Langit malam menggelap sempurna, menyelimuti hutan dalam kesunyian mencekam. Samsul berlari kesana kemari di sebuah hutan yang luas, dia menemukan bunker kosong, dan penasaran apa yang didalamnya.
Ketika dia memasuki bunker tersebut, samsul melihat berbagai pintu yang sangat banyak, mungkin puluhan, ratusan atau ribuan. Ketika samsul berkeliling di bunker tersebut, dia melihat ada satu pintu pertama yang terlihat tua dan berkarat walaupun terlihat biasa saja, namun ada sesuatu tentangnya yang membuat udara terasa berat. Di balik pintu itu, ia merasa ada sesuatu yang menunggunya ketakutan, atau mungkin sesuatu yang jauh lebih buruk.
la menarik napas panjang, dan mencoba menenangkan dirinya.
"Apa pun yang ada di balik pintu ini, aku harus menghadapinya," pikirnya Dengan tangan gemetar, ia berusaha mendorong pintu yang cukup berat itu agar terbuka, menimbulkan suara derit yang menggema dalam kehampaan.
Langkah pertama ke dalam pintu itu, samsul merasakan ruangannya membawa hawa dingin yang langsung menusuk tulang. Samsul melihat sebuah koridor panjang dan gelap terbentang di depannya, dinding-dindingnya penuh retakan, sementara lantainya terasa lembap. Cahaya samar dari luar tidak mampu menembus kegelapan koridor ini. Setiap langkah Samsul menggema, seolah ada yang mengawasi dari balik bayangan dirinya.
la mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa takut perlahan menyusup. Jantungnya berdegup kencang. "Jangan berhenti," bisiknya dalam hati. "Ketakutan ini tidak akan hilang kalau aku tidak bergerak."
Namun, koridor itu terasa tidak berujung, seolah waktu melambat di dalamnya. Saat ia melangkah lebih jauh, suara-suara mulai terdengar. Desiran angin, gemerisik yang samar, seperti napas makhluk yang bersembunyi di kegelapan. Samsul terus melangkah, meski setiap serat tubuhnya ingin lari.
"Aku seharusnya mengajak temanku kesini sebelum memasuki pintu itu, eh iya aku kan gak punya temen ehe" gumam samsul, sambil mencoba menghilangkan rasa takutnya dengan lelucon. Dia terus melangkah sambil mengawasi jika sesuatu terjadi terhadap dirinya.
Selama perjalanan, Koridor itu akhirnya membuka dirinya, memperlihatkan sebuah ruangan besar dengan pintu yang sudah hancur dan dinding yang retak-retak. Di dalam ruangan itu, semuanya tampak kacau-meja terbalik, puing-puing berserakan, dan lantai penuh bercak darah tua.
Samsul menatap sekeliling, mencoba memahami apa yang terjadi di tempat ini. "Apakah didunia ini sedang ada peperangan, atau sudah selesai?" Ucap samsul di pikirannya, melihat bekas kehancuran. Dinding-dindingnya terlihat seperti dihantam oleh kekuatan besar, dan suasana ruangan ini seperti membawa kenangan buruk yang tak pernah selesai.
la melangkah lebih dalam, meski kakinya terasa berat. Setiap sudut ruangan seolah mengawasinya. Ada sesuatu yang tidak beres. la bisa merasakannya.
Tiba-tiba, sebuah suara menggelegar dari belakangnya. "GRAWWRRR!"
Samsul menoleh dengan cepat, matanya membelalak. Dari kegelapan, muncul sesosok tikus raksasa, sebesar tubuh manusia. Bulunya kotor, matanya menyala merah, dan mulutnya dipenuhi taring tajam yang meneteskan cairan beracun, mahluk itu menggeram rendah memamerkan kekuatan yang mengerikan.
Samsul mundur, jantungnya berdetak tak terkendali. la tahu ini bukan makhluk biasa. Napasnya memburu, dan pikirannya hanya menawarkan dua pilihan: lari atau bertarung.
Sudah jelas dia memilih yang paling masuk akal. Lari.
"Nigerundayo!!!"
Makhluk itu mengejarnya dengan kecepatan yang tidak wajar, kakinya menghentak lantai dengan suara berat yang menggema di sepanjang lorong. samsul berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari makhluk itu. Tapi tikus raksasa itu semakin mendekat, napas panasnya hampir terasa di leher Samsul.
Di tengah pelariannya, Samsul melihat sesuatu di lantai-sebilah pisau tua yang tergeletak di antara puing-puing. la langsung meraihnya tanpa berpikir panjang. Kini, insting bertahan hidupnya berbicara. Jika ia tidak melawan, ia pasti mati.
"LAKUKAN ATAU MATI!!" Samsul berhenti, membalikkan tubuhnya, dan memegang pisau itu dengan erat. Matanya berfokus pada makhluk yang melompat ke arahnya dengan mulut terbuka lebar, siap untuk menerkam.
"AAARGHH!" Samsul berteriak, menusukkan pisau itu ke leher makhluk tersebut. Tikus itu mengerang keras, darah gelap memancar dari lukanya, membasahi lantai yang penuh debu. Makhluk itu berjuang beberapa saat sebelum akhirnya tumbang, tubuhnya berguling ke samping dengan suara berat.
"Akhirnya..., Tikus macam apa ini? badannya besar sekali bahkan tingginya hampir setara manusia, macam tak betul dunia ini" Samsul berdiri di sana Sambil menatap tikus itu, Dia terengah-engah, darahnya masih mendidih. Tangannya gemetar saat ia melepaskan pisau itu. Namun, sebelum ia bisa merasakan lega, keheningan mencekam kembali menyelimuti ruangan. Udara terasa lebih berat dari sebelumnya, dan ia tahu ini belum berakhir.
Dengan langkah cepat, Setelah memastikan tikus itu benar-benar mati, Samsul menyusuri ruangan dengan waspada, berharap menemukan sesuatu yang berguna untuk bertahan hidup. Samsul meninggalkan ruangan itu, dan terus berjalan melewati koridor yang kini terasa lebih sempit. Akhirnya, ia keluar dari bangunan tua itu dan mendapati dirinya berada di dunia luar yang terasa asing.
Langit di atasnya masih gelap, penuh dengan awan hitam yang bergerak lambat terlihat seperti kabut tebal. Tanah di sekelilingnya hancur, pohon-pohon tumbuh bengkok dengan bentuk yang tak wajar, dan angin membawa aroma kematian yang menusuk.
"Pohon-pohon yang terlihat cukup unik, dan bau darah yang cukup pekat, sepertinya aku harus membuat masker menggunakan perban" samsul membuat masker dengan menggunakan perban, walaupun ada bagian yang terbuka seenggaknya hidungnya tetap tertutupi "Ini perban bikin aku makin sesak aja. Kalau gak nemu masker beneran, aku bakal pingsan sama bau ini duluan," keluhnya sambil melempar perban seadanya.
Samsul terus berjalan, melewati beberapa rumah atau gedung yang sudah kosong dan hancur lebur. sampai tubuh samsul merasakan kelelahan karena perjalanan yang tak bertujuan. Samsul memasuki hutan dekat perumahan yang dia lihat sekitar cukup jauh dari gedung, tempat samsul pertama kali buka pintu itu. hingga akhirnya ia menemukan sebuah gubuk kecil di tepi sungai. Gubuk itu terlihat damai, kontras dengan kekacauan yang baru saja ia alami. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam gubuk itu dan duduk di sudut, mencoba mengatur napasnya dan tertidur karena kelelahan saat perjalanan tanpa tujuan itu.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Ketika samsul terbangun dari tidur, ia melihat keluar dari jendela, sesuatu yang besar muncul di kejauhan. Di balik hutan lebat, berdiri sebuah mansion tua yang megah namun menyeramkan. Bangunan itu menjulang tinggi, dengan jendela-jendela gelap yang seolah mengawasinya.
Hati Samsul kembali berdegup kencang. Ada sesuatu tentang mansion itu yang menariknya, meski ia tahu betul itu bukan tempat yang aman. Di dalamnya, ia yakin, ada ketakutan yang jauh lebih besar dari apa yang baru saja ia hadapi.
"Bayangan mansion itu tampak melayang di atas hutan lebat, dengan jendela yang seperti mata gelap mengintip langsung ke jiwanya. Cahaya bulan yang suram membuat pilar-pilar usangnya terlihat seperti tulang belulang yang mencuat dari tanah." gumamnya, menatap mansion itu dengan perasaan bercampur antara takut dan penasaran. la tahu ia tidak bisa menghindar. Pintu pertama sudah terbuka, dan pintu-pintu berikutnya akan menunggu.
To be continued