Langit sore berwarna jingga keemasan, menyelimuti pantai kecil di kota tempat Mayra tinggal. Ia duduk di sebuah bangku taman, sibuk menggambar sketsa pemandangan laut yang selalu memberinya rasa tenang. Di tangan Mayra, pensil itu menari dengan lincah, mengabadikan ombak yang memecah di tepi pantai.
Namun, angin tiba-tiba berhembus kencang, menerbangkan kertas sketsanya. Mayra berdiri dan mengejar, tetapi kertas itu sudah terhenti di kaki seorang pria. Pria itu membungkuk, mengambilnya, lalu tersenyum.
"Ini milikmu?" tanya pria itu dengan suara ramah.
Mayra mendekat,ia merasa sedikit gugup. Pria itu memiliki mata cokelat yang hangat, rahang tegas, dan senyum penuh kharisma yang memikat. "Iya, terima kasih," jawab Mayra sambil menerima kertas itu.
"Aku Adrian," pria itu memperkenalkan diri, mengulurkan tangan.
"Mayra," balas Mayra sambil menjabat tangannya. Sentuhan itu terasa aneh, seolah ada energi yang mengalir di antara mereka.
"Aku baru saja melihatmu menggambar. Kamu seniman?" tanya Adrian.
Mayra menggeleng, sedikit tersipu. "Aku hanya suka menggambar. Bukan seniman profesional."
"Kamu punya bakat. Garis-garis di sketsa ini terlihat begitu hidup," kata Adrian sambil menunjuk gambar ombak yang tadi dikerjakan Mayra.
Mereka berbincang sebentar, dan Adrian mengungkapkan bahwa ia sedang berlibur di kota itu setelah merasa jenuh dengan pekerjaannya sebagai pengusaha. Percakapan itu mengalir dengan mudah, membuat Mayra merasa nyaman meskipun baru saja bertemu.
Kisah yang Tumbuh
Hari itu menjadi awal dari serangkaian pertemuan mereka. Adrian sering datang ke taman pinggiran pantai tempat Mayra menggambar, membawa kopi atau hanya duduk di dekatnya. Percakapan mereka selalu terasa hangat dan penuh tawa.
Suatu sore, Adrian mengajak Mayra berjalan-jalan di tepi pantai. Angin lembut bertiup, membawa aroma laut yang menyegarkan.
"Aku senang bisa mengenalmu, Mayra," kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan.
Mayra menoleh, terkejut. "Kenapa?"
"Kamu berbeda. Kamu punya cara melihat dunia yang sederhana tapi indah. Itu menginspirasiku," jawab Adrian dengan jujur.
Mayra tersenyum kecil, merasa tersanjung. "Aku juga senang bertemu kamu. Rasanya... seperti menemukan teman yang mengerti aku."
Adrian menghentikan langkahnya, berdiri di hadapan Mayra. "Aku ingin lebih dari sekadar teman, May."
Hati Mayra berdebar. Kata-kata Adrian terasa begitu tulus, tapi ia juga takut. "Adrian, kita baru saja saling mengenal. Aku... aku tidak tahu apakah aku siap."
Adrian menggenggam tangan Mayra, menatap matanya. "Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bagaimana perasaanku."
Malam itu, mereka berjalan pulang dengan perasaan yang campur aduk. Namun, ada benih cinta yang mulai tumbuh di antara mereka.
Cinta yang Bersemi
Beberapa minggu kemudian, Adrian mengajak Mayra ke sebuah galeri seni terkenal di kota itu. Di tengah ruang pameran, ia menunjuk sebuah lukisan besar yang menggambarkan laut dengan warna-warna lembut.
"Kamu tahu kenapa aku suka lukisan ini?" tanya Adrian.
Mayra menggeleng. "Kenapa?"
"Karena ini mengingatkanku pada kamu. Tenang, tapi penuh cerita. Kamu indah, Mayra, di luar dan di dalam," kata Adrian dengan nada serius.
Mayra tidak bisa menahan senyum. Kata-kata Adrian membuatnya merasa spesial, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.
Hubungan mereka berkembang. Adrian menunjukkan perhatian yang konsisten, dari hal-hal kecil seperti membawakan bunga liar hingga kejutan makan malam romantis di pantai. Di sisi lain, Mayra mulai membuka hatinya, merasa aman bersama Adrian.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada sisi Adrian yang perlahan mulai tampak—ketakutannya terhadap komitmen.
Akhir Bab 1
Langit jingga berubah menjadi gelap, seperti pertanda akan datangnya badai dalam hubungan mereka. Mayra tidak menyadari bahwa kebahagiaan ini akan segera diguncang. Tetapi untuk malam itu, ia membiarkan dirinya larut dalam cinta yang manis, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi esok hari.