Samsul berdiri di depan pagar besi raksasa yang menjulang sekitar tiga meter. Malam itu sunyi, hanya suara angin yang berhembus pelan melewati pepohonan di sekitar. Mansion besar di depannya tampak megah namun menyeramkan. Cahaya bulan yang redup hanya memperjelas kesan kelam yang menyelimuti tempat itu.
Ia merapatkan jaketnya, mencoba menghalau hawa dingin yang menusuk. Tangannya sedikit gemetar ketika meraih lonceng besi yang tergantung di samping pagar dan membunyikannya.
Ding... Ding... Ding...
Suara lonceng itu menggema, menembus keheningan malam. Samsul menelan ludah, menunggu. Beberapa menit berlalu tanpa jawaban.
"Tidak ada orang, kah?" gumamnya pelan.
Namun, tepat ketika ia hendak berbalik pergi, sebuah suara dari dalam mansion membuatnya terpaku.
Ciiit...
Pintu depan mansion terbuka perlahan, menciptakan suara gesekan kayu tua yang mengiris keheningan. Dari dalam, seorang pria paruh baya muncul, berjalan dengan langkah pelan dan ekspresi waspada. Wajahnya tirus, matanya cekung, seakan pria itu sudah lama tidak tidur dengan tenang.
"Siapa Anda?" tanya pria itu dengan suara serak.
"Saya Samsul. Saya hanya seorang musafir yang kebetulan melewati tempat ini. Siapa nama Anda?"
Pria itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Dani. Aku penjaga mansion ini."
Dani menatap Samsul dengan tatapan penuh pertimbangan. Hening beberapa detik, lalu ia mengangguk.
"Silakan masuk."
Dengan sedikit keraguan, Samsul melangkah masuk. Begitu melewati pagar, udara terasa lebih berat, seakan ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Perasaan tidak nyaman mulai menjalar di tubuhnya.
Di kiri dan kanan, taman mansion tampak aneh. Awalnya terlihat seperti taman biasa, namun setelah diperhatikan lebih saksama, beberapa tanaman tampak bergerak seolah mengikuti langkahnya. Bunga-bunga berwarna gelap menggeliat perlahan seperti merespons kehadirannya.
Samsul menelan ludah.
Tiba-tiba...
TAP!
Seseorang menepuk pundaknya. Samsul tersentak, jantungnya hampir melompat keluar.
"Kenapa kau diam saja?" suara Dani terdengar dari belakangnya.
Samsul menoleh. Betapa terkejutnya dia saat menyadari bahwa dirinya sudah berdiri cukup jauh dari pintu masuk. Ia tidak ingat kapan kakinya melangkah sejauh itu.
"Berapa lama aku berdiri di sini?" gumamnya.
Dani tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan langkahnya menuju mansion, mengisyaratkan Samsul untuk mengikutinya.
Setibanya di depan pintu utama, Samsul kembali dibuat kagum sekaligus ngeri. Mansion ini luar biasa megah, tapi juga memancarkan aura kelam yang sulit dijelaskan.
Ketika pintu terbuka, interior yang menakjubkan tersaji di hadapannya. Lampu gantung kristal berkilauan di langit-langit tinggi, dinding dihiasi lukisan-lukisan tua yang tampak berdebu, dan lantai marmer memantulkan cahaya samar dari lilin-lilin yang berjajar di sepanjang koridor.
Namun, ada sesuatu yang mengganggu.
Lukisan-lukisan itu... matanya terasa seperti mengikuti pergerakan mereka.
"Samsul," panggil Dani. "Jangan terlalu lama menatap mereka."
Samsul mengangguk pelan, mengikuti Dani menuju ruang tamu. Di sana, seorang pria berdiri menunggu.
Pria itu mengenakan jas mewah dengan sulaman emas, wajahnya tajam dengan sorot mata yang sulit ditebak.
"Perkenalkan, aku Antonio," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Aku pemilik mansion ini."
Samsul sedikit gugup. "Saya Samsul, hanya seorang musafir yang kebetulan melewati tempat ini."
Antonio mengangguk. "Kalau begitu, anggaplah mansion ini sebagai tempat beristirahatmu malam ini."
Samsul menghela napas lega. Setidaknya, tuan rumah ini tampak ramah.
Namun, ketika ia melirik Dani, pria itu tampak semakin gelisah.
Ada sesuatu yang disembunyikan di tempat ini.
Makan malam pun disiapkan. Di meja panjang yang dipenuhi hidangan mewah, Samsul melihat beberapa tamu lain—tentara yang tampaknya juga menumpang di mansion ini.
Suasana awalnya tampak normal. Mereka berbincang, bercanda, dan menikmati makanan.
Namun, menjelang akhir makan malam, Antonio tiba-tiba berkata,
"Mansion ini memiliki satu aturan yang harus dipatuhi."
Semua orang menoleh padanya.
"Pada pukul 2 malam, apa pun yang terjadi, jangan keluar dari kamar kalian."
Hening.
Seorang tentara bertanya, "Apa alasannya?"
Antonio hanya tersenyum samar. "Demi keselamatan kalian."
Mereka tidak bertanya lagi.
Setelah makan malam, Samsul diantar ke kamarnya di lantai dua. Kamar itu besar dan mewah, tetapi tetap saja terasa mencekam.
Ia mencoba tidur, tetapi pikirannya terus dihantui oleh peringatan Antonio.
Lalu, tanpa sadar...
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan terdengar di pintu kamarnya.
Jantungnya berdegup kencang.
Ia melirik jam di meja. Pukul 2 malam.
Samsul menahan napas. Ia ingat peringatan Antonio—jangan keluar dari kamar.
Namun, ketukan itu semakin keras.
Tok... Tok... TOK!
Lalu terdengar suara berbisik, "Samsul... tolong aku..."
Itu suara Dani.
Samsul bingung. Haruskah ia membuka pintu?
Atau tetap berdiam diri seperti yang diperintahkan?
Tangannya bergerak menuju gagang pintu, tapi hatinya ragu.
Tiba-tiba...
BRUGGG!
Pintu kamar bergetar hebat, seakan sesuatu mencoba menerobos masuk.
Ketika Samsul melihat ke bawah pintu, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku—bayangan dengan bentuk yang tidak manusiawi.
Matanya membelalak.
Lalu...
Hening.
Semua suara menghilang.
Pintu kembali diam.
Samsul gemetar, mencoba menenangkan diri.
Ia menunggu hingga pagi tiba.
Ketika fajar menyingsing, ia memberanikan diri membuka pintu.
Lorong kosong.
Tapi di ujung lorong, ia melihat sesuatu yang membuatnya ingin berteriak.
Salah satu tentara yang semalam bersamanya... kini tergantung di langit-langit, matanya terbuka lebar, wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang luar biasa.
Dani berdiri tak jauh dari situ, menatap mayat itu dengan ekspresi ngeri.
Samsul menoleh ke arahnya, suaranya bergetar. "Apa yang terjadi di mansion ini...?"
Dani menghela napas panjang. "Aku sudah mencoba memberitahumu..."
"Mansion ini bukan sekadar tempat biasa. Malam ini... baru saja dimulai."
Samsul tidak bisa mengalihkan pandangannya dari tubuh tentara yang tergantung di langit-langit. Sorot matanya kosong, tapi tetap memancarkan ketakutan yang sulit digambarkan. Tubuh itu terayun pelan, seakan ruangan itu memiliki aliran angin yang tidak terasa.
Samsul berkata sedikit keras, mencoba melawan rasa takut yang mulai merayap, "Maksudnya apa ini, Dani?!"
Dani menggeleng dengan wajah penuh rasa takut. "Tempat ini... tidak seperti yang kau bayangkan," ucapnya dengan nada bergetar.
Samsul semakin bingung, tapi sebelum ia sempat bertanya lagi, sebuah suara keras memecah keheningan.
"Apa-apaan ini!! Apa yang terjadi dengan tentara itu?!"
Samsul dan Dani serempak menoleh. Antonio, pria bangsawan pemilik mansion, berdiri di ambang pintu dengan wajah marah bercampur cemas. Sorot matanya tajam seperti sedang mencari jawaban dari keduanya.
Dani tersentak kaget, wajahnya semakin pucat. Ia membisu, tidak berani menatap Antonio.
"DANI! SAMSUL!" suara Antonio bergema di ruangan besar itu. "SUDAH KUBILANG, JANGAN KELUAR DARI KAMAR SAAT TENGAH MALAM! KENAPA KALIAN MASIH BERKELIARAN?! APA KAU TIDAK MENGERTI BETAPA BERBAHAYANYA TEMPAT INI?!"
Dani terlihat gemetar, suaranya tercekat saat mencoba menjelaskan. "Maafkan aku, Tuan. Aku... aku mendengar suara aneh, jadi aku keluar untuk memeriksanya," ucap Dani dengan nada lirih.
Namun, Antonio memotong dengan nada penuh kemarahan, "SUDAH! JANGAN BICARA LAGI! KEMBALI KE KAMARMU, SEKARANG JUGA!"
Dani menunduk ketakutan, tanpa berani membalas sepatah kata pun. Ia berbalik, melangkah cepat keluar dari ruangan itu, meninggalkan Samsul yang masih berdiri terpaku di tempat.
"Samsul," suara Antonio terdengar lebih tenang kali ini, tetapi ada nada serius di dalamnya. "Kembali ke kamarmu. Ini adalah peringatan terakhirku. Jangan pernah melanggar aturan di mansion ini."
Samsul mengangguk pelan, tetapi rasa penasaran membara di dadanya. "Tapi... apa maksud semua ini? Kenapa orang itu..." Ia menunjuk ke arah tubuh tentara yang tergantung, tetapi Antonio menghentikannya.
"Maafkan aku, Samsul," kata Antonio dengan nada ambigu. "Seharusnya yang mati... bukan dia."
Kata-kata itu seperti duri yang menusuk pikiran Samsul. Ia tidak tahu apa maksud Antonio, tetapi firasat buruk mulai menghantuinya. Antonio berbalik dan meninggalkan ruangan itu, langkahnya berat tetapi penuh wibawa.
Samsul berdiri di sana beberapa saat, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, "Apa yang sebenarnya terjadi di mansion ini? Apa maksud ucapan Antonio tadi?"