Chereads / Merenda Harapan / Chapter 4 - bab 2 bagian 3

Chapter 4 - bab 2 bagian 3

Keesokan harinya, Mayra memutuskan untuk meluangkan waktu sendiri. Langit cerah dengan awan-awan putih yang melayang seperti kapas. Udara pagi itu segar, bercampur aroma embun dan bunga dari taman kota yang baru disiram. Burung-burung berkicau, melengkapi suasana yang damai.

Taman kota mulai ramai oleh orang-orang yang beraktivitas. Ada pasangan tua yang berjalan santai sambil berpegangan tangan, anak-anak berlari di lapangan bermain, dan seorang musisi jalanan yang memainkan gitar akustik di bawah pohon besar.

Mayra duduk di bangku taman, memandangi sekeliling. Ia membawa sketsa buku kecil dan mulai menggambar pemandangan di depannya. Setiap garis yang ia goreskan di atas kertas seolah menjadi cara untuk melarikan diri dari pikiran yang memenuhi kepalanya.

Percakapan dengan Seorang Ibu di Taman

Di bangku sebelahnya, seorang ibu muda sedang menyuapi anak kecil yang terlihat asyik dengan mainannya. Senyumnya begitu tulus, meskipun sesekali ia tampak lelah.

"Kamu suka menggambar?" tanya ibu itu tiba-tiba, memecah kesunyian.

Mayra menoleh dan tersenyum. "Ya, ini salah satu cara saya untuk menenangkan pikiran."

"Bagus sekali," jawab ibu itu sambil memperhatikan sketsa Mayra. "Saya selalu percaya bahwa seni bisa membantu kita melihat dunia dengan cara yang berbeda."

Mayra mengangguk pelan. "Benar. Kadang-kadang, saya merasa seperti seni adalah satu-satunya tempat di mana saya bisa benar-benar jujur."

Ibu itu tersenyum, kemudian melanjutkan, "Kehidupan memang sulit, tapi kalau kita punya sesuatu yang kita cintai, itu bisa membuat semuanya terasa lebih mudah."

Kata-kata ibu itu membuat Mayra merenung. Apakah ia sudah cukup mencintai dirinya sendiri sebelum mencintai orang lain?

Kehidupan di Sekitar Pasar Pagi

Setelah dari taman, Mayra berjalan menuju pasar tradisional yang letaknya tidak jauh. Pasar itu dipenuhi warna dan suara; pedagang yang meneriakkan dagangan mereka, pelanggan yang sibuk menawar, dan aroma campuran dari rempah-rempah, buah segar, hingga gorengan yang baru saja digoreng.

Ia membeli beberapa buah-buahan dan bunga segar untuk rumahnya. Saat berjalan melewati kios-kios kecil, ia mendengar percakapan sekelompok ibu-ibu yang sedang berdiskusi tentang kehidupan rumah tangga mereka.

"Yang penting itu saling mendukung," kata salah satu dari mereka sambil tertawa. "Kalau suami capek kerja, kita yang harus jadi penyemangatnya. Tapi kalau kita capek, ya kita juga berhak dimengerti."

Mayra tersenyum kecil mendengar percakapan itu. Kehidupan, meskipun penuh tantangan, tampaknya menjadi lebih ringan ketika dijalani dengan saling pengertian.

Kembali ke Studio Lukis

Saat matahari mulai meninggi, Mayra pulang ke apartemennya yang kecil tapi penuh warna. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan yang ia buat selama bertahun-tahun, mulai dari lanskap hingga potret manusia. Di sudut ruangan, ada meja besar dengan berbagai alat lukis yang tersusun rapi.

Mayra duduk di depan kanvas kosong, mencoba menuangkan perasaannya dalam bentuk warna dan bentuk. Kali ini, ia melukis suasana pantai dengan siluet seseorang yang berdiri di kejauhan, seolah-olah mencari sesuatu yang hilang.

Saat sedang melukis, ponselnya berdering. Itu Aila.

"May, kamu di rumah?" tanya Aila langsung begitu panggilan tersambung.

"Ya, ada apa?"

"Aku mau mampir. Bawa makanan juga. Kita butuh obrolan serius," kata Aila dengan nada bersemangat.

Percakapan di Tengah Kehidupan Kota

Tak lama kemudian, Aila datang dengan membawa pizza dan dua botol soda. Mereka duduk di ruang tamu kecil Mayra, berbincang sambil memakan pizza yang baru keluar dari oven.

"Aku lihat lukisanmu tadi," kata Aila sambil menunjuk ke kanvas. "Kamu lagi memikirkan Adrian, ya?"

Mayra tertawa kecil. "Mungkin. Aku nggak bisa berhenti bertanya-tanya apakah dia benar-benar serius dengan hubungan ini."

Aila menghela napas panjang. "May, kamu tahu aku nggak pernah ragu mendukungmu. Tapi kamu juga harus memastikan dirimu tidak terjebak dalam ketidakpastian."

"Tapi aku mencintainya, Ail. Dia membuatku merasa hidup," kata Mayra dengan nada lirih.

"Cinta itu penting, May. Tapi cinta yang sehat adalah yang membuatmu merasa dihargai, bukan hanya hidup dalam bayang-bayang."

Suasana kota di luar jendela perlahan berubah. Lampu-lampu mulai menyala, menerangi jalan yang kembali ramai oleh orang-orang yang pulang kerja. Suara klakson kendaraan bercampur dengan langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa.

Mayra memandang keluar jendela, merasa bahwa ia berada di persimpangan hidup. Di satu sisi, ia ingin memperjuangkan cinta dengan Adrian. Di sisi lain, ia mulai menyadari bahwa dirinya juga perlu diperjuangkan.

Bab 2 ditutup dengan Mayra yang termenung, menyadari bahwa hidup di sekitarnya penuh dengan pelajaran kecil tentang cinta, pengorbanan, dan keberanian untuk memilih jalan yang benar. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia harus melangkah maju, tidak hanya untuk cinta, tetapi juga untuk dirinya sendiri.