Kota kecil itu mulai sibuk dengan hiruk-pikuk kehidupan malam. Lampu-lampu toko menyala terang, memancarkan nuansa hangat di trotoar yang ramai. Pasar malam di alun-alun penuh dengan pedagang yang menjajakan makanan jalanan, pernak-pernik, dan barang-barang kerajinan tangan. Suara tawar-menawar dan tawa anak-anak yang bermain di wahana kecil bercampur menjadi harmoni kehidupan yang khas.
Mayra dan Aila berjalan beriringan di antara kerumunan. Mayra sesekali berhenti untuk melihat-lihat kerajinan tangan yang dijual di kios-kios kecil. Aila, seperti biasa, dengan antusias mencoba berbagai camilan, dari sate gurita hingga es krim mangga.
"Lihat ini, May!" seru Aila, menunjuk gantungan kunci berbentuk bintang laut. "Bukankah ini cocok untukmu? Mengingatkanmu pada pantai dan Adrian."
Mayra tersenyum kecil, meski hatinya sedikit gelisah mengingat pertemuannya dengan Adrian di pantai beberapa waktu lalu. "Ya, mungkin aku akan membelinya," katanya pelan.
Mereka melanjutkan berjalan hingga tiba di sebuah lapak kecil yang menjual lukisan. Seorang pria tua dengan topi lebar duduk di belakang meja, sibuk melukis lanskap kota dengan cat air. Lukisan-lukisan itu penuh dengan detail, mulai dari pohon-pohon rindang hingga burung-burung yang terbang di langit jingga.
"Karya yang indah," puji Mayra sambil mengamati salah satu lukisan.
Pria tua itu tersenyum ramah. "Terima kasih, Nak. Seni adalah cara saya mengabadikan keindahan dunia ini. Kadang-kadang, itu juga menjadi cara saya melarikan diri."
Kata-kata itu menyentuh hati Mayra. Ia merasa pria itu mengerti apa yang ia rasakan. Seni adalah pelariannya, tempat ia menumpahkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Suasana Malam di Kafe
Setelah puas berkeliling pasar malam, mereka memutuskan untuk mampir ke sebuah kafe kecil di sudut jalan. Kafe itu memiliki suasana hangat dengan dekorasi rustic; dindingnya dipenuhi lukisan dan foto hitam putih, sementara lampu-lampu kecil berkilauan di langit-langit.
Mereka memilih duduk di meja dekat jendela, memandangi jalanan yang mulai lengang. Seorang pelayan muda dengan seragam sederhana datang membawa menu.
"Aku suka tempat ini," kata Mayra sambil membuka menu. "Tenang, tapi tetap terasa hidup."
Aila mengangguk. "Benar. Tempat ini seperti menyimpan cerita dari orang-orang yang pernah datang ke sini."
Mereka memesan cokelat panas dan sepotong kue tart. Sementara menunggu pesanan datang, Mayra bercerita tentang perasaannya yang semakin rumit terhadap Adrian.
"Aku tahu dia berusaha, Ail. Tapi aku tidak tahu apakah itu cukup," katanya, menatap ke luar jendela.
Aila meletakkan dagunya di tangan, memperhatikan sahabatnya dengan seksama. "Kadang, May, kita harus bertanya pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya kita cari? Apa yang kita butuhkan?"
Mayra menghela napas. Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya, tapi ia belum menemukan jawabannya.
Kehidupan Sekitar Adrian
Di sisi lain kota, Adrian duduk sendirian di ruang tamu apartemennya yang minimalis. Tumpukan dokumen bisnis tergeletak di meja, tetapi pikirannya melayang ke pantai tempat ia terakhir bertemu Mayra.
Ia melirik keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berkedip seperti bintang. Suara sirine samar terdengar di kejauhan, bercampur dengan suara klakson mobil dan langkah-langkah kaki di trotoar.
Ponselnya berdering. Itu dari sahabatnya, Reza, seorang pria dengan sikap santai yang selalu tahu bagaimana membuat suasana lebih ringan.
"Apa kabar, Bro? Lama nggak dengar kabar dari lo," kata Reza begitu Adrian mengangkat telepon.
Adrian tersenyum tipis. "Biasa, sibuk kerja."
"Bohong. Gue dengar lo sekarang sibuk pacaran sama gadis cantik," canda Reza.
Adrian tertawa kecil, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Setelah beberapa saat hening, Reza berkata, "Lo nggak perlu takut, Adrian. Kalau lo benar-benar cinta, lo harus siap untuk berjuang. Jangan biarkan ketakutan lo menghalangi kebahagiaan lo sendiri."
Kata-kata itu membekas di pikiran Adrian. Ia tahu Reza benar. Tapi bagaimana jika perjuangannya tidak cukup? Bagaimana jika pada akhirnya ia hanya menyakiti Mayra?
Suasana yang Berubah
Kembali ke kafe, Mayra dan Aila selesai dengan obrolan mereka. Mayra memutuskan untuk pulang lebih awal. Saat berjalan di trotoar yang mulai lengang, ia melihat seorang ibu tua membawa tas belanjaan yang berat. Tanpa berpikir panjang, Mayra menghampiri dan membantunya.
"Terima kasih, Nak," kata ibu itu dengan senyum hangat.
"Tidak apa-apa, Bu. Senang bisa membantu," jawab Mayra sambil mengantar ibu itu hingga ke pintu rumahnya.
Dalam perjalanan pulang, Mayra merasa sedikit lebih ringan. Ia menyadari bahwa meski hatinya penuh keraguan, dunia di sekitarnya tetap berputar. Ada banyak kehidupan, cerita, dan kebahagiaan kecil yang dapat ia nikmati, bahkan di tengah kebimbangannya dengan Adrian.
Suasana kota yang damai malam itu menjadi pengingat bahwa hidup tidak selalu tentang menemukan jawaban, tetapi tentang menjalani setiap momen dengan tulus.