Samsul melangkah keluar dari kamar dengan hati-hati. Dia menoleh ke arah lorong yang gelap, samar-samar masih bisa melihat bayangan Maya dan Rina yang semakin menjauh. Setelah memastikan mereka sudah cukup jauh, dia memutuskan untuk berjalan ke arah yang berlawanan.
Langkah kakinya menggema di lantai kayu tua yang berderit pelan. Udara di dalam mansion terasa semakin dingin, menyelimuti tubuhnya dengan aura ketidaknyamanan. Setiap lorong yang dilewatinya terasa kosong dan sunyi, seolah-olah tidak ada kehidupan di dalamnya. Samsul mencoba membuka setiap pintu kamar yang dia temui, berharap menemukan seseorang yang mungkin masih hidup dan terjebak di tempat ini. Namun, hasilnya nihil.
"Tidak ada siapa-siapa... Apa mungkin hanya kami bertiga yang tersisa di sisi ini?" pikir Samsul dengan gelisah.
Makin dalam dia masuk ke dalam mansion, makin terasa aura mengerikan yang merayap di sekelilingnya. Ketenangan yang mencekam membuat dadanya semakin sesak. Jantungnya berdetak lebih cepat, tubuhnya mulai merasakan dingin yang bukan berasal dari suhu ruangan, melainkan dari ketakutan yang semakin merayap masuk.
Saat sampai di pertigaan lorong, Samsul tiba-tiba melihat seekor kucing hitam berlari dengan sangat kencang melintasi lorong di hadapannya.
"Apa yang terjadi? Kenapa kucing itu lari sekencang itu?" Samsul bertanya dalam hati, merasakan firasat buruk menyelimutinya.
Dia menelan ludah dan mencoba tetap tenang. Meskipun ketakutan mulai merayapi pikirannya, dia tetap maju perlahan, menelusuri lorong dengan langkah hati-hati. Namun, semakin jauh dia melangkah, semakin kuat aura mengerikan yang dia rasakan.
Dan saat dia menoleh ke depan
Monster itu ada di sana lagi.
Samsul membelalak. Tubuhnya menegang seketika. Monster yang mereka hindari sebelumnya kini berdiri di tengah lorong, siluetnya tampak semakin menyeramkan dalam kegelapan.
"Tidak... Tidak mungkin! Kenapa dia ada di sini?!" Samsul langsung berbalik, berniat menjauh dengan cepat.
Monster itu bergerak lambat, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Saat Samsul berjalan menjauh dengan harapan bisa menghindarinya, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya seakan membeku.
Akar panjang mulai menjulur dari tubuh monster itu.
Panjangnya sekitar empat hingga lima meter, menjalar di sepanjang lantai dengan kecepatan yang tidak bisa dianggap remeh. Samsul langsung panik. Jika dia tetap berjalan santai, akar itu bisa saja melilitnya dalam sekejap.
"Sial! Aku harus lari!"
Samsul langsung berlari secepat mungkin, menghindari akar-akar yang mencoba menangkapnya. Meskipun tubuh monster itu bergerak lambat, serangannya jauh lebih cepat dari yang dia bayangkan. Akar-akar itu menghantam dinding dan lantai, membuat suara gemuruh yang menambah ketegangan.
Samsul terus berlari, melewati beberapa lorong hingga akhirnya dia sampai di sebuah ruang tamu yang sangat luas. Di tengah ruang tamu, terdapat meja besar dengan taplak panjang yang menjuntai ke lantai. Tanpa berpikir panjang, Samsul langsung merunduk dan bersembunyi di bawah meja, berharap monster itu tidak menemukannya.
Napasnya memburu, dada naik turun dengan cepat. Dia mencoba mengatur pernapasannya agar tidak bersuara terlalu keras.
Namun, waktu terus berlalu, dan monster itu tidak pergi.
Samsul mulai merasa panik. Biasanya, makhluk semacam ini akan pergi jika kehilangan jejak mangsanya. Tapi monster ini? Seolah-olah dia tahu bahwa Samsul ada di sini.
"Kenapa dia masih di sini...? Apa dia bisa merasakan keberadaanku?" pikirnya dengan ngeri.
Samsul mencoba berpikir keras. Jika dia tetap diam terlalu lama, mungkin dia tidak akan pernah punya kesempatan untuk kabur. Namun, jika dia bergerak dan monster itu masih di sekitar sini, itu bisa menjadi akhir baginya.
BRAK!
Samsul hampir berteriak saat mendengar suara keras di belakangnya. Detak jantungnya langsung melonjak, pikirannya dipenuhi ketakutan. Dia berpikir monster itu menemukannya, bahwa ini adalah akhir baginya.
Namun, saat dia mengintip dengan hati-hati dari bawah meja.
Seekor kucing hitam muncul dari balik lemari, menjatuhkan vas tua yang pecah berkeping-keping di lantai.
Samsul menghela napas panjang, antara lega dan frustasi.
"Astaga... Hampir saja aku mati ketakutan gara-gara kucing ini."
Dia perlahan keluar dari tempat persembunyiannya, memastikan bahwa monster itu benar-benar sudah pergi. Setelah memeriksa sekeliling dan memastikan situasi aman, Samsul menatap kucing hitam itu yang kini duduk di dekatnya, menatapnya dengan mata tajam yang mencerminkan sesuatu yang aneh.
Samsul berlutut dan mengulurkan tangannya, membelai kepala kucing itu perlahan.
"Kau juga sendirian di sini, huh?" bisiknya.
Kucing itu mengeong pelan, seakan mengerti kata-katanya.
Samsul mempertimbangkan sejenak untuk membawa kucing itu bersamanya, tetapi kemudian dia sadar, dia tidak bisa berlama-lama di sini. Maya dan Rina masih di luar sana, mungkin dalam bahaya. Jika dia tidak bergerak sekarang, mereka mungkin tidak akan selamat.
Dengan berat hati, dia berdiri, meninggalkan kucing itu, dan kembali melangkah ke dalam kegelapan mansion yang masih menyimpan banyak misteri.
Samsul terus melangkah menyusuri lorong panjang yang remang-remang, matanya awas mengamati setiap sudut ruangan. Langkahnya terdengar menggema di keheningan, menciptakan suasana semakin mencekam. Dia tetap waspada, mencari tanda-tanda kehidupan di antara kegelapan yang mengelilinginya.
Namun, di tengah pencariannya, Samsul tiba-tiba melihat bayangan seseorang di ujung lorong.
Dengan sigap, dia langsung mengangkat pistolnya, berjaga-jaga terhadap kemungkinan ancaman yang ada.
"Siapa di sana?!" serunya tegas, menodongkan senjatanya ke arah sosok misterius tersebut.
Sosok itu berhenti sejenak, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang terdengar familiar.
"Apakah... kau Samsul?"
Samsul menurunkan sedikit senjatanya, mencoba melihat lebih jelas. Dan saat cahaya samar dari lampu gantung menerangi wajah mereka, Samsul akhirnya mengenali orang-orang itu.
Mereka adalah tentara dari Squad A, salah satu tim yang bekerja di bawah komando Pak Sobari.
Pak Sobari sendiri adalah seorang pemimpin militer berpengalaman yang telah banyak membantu Samsul dalam beberapa hal, termasuk mengajarinya teknik bertahan hidup dan memberinya beberapa peralatan serta senjata.
Samsul menghela napas lega dan menurunkan pistolnya sepenuhnya.
"Aku kira kalian monster," katanya, masih merasakan sisa ketegangan dalam tubuhnya.
Pemimpin Squad A, seorang pria dengan tubuh kekar dan ekspresi serius, mengangguk.
"Kami juga terjebak di sini, sama sepertimu. Tapi kami berhasil bertahan dan menemukan beberapa anggota lainnya. Beberapa squad sudah berhasil selamat dan berkumpul. Termasuk Pak Sobari, meskipun dia terluka cukup parah akibat serangan monster itu."
Mendengar nama Pak Sobari, Samsul langsung teringat sesuatu. Dia pernah mengambil beberapa perban dan obat-obatan sebelumnya. Dengan cepat, dia membuka tasnya dan melihat isinya.
"Aku punya beberapa obat-obatan dan perban. Ambil saja, anggap ini sebagai balas budi karena Pak Sobari pernah mengajarkanku banyak hal," ujar Samsul sambil menyerahkan persediaan medis itu kepada mereka.
Pemimpin Squad A menerima dengan senyum tipis.
"Terima kasih, sobat. Kau menyelamatkan kami. Jika kau butuh bantuan, kami akan selalu ada untukmu."
Samsul hanya mengangkat bahu.
"Sudahlah, santai saja."
Pemimpin Squad A menatapnya sejenak sebelum berkata, "Kau mau ikut denganku? Kita akan bertemu dengan ketua pleton, Pak Sobari."
Samsul berpikir sejenak, lalu mengangguk.
"Baiklah, ayo kita pergi."
Mereka lalu berjalan menyusuri lorong yang gelap dan berdebu, menuju kamar tempat Pak Sobari dirawat. Ruangan itu cukup luas, dengan tempat tidur sederhana dan beberapa peralatan medis darurat yang diletakkan di sudut.
Saat mereka masuk, Pak Sobari menoleh dan tersenyum tipis. Meskipun terluka, dia tetap terlihat berwibawa.
"Oh, Samsul. Kau masih hidup rupanya," katanya dengan nada bercanda. "Bagaimana kabarmu? Jangan bilang kau membawa monster ke sini."
Samsul tertawa kecil.
"Tentu saja tidak," balasnya dengan nada yang sama.
Mereka berdua tertawa sebentar, tetapi suasana cepat berubah menjadi serius ketika pemimpin Squad A menyerahkan obat-obatan yang dibawa Samsul.
"Pak, kami berhasil menemukan beberapa perban dan obat-obatan. Semuanya diberikan oleh Samsul."
Pak Sobari menatap Samsul dengan penuh penghargaan.
"Terima kasih, Nak. Ini sangat membantu."
Samsul mengangkat bahu. "Santai saja, Pak Tua. Kau sudah banyak membantuku, sekarang giliranku yang membantu."
Beberapa tentara segera bekerja merawat luka Pak Sobari. Sayatan di punggungnya tidak terlalu dalam, tetapi tetap cukup parah untuk membuatnya kesulitan bergerak.
Saat mereka selesai, Pak Sobari menghela napas panjang.
"Akhirnya selesai juga. Tapi aneh... sudah pagi, tapi dunia ini seakan-akan tidak membiarkan kita keluar."
Salah satu tentara mengangguk dan menambahkan, "Benar, biasanya ketika pagi menjelang, dunia ini akan kembali seperti semula. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa."
Pak Sobari menatapnya tajam. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Tentara itu menelan ludah, sedikit gugup. "Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, Komandan. Ketika pagi tiba, saya tiba-tiba tertidur pulas, seakan-akan kelelahan yang sangat parah. Dan anehnya, meskipun mansion ini terlihat sama, ada sesuatu yang terasa berbeda. Selain itu, saya pernah mendengar suara teriakan pada jam dua malam. Seorang pria bangsawan pernah berkata 'Jangan keluar saat jam dua malam.' Saya tidak tahu apakah itu suara hantu atau monster..."
Pak Sobari mengangguk pelan, merenungkan informasi itu.
"Begitu ya... Jadi sejak awal, kita memang sudah terjebak di sini."
Tentara itu mengangguk dengan cepat. "Benar, Pak!"
Samsul mendengarkan percakapan mereka dengan seksama. Semakin lama dia berada di tempat ini, semakin banyak misteri yang terungkap.
Namun, dia tidak punya waktu untuk duduk diam dan merenungkan semuanya.
"Baiklah, Pak Tua. Aku izin pergi dulu untuk mencari lebih banyak orang yang selamat."
Pak Sobari menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
"Kalau begitu, pergilah bersama pemimpin Squad A dan rekan-rekannya. Kalian akan lebih aman jika bergerak dalam kelompok."
Samsul setuju dan segera keluar bersama Squad A. Mereka terus berjalan menyusuri mansion yang seakan tak berujung, mencari siapa saja yang mungkin masih bertahan.
Namun tiba-tiba...
"ARGHHHH!!!"
Suara teriakan yang sangat keras menggema dari lorong di depan mereka.
Samsul dan Squad A langsung berhenti, tubuh mereka menegang.
"Apa yang terjadi di sana?"****"
Mereka saling berpandangan, menyadari bahwa hanya ada dua kemungkinan.
Apakah itu seseorang yang selamat?
Atau justru monster yang sedang mengintai...
Tanpa ragu, mereka maju bersama, memastikan apa yang ada di depan sana...
To be continued...