Kota Stormcloud, Selasa 13 Bulan Badai Tahun Petir ke-363, pukul 9 malam.
Salju turun dengan lembut. Seorang pemuda berambut pirang sedang menunggangi kuda kesayangannya di jalanan kota Stormcloud yang ramai. Lampu jalanan menerangi para pejalan kaki yang jarang di trotoar. Pemuda itu sedang dalam perjalanan pulang setelah seharian bekerja di Kantor Hubungan Sosial Kesatria Agung. Ia menyesuaikan topi mungil yang selalu menempel di kepalanya.
Pemuda itu menghela napas panjang, membuat uap yang mengepul tipis karena suhu yang dingin. Ia memandang kesibukan di sekelilingnya. Kota Stormcloud selalu mengingatkannya bahwa kota kecil di bagian barat Paraland ini menyimpan banyak kenangan masa kecilnya.
Ia selalu berpikir betapa luas dunia yang bisa ia lihat berkat Guru yang telah mengubah kehidupannya menjadi yang sekarang ia jalani. Kalau bukan karena gurunya, ia pasti sudah mati kelaparan atau ditindas oleh para berandalan. Ia bersyukur, dan itu yang membuatnya sering menghela napas panjang seperti saat ini.
Pemuda itu merapat ke sebuah toko roti untuk membeli makan malamnya. Setelah terlibat percakapan hangat sejenak dengan pemilik toko, ia segera melangkah pergi. Pemilik toko itu terlihat senang karena tokonya didatangi olehnya. Itu hal wajar sebab banyak orang yang mengenalnya, lagipula pekerjaan sehari-harinya juga membantu warga setempat.
Jintarou, begitulah orang-orang memanggilnya meski nama itu hanya sekadar nama pemberian gurunya, tapi ia lebih senang dipanggil dengan nama itu daripada nama aslinya. Beberapa orang juga menyebutnya si Hantu karena ia akan segera pergi begitu selesai menolong seseorang, seakan menghilang.
'Hidup di dunia, berarti mengakui bahwa hidup itu berdampingan. Maka jalani kehidupan ini bersama-sama. Jadilah pelita yang menerangi sekelilingnya, jadilah pelukan yang memberi kehangatan, jadilah pohon yang menaungi sekitarnya. Ketika pelitamu padam, percayalah ada lilin yang akan menghidupkanmu kembali '.
Kata gurunya padanya suatu hari. Jintarou tak pernah melupakannya, menjadikan kata-kata gurunya waktu itu sebagai pegangan hidupnya.
Ia jadi ingat sudah lama sekali tak mengunjungi gurunya. Terakhir mereka bertemu dua tahun lalu, itu pun hanya sekedar mengantarkan bingkisan.
Sejak gurunya pindah ke hutan enam tahun lalu, Jintarou harus naik-turun gunung untuk mengunjunginya. Meski Guru menyuruhnya untuk tak mencemaskannya dan mengunjunginya, Jintarou tetap rutin berkunjung sampai kejadian lima tahun lalu menghancurkan keluarga gurunya.
Sejak saat itu, Jintarou memutuskan untuk berhenti mengunjungi gurunya. Kehadirannya hanya akan membawa lebih banyak hal buruk bagi gurunya. Ia tak ingin kejadian lima tahun lalu terulang kembali.
Jintarou melewati gerbang kota Stormcloud yang sepi, berbeda dari dalam kota yang ramai. Ia memacu kudanya agar berlari lebih kencang, malam hari di luar benteng kota terkadang berbahaya.
Jintarou mengamati sekelilingnya dengan hati-hati, siapa tahu ia menemukan satu dua monster yang bersembunyi di balik semak-semak . Ia tak ingin sampai di rumah dengan baju berlumur darah karena membersihkan halangan. Cukup berkas lembur sore tadi saja yang membuatnya lelah, ia takkan menahan diri jika nanti di jalan bertemu bandit.
Jintarou mengarahkan kudanya ke selatan, ke desa Woodenhill, desa tempatnya tinggal bersama ibunya tiga belas mil dari Kota Stormcloud. Setiap hari ia harus bolak-balik Woodenhill-Stormcloud untuk bekerja. Meski jauh dan merepotkan, ia tetap menikmati pekerjaannya sebagai Kesatria Agung, apalagi ia baru saja dipromosikan menjadi Kapten Divisi.
Jintarou membelah hutan belantara yang menjadi pembatas antara desanya dan kota Stormcloud, salju di sepanjang jalan tak menghambat kudanya yang terus menambah laju larinya karena tak sabar untuk sampai rumah.
Perut Jintarou keroncongan, ia belum memakan apapun sejak tadi siang. Bukannya tanpa alasan ia melewatkan makan siangnya, ia selalu teringat gurunya di hutan. Mengingat di sana hanya ada sedikit sumber makanan apalagi harus menghidupi putranya. Maka Jintarou merasa tak pantas merasakan hal-hal nyaman sementara gurunya untuk bertahan hidup saja sulit.
BLAAARRRR!!!!!!!
Jintarou tertegun mendengar dentuman kencang itu, secara tiba-tiba sekelilingnya menjadi sedikit terang. Ia coba mendongak menelusuri menembus dedaunan pohon pinus yang lebat, langit tampak menyala untuk sesaat. Warna kilatan di langit itu, warna yang sangat ia kenali.
Bagai petir yang menyambar di tengah badai. Biru menyala yang lembut dan berbahaya. Jantungnya berdetak lebih cepat untuk beberapa alasan, pikiran-pikiran buruk mencoba mengambil alih benaknya. Ia tak ingin berpikir bahwa warna biru menyala itu adalah kekuatan gurunya, ia ingin menyangkalnya. Tapi hatinya tidak demikian, berkata padanya untuk kembali ke gunung.
Guru-mu memanggil.