Chereads / Merenda Harapan / Chapter 2 - Bab 2: Bayangan di Balik Cinta

Chapter 2 - Bab 2: Bayangan di Balik Cinta

Malam mulai merangkak naik di kota kecil tempat Mayra tinggal. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kekuningan, menyinari deretan rumah dan taman kota yang asri. Mayra sedang duduk di sebuah kafe kecil bersama sahabatnya, Aila, seorang wanita ceria dengan rambut ikal hitam yang selalu mengenakan baju berwarna terang.

Kafe itu ramai oleh suara obrolan pengunjung, suara dentingan gelas, dan musik jazz yang mengalun lembut dari sudut ruangan. Pelayan lalu-lalang membawa pesanan, sementara aroma kopi bercampur dengan harum kue-kue panggang memenuhi udara.

"Aku nggak ngerti, May. Kamu kelihatan bahagia banget sama Adrian. Tapi kenapa akhir-akhir ini kamu kelihatan ragu?" tanya Aila sambil menyeruput cappuccino-nya.

Mayra memutar cangkir tehnya, ragu untuk menjawab. "Adrian baik, Ail. Dia perhatian, dia selalu berusaha membuatku bahagia. Tapi..."

"Tapi apa?" Aila mencondongkan tubuhnya, penasaran.

"Tapi aku merasa dia menyembunyikan sesuatu. Kadang dia terlihat gelisah, seperti ada beban yang dia nggak mau ceritakan," Mayra mengakui.

Aila mengangguk, berpikir sejenak. "Mungkin dia takut terbuka. Tapi kalau dia serius sama kamu, dia harus belajar. Hubungan itu nggak cuma soal bahagia, May. Itu soal kejujuran, bahkan saat itu sulit."

Obrolan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa sepiring kue cokelat yang baru dipanggang. Mayra mengambil potongan kecil, tapi rasanya hambar di lidahnya.

"Apa yang harus aku lakukan, Ail? Aku nggak mau menekan dia, tapi aku juga nggak bisa terus-menerus merasa seperti ini," tanya Mayra, suaranya penuh kebingungan.

Aila tersenyum lembut. "Kadang, kita hanya perlu waktu. Biarkan dia menemukan keberaniannya untuk jujur. Tapi jangan lupa, kamu juga berhak tahu apa yang kamu butuhkan dari hubungan ini."

Suasana Gelisah Adrian

Beberapa hari kemudian, Mayra memutuskan untuk berbicara dengan Adrian. Mereka bertemu di pantai favorit mereka, tempat yang selalu menjadi pelarian saat ingin berpikir jernih.

Adrian sudah menunggu di sana, duduk di atas pasir sambil memandangi ombak. Pantai itu ramai oleh suara tawa anak-anak yang bermain di tepi air, pasangan yang berjalan bergandengan tangan, dan aroma asin laut yang menyegarkan.

"Adrian," panggil Mayra lembut saat mendekat.

Ia menoleh, tersenyum kecil. "Hei, May. Duduklah."

Mayra duduk di sampingnya, memperhatikan raut wajahnya yang tampak muram. "Ada apa? Kamu kelihatan tidak seperti biasanya."

Adrian menghela napas, memainkan kerikil kecil di tangannya. "Kadang aku berpikir, apakah aku cukup baik untukmu."

"Kenapa kamu selalu berpikir begitu?" tanya Mayra, nada suaranya penuh keprihatinan.

"Karena aku tahu aku punya banyak kekurangan, May. Aku takut suatu hari kamu sadar bahwa aku bukan orang yang kamu butuhkan," jawab Adrian jujur.

Mayra terdiam sejenak, mencoba memahami perasaan Adrian. Ia menggenggam tangan pria itu, memandangnya dengan lembut. "Aku tidak butuh kesempurnaan, Adrian. Aku hanya butuh kamu yang mau berusaha untuk kita."

Adrian menatap Mayra dengan mata yang penuh keraguan, tetapi juga harapan. "Aku akan mencoba, May. Aku akan berusaha."

Sepulang dari pantai, Mayra bertemu Aila lagi di apartemennya yang penuh dengan tanaman hias dan poster-poster seni. Aila menyambut Mayra dengan secangkir teh hangat dan ekspresi ingin tahu.

"Jadi, gimana tadi? Kalian ngobrol?" tanya Aila, duduk di sofa yang dipenuhi bantal warna-warni.

"Dia bilang dia takut nggak cukup baik untukku. Tapi dia janji akan berusaha," kata Mayra sambil memandang cangkir tehnya.

Aila tersenyum kecil. "Itu langkah bagus. Tapi, May, pastikan usahanya nyata. Jangan biarkan janji kosong mengikatmu."

Mayra mengangguk, merasa sedikit lega dengan dukungan Aila. "Kamu benar. Aku akan beri dia waktu, tapi aku juga nggak akan membiarkan diriku terjebak."

Dalam kehangatan persahabatan dan kejujuran percakapan mereka, Mayra merasa sedikit lebih kuat. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya dengan Adrian masih panjang dan penuh tantangan, tapi ia percaya bahwa ia tidak akan menghadapinya sendirian.