gedung-gedung tua di kanan dan kiri, sebelum akhirnya masuk ke tol. Senja mulai merayap, dan lampu jalanan melemparkan bayangan panjang di aspal yang masih menyimpan sisa panas matahari. Adrian duduk di kursi depan, tangannya bersandar di jendela, matanya menatap kosong ke luar, sementara anak buahnya di belakang duduk diam, sesekali berbicara lirih. Mereka semua tahu perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa.

Beberapa menit kemudian, mobil keluar dari tol dan memasuki jalanan yang semakin sepi. Bangunan-bangunan kota berganti dengan lahan kosong dan pabrik-pabrik tua yang terbengkalai. Jalanan sempit dan berlubang membawa mereka ke sebuah kompleks yang terlihat usang—bekas pabrik yang sudah lama tak beroperasi. Dinding bangunan itu kusam dan dipenuhi coretan vandal, sementara jendela-jendelanya sebagian besar pecah, menyisakan kaca-kaca tajam yang berkilau di bawah cahaya senja.

Adrian mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat halus. Land Cruiser hitam itu melambat, lalu berhenti tepat di depan bangunan tua yang tampak terbengkalai. Mesin masih menderu pelan, getarannya terasa di udara yang semakin dingin menjelang senja.

Mereka turun satu per satu dengan gerakan terlatih. Sopir tetap duduk di balik kemudi, tangannya siaga di atas setir, matanya waspada melalui kaca spion. Adrian berdiri tegak, tangannya terselip di saku jaketnya, mata tajamnya menyapu bangunan di depannya—sebuah gudang tua dengan cat yang mengelupas dan dinding berlumut.

"Benar ini tempatnya?" Suaranya datar, tapi ada ketegangan halus di dalamnya, seperti pisau yang baru saja diasah.

Salah satu anak buahnya, seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka di pelipisnya, mengangguk mantap. "Sesuai alamat, Bos. Informasi dari intel juga mengarah ke sini."

Adrian tidak langsung merespons. Ia mengangkat dagunya sedikit, matanya mengamati setiap detail—pintu baja yang sedikit terbuka, jendela di lantai dua yang kacanya retak, dan jejak ban yang masih basah di tanah berlumpur. Ini bukan sekadar gudang kosong. Ada sesuatu di dalam sana.

Tangannya melonggarkan kancing jasnya, memberikan kebebasan gerak jika sesuatu terjadi. Dengan langkah pelan namun pasti, ia mulai memasuki gedung. Anak buahnya mengikuti di belakang, senjata terselip di bawah jaket mereka, siap digunakan kapan saja.

Begitu mereka melangkah ke dalam, udara di dalam gudang terasa lebih dingin. Aroma kayu tua bercampur dengan bau besi berkarat dan sisa oli yang mengering. Deretan peti kayu besar tersusun seperti labirin, menciptakan jalur sempit yang hanya bisa dilewati satu orang dalam satu waktu. Beberapa di antaranya memiliki cap perusahaan ekspedisi, beberapa lainnya polos tanpa identitas—mencurigakan.

Langkah-langkah mereka menggema di ruang luas itu. Cahaya matahari yang hampir tenggelam menembus celah-celah atap yang bocor, menciptakan permainan bayangan yang bergerak di dinding, seolah sesuatu bersembunyi di dalam kegelapan.

Sunyi. Terlalu sunyi.

Adrian berhenti. Telinganya menangkap sesuatu—bukan suara langkah mereka, bukan suara angin yang berdesir melalui celah-celah dinding tua. Ini sesuatu yang lain. Napas seseorang?

Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua berhenti. Jari-jarinya bergerak cepat, memberi kode kepada anak buahnya untuk bersiap.

Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar, sampai akhirnya, suara seseorang memecah keheningan.

"Jadi kau akhirnya percaya padaku, Adrian?" Suara itu lembut, tapi ada ketegasan yang tidak bisa diabaikan.

Mata Adrian menyipit, mencoba mencari sumber suara. Beberapa detik berikutnya, sebuah siluet melompat dari atas tumpukan peti setinggi lima meter, melayang seperti bayangan yang bergerak dengan keanggunan kucing liar. Sebelum mereka bisa bereaksi, sosok itu kembali melompat ke tumpukan yang lebih rendah, setinggi tiga meter, lalu mendarat dengan lembut di depan mereka, masih tersembunyi dalam bayang-bayang.

Adrian menghela napas. "Yasmin."

Perlahan, Yasmin melangkah keluar dari bayangan. Siluet tubuhnya ramping dan tinggi, kaki jenjangnya melangkah dengan keanggunan seorang ratu panggung, namun ada bahaya yang mengintai di setiap gerakannya. Dia mengenakan celana hitam ketat yang membalut pahanya dengan sempurna, memperlihatkan kontur otot yang terukir dari latihan bertahun-tahun. Jaket kulit pendek yang dikenakannya terbuka di bagian dada, memperlihatkan sekelumit belahan payudaranya yang kecil tapi kencang, serta tali bra hitam yang terlihat kontras dengan kulitnya yang mulus. Jaket itu cukup pendek hingga membiarkan perutnya terlihat—ramping, berotot, dengan garis-garis tajam yang menghiasi pusarnya.

Dia tersenyum tipis, menggoda tapi penuh perhitungan. "Adrian, bagaimana? Kau siap menjadi aliansi?"

Adrian menatapnya lekat, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Untuk saat ini, aku percaya padamu. Skema rencana penyerangan besok malam terlihat sangat detail." Dia menekankan nada suaranya. "Tapi kenapa kau mengundangku ke sini?"

Yasmin berjalan mendekat, langkahnya nyaris tanpa suara. "Musuhmu kali ini berbeda. Kelabang Hitam memang gangster yang kalian sudah kenal, tapi di balik mereka ada kelompok lain—tentara bayaran yang lebih dari sekadar tukang pukul dengan parang dan golok."

Anak buah Adrian saling bertukar pandang, raut wajah mereka berubah tegang.

"Bagaimana mungkin?" gumam Adrian.

"Ada kekuatan besar di belakang Kelabang Hitam, dan mereka menginginkan pelabuhan itu lebih dari yang kau bayangkan," lanjut Yasmin. "Mereka punya sumber daya yang tidak terbatas, dan mereka tidak segan mengeluarkan biaya besar untuk merebutnya darimu."

Suasana semakin berat. Adrian menarik napas panjang, berpikir cepat.

"Tapi jangan khawatir," Yasmin melanjutkan, nada suaranya sedikit lebih ringan. "Aku sudah menyiapkan kejutan buat kalian."

Dia memberi isyarat dengan dagunya ke sisi ruangan. Beberapa peti kayu tua tersusun rapi di sana, terlihat lusuh, tapi aura misteriusnya tak bisa diabaikan.

"Anggap ini hadiah perkenalan kita," katanya sambil tersenyum tipis.

Adrian memberi isyarat pada anak buahnya. Dengan ragu, mereka membuka peti itu satu per satu.

Saat tutupnya terangkat, mereka semua terperangah.

Di dalam peti-peti itu, tersusun senjata api berbagai jenis—pistol semi otomatis, senapan serbu, hingga beberapa granat tangan yang masih tersegel rapi dalam kemasannya. Cahaya jingga senja memantul di permukaannya, seolah menambah aura maut yang terkandung di dalamnya.

"Bersiaplah untuk perang yang sesungguhnya," kata Yasmin dengan nada santai, tapi penuh arti.

Adrian melangkah mendekatinya. "Apa imbalannya? Tidak ada makan siang gratis, bukan?"

Yasmin tersenyum penuh arti. "Ya, imbalannya seperti yang kubilang. Aliansi."

"Kenapa kau memilih kami?" tanya Adrian tajam.

Yasmin mendekat sedikit, menatapnya dalam. "Sederhana. Aku berperang melawan kelompok di belakang Kelabang Hitam, dan kau punya pasukan. Aku tidak. Tapi aku punya sumber daya, informasi, dan senjata. Cukup adil, bukan?"

Adrian berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baik."

Yasmin tersenyum, lalu dengan gerakan secepat kilat, dia melompat ke tumpukan peti setinggi hampir dua meter, melayang ringan seperti bayangan, lalu melompat lagi ke peti lain, dan menghilang dalam kegelapan.