Chereads / Baaq: Son of The Storm / Chapter 7 - Pengganti II

Chapter 7 - Pengganti II

Anak itu tertegun begitu mendengar penuturan singkat Jintarou. Ikiru tampak bingung harus bereaksi seperti apa jadi ia hanya diam menatapnya tanpa melakukan apapun.

"Itu dulu sekali, bahkan aku masih lebih muda darimu saat itu terjadi." Jintarou menatap kakinya yang mengelus karpet wol hangat. Ia tak menyangka akan kembali mengingat bahkan menceritakan insiden yang bahkan ingin ia lupakan, tapi jika ini bisa membuka hati anak itu maka tak masalah.

"Ayah adalah penempa senjata yang handal, ia digadang-gadang sebagai penempa jenius dari Stormcloud. Banyak dari hasil tempaannya dipakai para kesatria dan petualang dari guild terkemuka." Jintarou menjeda ceritanya sejenak. "Itu adalah masa-masa jaya keluarga kami, sampai kejadian itu menimpanyai." Cahaya pada wajahnya meredup, Jintarou mengingat setiap detail memori saat ayahnya terbunuh tepat di hadapannya. Darah yang mengucur deras dari perut ayahnya merembes membasahi pakaiannya, tempat ayahnya terbunuh, senjata yang melukai ayahnya, wajah pembunuh ayahnya, pihak berwajib yang terlihat tak peduli, semuanya masih segar dalam ingatannya seakan itu belum lama terjadi.

"Setelah kepergian ayah, ibu harus banting tulang demi membesarkanku. Ibuku bukan orang terpelajar jadi ia terpaksa mengambil pekerjaan kasar dengan gaji yang kecil. Sering kali ibuku dicurangi dan ditipu karena ketidakmampuannya.

"Aku ikut tersiksa melihat semua kesulitan itu, tak tega melihat ibuku yang begitu berjuang untuk bertahan hidup, apalagi memikirkan pembunuh ayahku saat itu masih berkeliaran bebas membuatku membuatku tak nyaman." Ucap Jintarou tegas, ia mengepalkan sebelah tangannya.

"Sampai saat aku berumur lima belas tahun, aku kembali bertemu dengan pembunuh ayahku dan berhasil membalaskan dendamku." Kini ingatan tentang jasad pembunuh itu yang terkapar, tangannya yang berlumuran darah menggenggam pisau yang sama dengan yang membunuh ayahnya terputar bagai pertunjukan opera. Lambat, namun tergesa-gesa.

Ikiru menatap Jintarou dengan canggung, walau ia menyimak dengan benar, tapi ada beberapa bagian yang masih tak ia pahami, salah satunya fakta bahwa Jintarou yang pernah membunuh. Suatu hari ia akan mengerti.

Ah, aku kembali berlebihan. Jintarou menyadari dirinya sudah kelewatan. Jintarou coba melirik Ikiru yang masih diam sejak tadi dan tiba-tiba ia teringat perkataan ibunya. Mungkinkah ibu mengatakannya tanpa ada maksud lain? Anak-anak. Cerita.

"Ikiru," panggil Jintarou pelan, membuatnya meliriknya. "Aku," Jintarou ragu mengatakannya. "Aku memang payah dalam bercerita, tapi maukah kau mendengar ceritaku?" Tak ada respon dari Ikiru, meski begitu Jintarou tetap akan bercerita karena ia tahu Ikiru akan mendengarkannya seperti ia mendengarkan cerita masa lalunya.

Jintarou memejamkan mata memikirkan cerita seperti apa yang harus ia karang, dan beberpa saat kemudian matanya terbuka. "Ini cerita tentang pahlawan dan roh kembang api." Jintarou menghela napas panjang.

"Di sebuah kerajaan yang indah dan megah, hiduplah seorang pahlawan pemberani dan berhati tulus. Suatu hari sang raja pergi bersama rombongannya. Sang raja memerintahkan pahlawan untuk mengawal ia dan rombongannya."

Jintarou coba melirik Ikiru. Ia tak mempedulikannya, tapi Jintarou tahu ia bocah itu mendengarkan. "Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh roh hutan. Demi meloloskan diri, sang raja memerintahkan pahlawan menghadapi para roh hutan dan iapun berakhir ditangkap sementara rombongan sang raja keluar dari hutan dengan selamat. Sang raja menjebak pahlawan."

"Lalu,"

Jintarou sedikit tertegun mendengar Ikiru berbicara, menatapnya tak percaya.

"Lalu," gumam Ikiru malu, memalingkan wajahnya yang murung, tak nyaman ditatap begitu. "Apa yang terjadi pada pahlawan?"

"Lalu, Pahlawan itu dijebloskan ke penjara dan ditelantarkan begitu saja." Kata Jintarou, menjeda ceritanya sejenak. "Hari berganti, Minggu berlalu, tapi para roh hutan tidak berniat membebaskan sang pahlawan.

Jintarou menarik napas dalam-dalam. "Hingga suatu malam, satu roh hutan datang ke penjara menjenguknya. Roh itu memancarkan percikan bunga api yang indah. Pahlawan sudah pasrah dengan nasibnya, ia mengira hari itu tak akan melihat esok hari.

"Namun roh itu tidak datang untuk menghukumnya melainkan membebaskannya." Lanjut Jintarou dengan senyum misterius. "Pahlawan yang bingung bertanya pada roh hutan, 'Kenapa kau menolongku?' Roh itu menjawab, 'Kau memiliki hati yang bersih, tempatmu ada di luar sana."'

Jintarou memandang Ikiru. "Lalu roh itu pun membebaskan pahlawan dan membantunya kabur dari hutan."

Jintarou kembali menatap Ikiru yang tampaknya mulai antusias, tapi bocah itu buru-buru membuang muka ke arah lain. Jintarou tersenyum melihat perkembangan itu. "Aku membawakanmu pasta, tidak ada salahnya mendengarkan sambil makan." Jintarou menyodorkan sepiring pasta itu untuk kedua kalinya dan kali ini Ikiru menerimanya, menyendok pasta dan memasukkannya ke mulut.

"Enak?" Tanya Jintarou penasaran. Ikiru mengangguk singkat. "Syukurlah, kalau begitu kita lanjutkan ceritanya." Jintarou menghela napas. "Sampai mana tadi," coba mengingat-ingat bagian cerita.

"Nah, singkatnya pahlawan dan roh hutan berhasil mencapai ujung hutan. Sudah saatnya mereka berpisah. Namun ketika pahlawan hendak melangkah, terdengar seruan-seruan heboh dari jantung hutan, para roh hutan menyadari tahanan mereka kabur.

"Pahlawan hanya perlu melangkah keluar hutan untuk selamat, namun sebelum mengucapkan selamat tinggal pada roh hutan yang telah menolongnya ia melihat roh hutan menitikkan air mata. Karena merasa cemas sang pahlawan bertanya.

"'Apa gerangan yang membuatmu menangis, wahai penolongku?' Roh hutan menjawab sambil berusaha meredam kesedihannya. 'Kau tak perlu khawatir, ini adalah hukumanku karena membantumu kabur. Kau memiliki hati yang bersih, kau berhak bebas.'"

Jintarou beralih memandang kesibukan desa lewat jendela kamar yang terbuka. "Karena merasa tak tega dengan roh hutan yang malang itu, pahlawan pun menggenggam tangan roh hutan. 'Anggap saja ini sebagai balas budi karena telah menolongku.' Kata pahlawan tak melepaskan tangan roh hutan dan melangkah keluar hutan bersama."

"Hal tak terduga pun terjadi," Jintarou kembali menjeda ceritanya sejenak, mencoba membuatnya jadi dramatis. "Saat pahlawan berhasil menyeberang ia terkejut karena yang ia genggam bukanlah tangan roh hutan melainkan gadis cantik yang memancarkan bunga api yang indah dan menawan. Roh hutan itu telah menjelma menjadi manusia.

"Roh hutan yang melihat kebingungan sang pahlawan pun menjelaskan, 'Aku adalah roh hutan yang bersamamu tadi, niat baikmu menolong seseorang telah mengubahku menjadi seperti ini.'

"Akhirnya," Jintarou menjeda ceritanya sejenak. "Mereka pun meninggalkan hutan dan hidup bersama." Jintarou menutup ceritanya dengan baik.

"Nah," Jintarou memandang Ikiru yang sudah menghabiskan pastanya tanpa tersisa. "Pelajaran yang dapat diambil dari cerita tadi adalah," Jintarou mengambil kembali piring kosong dari tangan Ikiru dan menaruhnya di nakas di samping dipan.

"Sebanyak apapun engkau ditinggalkan, ditelantarkan, selagi kau ringan tangan menolong dan tak takut menghadapi berbagai masalah. Percayalah akan selalu ada pelita yang membimbingmu, akan selalu ada orang yang dengan senang hati menolongmu.

"Jadi, tak ada salahnya mencoba mengandalkan seseorang. Jika engkau dikhianati itu bukan salahmu karena kau tak tahu. Kau hanya perlu mencari orang lain yang dapat diandalkan." Jintarou menatap mata Ikiru dengan lekat.

"Dengar, Ikiru." Jintarou diam sejenak, membuat Ikiru tak dapat mengalihkan pandangannya ke manapun. Jintarou tersenyum hangat lalu berkata, "Kau selalu bisa mengandalkanku."

"Jika kau punya masalah, jangan sungkan untuk menceritakannya padaku, pada ibuku. Karena kami akan selalu mendengarkanmu." Jintarou menepuk pundak Ikiru pelan dan beranjak berdiri, melangkah keluar kamar. "Karena kita adalah keluarga."