Malam itu begitu sunyi, hanya suara angin yang berdesir melalui celah jendela mansion tua ini. Samsul masih teringat kejadian sebelumnya, saat bangsawan yang mereka temui tiba-tiba mengucapkan kata-kata yang cukup ambigu.
"Maafkan aku, Samsul..." ucap bangsawan itu dengan nada yang terdengar berat, seolah ada sesuatu yang disesalinya.
Samsul menatap pria itu dengan penuh tanda tanya, mencoba memahami maksud dari permintaan maafnya. Namun, yang lebih membuatnya merasa tidak nyaman adalah kalimat selanjutnya.
"Seharusnya bukan dia yang mati..."
Hati Samsul berdegup lebih kencang. Kalimat itu menyiratkan sesuatu yang mengerikan. Apakah ada seseorang yang seharusnya mati? Jika iya, siapa yang dimaksud? Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Dani sudah lebih dulu meninggalkan ruangan dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Samsul menghela napas panjang. Ada sesuatu yang janggal di tempat ini, sesuatu yang tidak ia pahami. Dengan perasaan waspada, ia memasuki kamarnya, lalu menutup pintu rapat-rapat. Ia merasa perlu berjaga-jaga, sebab apa pun bisa terjadi di mansion ini.
Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju tempat tidurnya. Namun, sebelum benar-benar merebahkan diri, ia mengambil kapak dan pisau, lalu meletakkannya di samping kasur. Jika sesuatu yang buruk terjadi, setidaknya ia memiliki alat untuk melawan. Ia tidak bisa lengah, terutama setelah mendengar kata-kata misterius dari bangsawan tadi.
Setelah memastikan semuanya dalam keadaan aman, Samsul akhirnya berbaring. Namun, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi perasaan gelisah membuat tidurnya tidak nyenyak.
Suasana pagi di mansion itu jauh dari kata damai. Samsul terbangun karena suara ribut yang terdengar dari luar kamarnya. Ia segera bangkit, mengenakan pakaian, lalu keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Begitu membuka pintu, ia langsung melihat pemandangan yang mengejutkan. Seorang pria tua pemimpin tentara yang mengawal tempat ini tengah mencengkeram kerah bangsawan dengan ekspresi penuh amarah.
"MENGAPA PRAJURITKU ADA YANG MATI!?" bentak pria tua itu dengan suara yang menggema di seluruh ruangan. "JELASKAN APA MAKSUDNYA INI!?"
Bangsawan itu tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. Wajahnya tetap tenang, tetapi sorot matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Dengan suara lembut, ia menjawab, "Maafkan aku, aku tidak tahu ini akan terjadi. Tetapi bukankah sudah kuperingatkan kepada kalian, agar tidak keluar pada jam 2 malam?"
Pak tua itu melepaskan cengkeraman tangannya, meskipun amarah masih jelas terlihat di wajahnya. Ia mencoba mengendalikan emosinya dan berbicara dengan nada yang sedikit lebih tenang.
"Kalau begitu jelaskan, mengapa bisa ada orang meninggal? Dan apa maksudnya jangan keluar jam 2 malam?" tanyanya, kali ini dengan lebih terkendali.
Sebelum bangsawan itu sempat menjawab, tiba-tiba seorang gadis muda adik dari bangsawan itu muncul dari belakang dengan wajah pucat. Tatapan matanya dipenuhi ketakutan saat ia bertanya dengan lirih, "Kakak… apa maksudnya ini?"
Samsul memperhatikan bahwa gadis itu tampak gemetar. Seakan-akan ia sudah mengetahui sesuatu yang mengerikan, tetapi tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya.
Bangsawan itu menundukkan kepalanya, tampak menyesal. Dengan nada penuh kesedihan, ia berkata, "Maafkan aku, seharusnya aku lebih berhati-hati lagi..."
Adik bangsawan itu kemudian melangkah maju dan berbicara kepada para tentara dengan suara yang lembut, tetapi penuh ketulusan.
"Untuk kalian semua, wahai para tentara, aku meminta maaf atas kecerobohan kami. Kami benar-benar tidak berniat mencelakai siapa pun. Sebagai bentuk permintaan maaf kami, kami akan memberikan kompensasi yang setimpal."
Mendengar kata-kata tersebut, para tentara yang awalnya dipenuhi kemarahan tampak mulai melunak. Mereka saling bertukar pandang, seakan mempertimbangkan tawaran tersebut.
"Baiklah," kata salah seorang tentara setelah beberapa saat. "Tapi tolong, kuburkan teman kami dengan layak."
Adik bangsawan itu mengangguk dengan tulus. "Tentu saja. Kami akan memastikan dia mendapatkan penghormatan terakhir yang pantas, Tapi… bisakah kalian tetap tinggal di sini untuk menjaga kami?"
Setelah itu, pemimpin tentara, berbicara dengan tatapan yang tajam, ke bangsawan itu. "Kami akan pikirkan dulu apakah kami akan tetap tinggal di sini untuk menjaga kalian," katanya sebelum memimpin pasukannya pergi membawa mayat tentara yang gugur ke taman untuk dikuburkan.
Beberapa jam kemudian, Samsul duduk sendiri di taman, mengamati para tentara yang berkumpul dalam kelompok masing-masing. Mereka tampak berbicara dengan suara pelan, seolah-olah sedang membahas sesuatu yang serius.
Ia memperhatikan bagaimana para tentara itu tampak begitu kuat dan tangguh. Dibandingkan dengan mereka, ia merasa begitu lemah. Ia mengingat kembali perjalanan menuju mansion ini. Banyak hal berbahaya yang terjadi padanya, dan ia sadar bahwa dirinya masih jauh dari kata kuat.
Pertarungannya dengan tikus besar beberapa waktu lalu terasa seperti keberuntungan semata. Jika saja ia melakukan sedikit kesalahan, atau jika tikus itu tidak sendirian, mungkin ia sudah mati saat itu juga.
Samsul menggenggam tangannya erat. Ia tidak ingin terus-menerus menjadi orang yang lemah. Ia ingin bertahan hidup. Dan untuk itu, ia harus belajar dari mereka.
Dia ingin mendekati para tentara, meminta saran agar bisa bertahan hidup lebih baik, tetapi merasa ragu. Mereka sedang berduka… Apakah pantas baginya untuk bertanya hal seperti itu sekarang? Namun, jika ia tidak belajar, mungkin kesempatan hidupnya semakin kecil.
Dengan penuh tekad, ia akhirnya memberanikan diri untuk mendekati pemimpin tentara tersebut.
"Halo, perkenalkan, aku Samsul. Siapa nama Anda, Pak?" tanyanya dengan sopan.
Pria tua itu menatapnya sejenak sebelum tersenyum kecil. "Namaku Sobari. Ada apa, Nak?"
"Pak, bagaimana cara saya bisa bertarung dan memiliki fisik yang kuat seperti Anda?" tanya Samsul penuh semangat.
Mendengar pertanyaan itu, pria tua tersebut tertawa kecil, diikuti oleh beberapa tentara di sekelilingnya.
"Hahaha, apakah kau ingin menjadi kuat, Nak?" ujar Sobari. "Kalau begitu, mulailah dengan latihan fisik yang benar. Lakukan push-up dengan berbagai variasi, sit-up, crunch, pull-up, squat, atau jump squat sebanyak yang kau bisa. Tapi ingat, jangan terlalu memaksakan diri. Sesuaikan dengan kondisi tubuhmu."
"Apakah saya harus berlatih setiap hari?" tanya Samsul lagi.
"Minimal dua kali seminggu, maksimal enam kali seminggu. Sisakan satu hari untuk istirahat," jawab Sobari dengan bijak.
"Dan bagaimana cara saya belajar bertarung?"
Pak tua itu menatapnya dengan serius. "Aku bisa mengajarkanmu dasar-dasarnya. Kau tahu boxing, kickboxing, atau muay thai? Aku akan mengajari teknik dasarnya. Mulai dari kuda-kuda yang benar, lalu latihan pukulan jab, cross, hook, uppercut. Kemudian tendangan high kick, middle kick, low kick. Juga serangan lain seperti elbow strike dan knee strike. Lakukan minimal sepuluh kali per gerakan."
Samsul mengangguk penuh semangat. "P-paham, Pak!"
Setelah itu, Sobari memberinya beberapa perlengkapan dari prajurit yang sudah gugur helm pelindung, pelindung tangan, kaki, serta sebuah pistol dengan beberapa peluru.
Namun, sebelum Samsul pergi, pria tua itu berkata dengan serius, "Nak, berhati-hatilah di mansion ini. Kemungkinan besar kita sudah terjebak, dan kita tidak akan bisa keluar sampai menemukan jawabannya."
Samsul menatap pria tua itu dengan ekspresi serius. "Baik, Pak. Akan kuingat itu."
Pada pukul 02.00 pagi.
Suara itu kembali terdengar.
Tok... Tok... Tok...
Samsul terbangun dengan napas memburu. Matanya langsung tertuju pada pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tahu bahwa sesuatu atau seseorang sedang berdiri di baliknya.
Ketukan itu tidak hanya terdengar biasa, tetapi diiringi suara cakaran yang tajam dan kasar. Seakan makhluk itu tengah mencoba menerobos masuk.
Lalu suara itu terdengar...
Suara lirih, serak, dan penuh keanehan memanggil namanya dari luar kamar.
"Saaamssuulll..."
Jantungnya berdegup semakin kencang. Samsul buru-buru mengenakan perlengkapan yang diberikan oleh Pak Sobari—helm pelindung, sarung tangan, dan pelindung kaki. Ia juga meraih pistol yang diberikan kepadanya.
Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia berusaha tetap tenang. Jika makhluk itu berhasil masuk, ia harus siap menghadapi apa pun yang terjadi.
Namun, tiba-tiba...
Ketukan itu berhenti.
Hening.
Mencekam.
Tidak ada suara apa pun selain desiran angin dari celah-celah dinding mansion yang tua ini. Samsul menelan ludah, mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin makhluk itu telah pergi.
Namun sebelum ia bisa benar-benar bernapas lega...
BRAK! BRAK! BRAK!
Suara hantaman keras mengguncang pintu!
Samsul tersentak, mundur beberapa langkah dengan napas terengah-engah. Kali ini, makhluk itu tidak hanya mengetuk—tetapi mencoba mendobrak paksa pintunya!
Gagang pintu bergetar hebat, seolah-olah seseorang dari luar sedang mencoba memutarnya dengan paksa.
Samsul semakin ketakutan. Apa yang akan terjadi jika makhluk itu berhasil masuk?
Ia menggenggam erat pistolnya, bersiap untuk menembak jika diperlukan. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Pintu itu masih terus bergetar, suara hantaman semakin keras. Kayu-kayu tua di pintu mulai berderit, seakan tidak akan bertahan lama.
Samsul menatap pintu itu tanpa berkedip.
Lalu...
CIIITTT...
Suara mengerikan terdengar ketika pintu mulai terbuka perlahan. Engsel tua itu berbunyi nyaring, menambah suasana mencekam di ruangan.
Samsul menahan napas. Jari telunjuknya sudah siap di pelatuk pistol.
Pintu itu terbuka...
Perlahan...
Hingga akhirnya...
Samsul melihat sosok itu.
Ia membelalakkan mata, siap menembak.
Namun yang ia lihat bukanlah sosok mengerikan seperti yang ia bayangkan.
Yang berdiri di ambang pintu...
Adalah seekor kucing hitam.
Samsul terdiam.
Detak jantungnya yang tadinya berdegup kencang perlahan mulai mereda. Ia menatap kucing itu dengan ekspresi tercengang, masih sulit mempercayai apa yang terjadi.
Seekor kucing? Hanya seekor kucing?
Makhluk yang sedari tadi ia kira sebagai ancaman ternyata hanyalah kucing hitam yang tampak kurus dan sedikit kusam.
Kucing itu duduk di depan pintu, menatap Samsul dengan mata tajam berwarna kuning. Tidak ada ekspresi takut atau marah di wajahnya, hanya tatapan datar yang sulit diartikan.
Samsul menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
Ia memang menyukai kucing, dan jika situasinya tidak seseram ini, mungkin ia sudah langsung mengangkat kucing itu ke dalam kamarnya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu.
Ia tahu ada yang tidak beres dengan tempat ini.
Jika ia bergerak maju untuk mengambil kucing itu, apakah sesuatu akan menyergapnya dari kegelapan koridor?
Ataukah ini hanya sekadar kucing biasa yang tersesat di mansion tua ini?
Samsul tidak bisa memastikan.
Ia masih menatap kucing itu dengan waspada, mencoba membaca situasi. Namun sebelum ia bisa mengambil keputusan...
"AAARRGGGHHH!!"
Terdengar suara jeritan mengerikan dari kejauhan!
Kucing itu tersentak, bulunya berdiri, lalu segera berlari menjauh dari tempat itu, seakan-akan ada sesuatu yang mengejarnya.
Samsul langsung meraih gagang pintu dan menutupnya dengan cepat.
BRAK!
Ia bersandar di pintu, mencoba mengatur napasnya. Jantungnya kembali berdegup cepat.
Suara itu tadi... itu bukan suara manusia biasa. Itu adalah jeritan seseorang yang tengah mengalami penderitaan luar biasa.
Dan kemudian...
Samsul mendengar suara lain.
Kres... Kres... Kres...
Sebuah suara menyeret sesuatu di lantai.
Namun, suara ini berbeda.
Bukan suara sepatu atau langkah kaki biasa.
Melainkan suara yang lebih aneh... lebih menyeramkan...
Seperti suara sesuatu yang terbuat dari kayu dan dedaunan kering yang bergesekan di lantai.
Suara itu semakin mendekat...
Langkah-langkahnya terdengar berat... lambat... namun pasti.
Mendekat ke arah kamar Samsul.
Samsul menggenggam erat pistolnya.
Ia menatap pintu dengan mata penuh ketakutan.
Apa yang akan terjadi?
Apakah ia akan selamat?
Ataukah...
To be continued...