Chereads / Penguasa Pelabuhan Utara / Chapter 6 - Siska

Chapter 6 - Siska

Sementara itu sisi lain gudang, di ruang ganti privat yang disediakan khusus untuk Adrian, ia mengusap wajahnya dengan handuk, setelah pertarungan brutal yang baru saja ia menangkan. Cahaya lampu redup di ruang ganti memberikan bayangan lembut di otot-ototnya yang tegang, keringat yang masih menempel di kulitnya memantulkan kilauan samar. Ruangan ini, meskipun terpisah dari ruang ganti petarung lain, tetap terasa pengap oleh hawa panas yang tertinggal dari atmosfer arena.

Langkah kaki ringan terdengar memasuki ruangan. Siska, dengan senyum khasnya yang selalu tampak seperti perpaduan antara kepolosan dan keisengan, berdiri di ambang pintu.

"Wah, kamu selalu hebat seperti biasa, Bang," ucapnya, nada suaranya ringan namun menyiratkan kekaguman yang lebih dalam dari sekadar pujian biasa.

Adrian menoleh, sorot matanya yang biasanya tajam kini sedikit melunak saat menatap gadis itu. Siska tampak begitu kontras dengan lingkungan ini, seolah ia adalah lukisan indah yang terselip di antara mural-mural jalanan yang kasar dan penuh coretan. Kaus putih ketatnya melekat sempurna di tubuhnya yang ramping, memperlihatkan garis lembut pinggangnya yang kecil. Hotpants hitam yang dikenakannya membingkai kaki jenjangnya yang putih mulus, membuatnya tampak seakan tidak seharusnya berada di tempat sekotor ini.

Adrian menghela napas kecil, melemparkan handuk ke bahunya sebelum mengambil langkah menuju kamar mandi. "Aku harus mandi dulu, badan rasanya lengket banget."

Tanpa perlu diundang, Siska melangkah mengikuti, senyumnya semakin melebar. "Aku juga belum mandi, ikut dong," ucapnya setengah bercanda, matanya berbinar penuh kelicikan yang menggemaskan.

Adrian menoleh sebentar, bibirnya terangkat membentuk smirk khasnya. "Ayo sini," sahutnya ringan, tanpa sedikit pun keraguan.

Siska tertawa pelan sebelum melepas kausnya, memperlihatkan singlet tipis yang hampir transparan karena keringat. Udara yang mulai dingin membuat putingnya sedikit menonjol di balik kain, menambah kesan menggoda yang tak dibuat-buat. Adrian memperhatikannya dengan tatapan tenang, seolah pemandangan ini bukanlah sesuatu yang asing baginya.

Hotpants hitamnya menyusul terjatuh ke lantai, memperlihatkan kulitnya yang putih bersih, begitu kontras dengan lantai beton kasar di bawahnya. Tanpa canggung, ia menarik turun celana dalamnya sekaligus, lalu melangkah ke dalam bilik shower di mana Adrian telah lebih dulu menyalakan air.

Saat air hangat mulai mengalir di antara tubuh mereka, atmosfer berubah. Bukan lagi sekadar canda atau kebiasaan, tapi sesuatu yang lebih dalam. Adrian menatap Siska yang kini berdiri di bawah pancuran, air mengalir dari ujung rambutnya, menetes di sepanjang leher jenjangnya, menyusuri tulang selangka yang menonjol indah sebelum hilang di antara kulitnya yang basah.

Siska memiringkan kepala, matanya menatap Adrian dari balik helaian rambut yang menempel di wajahnya. "Aku selalu penasaran," bisiknya lirih, hampir seperti gumaman yang sengaja dibiarkan menggantung di udara.

Adrian menyipitkan mata, bibirnya melengkung dalam senyum samar. "Penasaran apa?"

Siska tidak langsung menjawab. Ia justru mendekat, jarak di antara mereka semakin menipis. Tangan kecilnya terangkat, menyentuh dada Adrian yang masih basah, merasakan detak jantung yang masih teratur di balik kulit hangatnya.

"Penasaran… bagaimana rasanya ada di duniamu, benar-benar ada di dalamnya, bukan hanya mengamati dari luar," jawabnya, suaranya nyaris tenggelam dalam suara air yang jatuh menghantam lantai.

Adrian mengangkat alis, matanya mengunci ke dalam mata gadis itu, mencari sesuatu di sana—sebuah kesungguhan, atau mungkin tantangan tersembunyi. Ia tahu Siska bukan gadis biasa, dan dia juga tahu bahwa ada lebih banyak hal di balik setiap kata-kata yang diucapkannya.

Siska tersenyum kecil, jemarinya yang masih basah mengguratkan jejak ringan di sepanjang dada Adrian, turun perlahan ke perutnya yang berlekuk tajam. "Mungkin aku hanya ingin merasakan… sejenak," katanya, kali ini lebih pelan, hampir seperti ajakan samar yang dibiarkan menggantung tanpa jawaban.

Adrian tak langsung bereaksi. Ia membiarkan keheningan mengambil alih, membiarkan air yang terus mengalir menambah ketegangan yang menggantung di udara. Matanya tetap menatap gadis di hadapannya, mencoba memahami, atau mungkin menikmati cara Siska bermain dengan api.

"Kau tahu," gumam Adrian akhirnya, suaranya dalam dan tenang, "sekali kau masuk ke dunia ini, tak ada jalan keluar."

Siska terkekeh, nada suaranya ringan namun menyimpan sesuatu yang lebih dalam. "Siapa bilang aku ingin keluar?"

Di bawah pancuran yang masih mengalir, keduanya berdiri dalam keheningan yang sarat makna. Ruangan kecil itu seakan menjadi dunia mereka sendiri, terpisah dari gemuruh arena di luar sana. Hanya ada panas, bukan dari air yang mengalir, tapi dari ketegangan yang tak terlihat namun begitu nyata di antara mereka.

Adrian bersandar pada dinding kamar mandi, membiarkan aliran air hangat mengguyur tubuhnya yang berotot dan dipenuhi bekas pertarungan. Nafasnya masih sedikit memburu, bukan karena kelelahan, tetapi karena kehadiran Siska yang kini berdiri di depannya. Uap panas memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer yang samar dan intim.

Siska melangkah mendekat, air membasahi kulitnya yang pucat, membuatnya tampak seolah berkilau di bawah pancaran lampu redup. Rambut pendeknya basah, helai-helainya menempel di leher jenjangnya yang menggoda. Ia tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum tipis, matanya menelusuri setiap lekuk tubuh Adrian dengan ketertarikan yang tak ia sembunyikan.

"Kamu selalu menang, Adrian," gumamnya lirih, jemarinya dengan sengaja menyentuh lengan pria itu, menelusuri otot-otot yang tegang di bawah kulit. "Apa rasanya selalu berada di atas? Selalu memegang kendali?"

Adrian menurunkan pandangannya, sorot matanya tajam, meneliti ekspresi Siska. "Menarik pertanyaan itu darimu," jawabnya dengan suara rendah, serak karena panas uap air. "Kenapa? Kamu ingin tahu rasanya?"

Siska mengangkat bahu, sedikit menggigit bibir bawahnya sebelum kembali melangkah lebih dekat. Jarak di antara mereka semakin menyempit, hampir tidak ada ruang tersisa. "Mungkin... aku penasaran bagaimana rasanya berada di bawah kendalimu."

Sebuah tantangan. Sebuah permainan.

Adrian tertawa kecil, bukan karena geli, tetapi karena ia tahu betul permainan ini. Ia mengangkat dagu Siska dengan dua jarinya, memaksa gadis itu menatapnya lebih dalam. Mata mereka saling mengunci, seperti dua pemangsa yang menilai satu sama lain, mencari celah untuk menguasai.

"Penasaran, ya?" bisiknya, suaranya begitu dekat, nyaris menyatu dengan suara gemericik air. "Tapi kamu bukan tipe yang mudah menyerah. Aku bisa melihat itu di matamu."

Siska tidak mengelak, tidak menjauh. Ia justru mendekat, aroma sabun dan tubuhnya yang basah bercampur dengan aroma maskulin Adrian yang semakin menusuk inderanya. Ketegangan semakin menebal di antara mereka, dan di dalam ruang sempit itu, udara terasa lebih berat, lebih intens.

"Siapa bilang aku mau menyerah?" jawab Siska akhirnya, suaranya pelan, namun sarat dengan tantangan.

Adrian tersenyum miring, matanya berkilat penuh ketertarikan. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, kita lihat siapa yang bisa bertahan lebih lama dalam permainan ini."

Ia tidak langsung menyentuhnya. Tidak terburu-buru. Tidak tergesa-gesa. Karena bagian terbaik dari permainan ini bukanlah akhirannya, tetapi ketegangan yang mereka bangun perlahan, sedikit demi sedikit, hingga semuanya mencapai puncaknya dengan cara yang tak terduga. Permainan dominasi dan kepasrahan, tarik dan ulur, antara godaan dan kendali. Sebuah tarian tanpa musik, tapi dengan ritme yang hanya mereka berdua pahami.