Langit malam di pinggiran Jakarta Barat tampak kelam tanpa banyak bintang, seperti menyatu dengan bayang-bayang gelap yang mengelilingi sebuah gudang tua di kawasan industri yang nyaris terlupakan. Dari luar, tempat itu terlihat sepi, seolah tak ada kehidupan. Hanya deretan kontainer berkarat dan lampu jalan yang berkedip-kedip seperti nyawa yang hampir padam. Namun, di balik dinding baja yang kusam itu, suasana jauh berbeda—bagaikan dunia lain yang berdetak dengan denyut perang.
Di dalam gudang, ratusan orang berkumpul dalam lingkaran-lingkaran kecil, berbicara dalam bisikan tegang atau bersorak dengan semangat yang membara. Senjata tajam berkilat di bawah cahaya neon redup—parang, golok, clurit, hingga belati dengan ukiran khas yang mencerminkan daerah asal mereka. Asap rokok bercampur dengan bau keringat dan minyak senjata, memenuhi udara dengan aroma yang menusuk. Mereka bukan sekadar gerombolan kriminal. Mereka adalah Kelabang Hitam—kelompok yang selama ini beroperasi di bawah bayang-bayang kota, tetapi malam ini, mereka bersiap keluar dari kegelapan untuk menantang sang penguasa pelabuhan utara, Adrian, Naga Besi.
Di tengah kerumunan, seorang pria berdiri dengan aura kepemimpinan yang tak terbantahkan. Namanya Bayu Reksa, komandan lapangan Kelabang Hitam, seorang pria berusia awal 30-an dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam seperti mata elang yang terbiasa menilai lawan dari kejauhan sebelum menerkam. Rahangnya tegas, kulitnya terbakar matahari—bekas hidup di jalanan dan bertarung demi tempatnya di dunia yang kejam ini. Dia mengenakan jaket kulit hitam yang terbuka di bagian depan, memperlihatkan tubuhnya yang berisi dan penuh bekas luka. Malam ini, dialah yang memimpin pasukan dalam misi besar mereka: merebut pelabuhan utara.
Bayu melangkah ke tengah-tengah, suaranya bergema di antara dinding baja yang dingin. "Kumpulkan semua beceng yang kita punya! Kita tak hanya datang untuk membuat onar, kita datang untuk perang!" serunya, penuh semangat.
Seorang anak buahnya segera menghitung, lalu berseru, "Sudah terkumpul delapan buah, Bos!"
Bayu mengangguk, tetapi kemudian menyeringai sinis. "Bagus. Yang lain bawa senjata tajam. Jangan ada yang bawa senjata tumpul. Kita bukan anak STM yang mau tawuran!" Ucapannya disambut dengan tawa dan sorakan dari anak buahnya yang semakin bersemangat.
Namun, tawa mereka terputus ketika seorang pria berlari tergesa-gesa masuk ke dalam gudang, napasnya tersengal. "Bos! Bos besar datang! Mobilnya diikuti banyak mobil lain di belakangnya!"
Bayu langsung menoleh, wajahnya berubah serius. "Baik. Ayo kita sambut!"
Mereka bergerak ke depan gerbang, menunggu dengan tatapan waspada. Dari kejauhan, terlihat iring-iringan mobil mendekat. Lampu-lampu depan menembus kegelapan seperti sepasang mata pemangsa yang tengah mengintai mangsanya. Di barisan depan, sebuah sedan putih meluncur dengan anggun, diikuti sebuah sedan hitam yang lebih mewah—sebuah Mercedes-Maybach S650, simbol kekuasaan dan kekayaan yang nyata. Di belakangnya, belasan SUV dan mobil boks ikut mengiringi, membawa kekuatan yang lebih dari sekadar ancaman.
Mobil putih berhenti lebih dulu. Pintu terbuka, dan seorang pria turun dengan langkah mantap. Dialah Sutomo Joyo, bos besar Kelabang Hitam, pria berusia 50 tahun yang namanya berbisik di jalanan seperti mitos yang menakutkan. Tubuhnya masih tegap meski usia telah menapaki separuh abad, dengan mata yang tajam penuh perhitungan. Kumis tebalnya sedikit memutih, tetapi auranya tetap sama—seorang penguasa bayangan yang tak bisa diremehkan.
Namun, perhatian semua orang beralih ketika pintu sedan hitam terbuka. Anak buah dari SUV bergerak cepat, berhamburan ke depan untuk membukakan pintu, memperlakukan pria di dalamnya dengan hormat yang tak biasa. Dari dalam mobil, Surya Adipradana keluar, dengan sikap yang lebih tenang dari badai sebelum menghantam. Jasnya rapi, posturnya santai, tetapi ada sesuatu di caranya memandang yang membuat semua orang terdiam.
Sutomo menyambutnya lebih dulu. "Bos Surya," katanya dengan anggukan hormat. "Bagaimana persiapan kalian?"
Bayu melangkah maju, membusungkan dada. "Kami sudah sangat siap, Bos!" Suaranya penuh keyakinan.
Ratusan anak buahnya yang berkumpul di halaman gudang langsung bersorak, mengangkat senjata mereka tinggi-tinggi. Pisau berkilat di bawah sinar lampu, parang dan golok mencerminkan semangat mereka yang menggelegak. Sutomo tersenyum puas melihat pemandangan itu, tetapi Surya hanya mengernyitkan dahi.
Sorakan mulai mereda ketika mereka menyadari ekspresi Surya yang datar—bukan kekaguman, tetapi kekecewaan.
"Kalian bercanda?" katanya akhirnya, suaranya tenang tetapi dingin seperti pisau yang baru ditarik dari sarungnya.
Semua terdiam. Bahkan Bayu yang tadi begitu percaya diri kini merasakan hawa dingin di punggungnya.
"Maksudnya bagaimana, Bos Surya?" tanya Sutomo, mencoba menjaga ketenangan.
Surya menyapu pandangan ke arah ratusan orang bersenjata tajam di hadapannya. Lalu dia mendecakkan lidah, seolah yang dilihatnya adalah segerombolan petani yang membawa arit untuk melawan tank.
"Senjata apa itu?" katanya, tatapannya menusuk. "Ini bukan zaman Majapahit."
Beberapa orang tertawa kecil, tetapi senyuman mereka langsung memudar ketika Surya menoleh tajam.
"Eh… tapi Bos, kami juga punya pistol," Sutomo mencoba membela diri, lalu memberi isyarat pada Bayu.
"Iya, Bos! Kami punya beceng delapan buah!" kata Bayu cepat-cepat, suaranya sedikit gugup.
Surya terdiam sejenak. Kemudian dia tertawa pelan, tetapi bukan tawa yang menyenangkan—itu tawa yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Cuma delapan pistol?" katanya dengan nada mencemooh. "Kalian mau perang atau cari mati?"
Sunyi.
Tatapan Surya menyapu seluruh halaman gudang, dan dalam sekejap, semangat yang tadi membara seakan padam. Kemudian, dia mengangkat tangannya dan memberi isyarat pada anak buahnya.
Dari belakang iring-iringan mobil, beberapa orang mulai maju. Wajah mereka berbeda dari anak buah Kelabang Hitam—ada yang berkulit putih dengan mata tajam khas Eropa Utara, ada yang bertubuh besar dengan wajah kasar khas Eropa Timur, ada pria Arab dengan sorban tipis melilit lehernya, dan ada juga pria berkulit hitam dari Afrika. Selain mereka, ada beberapa orang berwajah Melayu yang sorot matanya penuh ketenangan mematikan.
"Kenalkan," kata Surya. "Tentara bayaran yang saya sewa untuk kalian. Jika kalian ingin perang, setidaknya lakukan dengan cara yang benar."
Sutomo dan Bayu menatap orang-orang itu dengan penuh rasa hormat. Mereka tahu, ini bukan orang biasa.
Surya berdiri tegak di tengah kerumunan, matanya menyapu wajah-wajah yang mengelilinginya. Setiap pasang mata menatapnya dengan berbagai ekspresi—beberapa dipenuhi semangat, beberapa lainnya masih diselimuti keraguan yang samar. Tapi Surya tahu, sebentar lagi semuanya akan berubah.
Dengan gerakan tenang, ia melambaikan tangan sekali lagi. Seolah mengerti isyarat tanpa perlu diperintah, anak buahnya bergerak cepat ke arah mobil boks yang terparkir. Engsel peti kayu berdecit saat tutupnya dibuka. Cahaya lampu di gudang tua itu memantul dari logam dingin—laras senapan, magasin penuh peluru, dan pistol-pistol otomatis yang tersusun rapi di dalamnya.
Ada keheningan sejenak, lalu bisikan-bisikan muncul di antara mereka.
Salah satu anak buah Surya, seorang pria berambut cepak dengan tato di lehernya, mengangkat sebuah senapan serbu, mengaguminya sejenak sebelum menarik baut pengaman dengan suara logam yang khas. Dentingan mekanisme itu menggema di udara, seakan menegaskan satu hal—ini bukan lagi sekadar ancaman. Ini adalah perang.
Surya tersenyum tipis, lalu menoleh ke pria di sampingnya. "Masih ada lagi di mobil yang lain," katanya, suaranya tenang, tapi penuh tekanan.
Seolah baru benar-benar memahami besarnya situasi ini, beberapa orang menelan ludah, sementara yang lain saling pandang dengan gelisah.
Surya berjalan perlahan ke depan, mengambil satu pistol dari dalam peti dan memutarnya di tangannya dengan gerakan santai. "Kalian akan berperang dengan cara yang benar," katanya, suaranya merayap ke setiap sudut ruangan, tajam seperti bilah pisau. "Sudah saatnya kalian tidak lagi sekedar menjadi gangster jalanan yang hanya membawa parang dan pisau."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara.
"Sekarang kita sudah siap untuk merebut pelabuhan itu dari Naga Besi."
Sorakan kecil mulai terdengar dari barisan belakang.
Surya melanjutkan, "Saatnya kita berburu."
Teriakan kemenangan mulai membahana, tetapi kali ini, bukan hanya semangat yang membara—ada juga rasa takut yang mengintai di sela-selanya.