Eh?" Pigor tercengang setengah mati, tendangan itu ditahan Shiyamada hanya dengan kedua tangan yang ia silangkan, tangan kanannya erat menggenggam katana.
"Teknik ketujuh: Hempasan Rasa Sakit!" Shiyamada memancarkan energi yang besar dan menghempaskan semuanya dengan kuat membuat keduanya terpental.
Shiyamada terpental jauh, menubruk puing reruntuhan, lalu terkapar di tanah. Ia berusaha berdiri dengan sisa tenaganya, bertumpu dengan katananya dengan satu tangan yang gemetar.
Ledakan telah usai, Pigor menatap nyalang lawannya, tapi saat itu pula darah mengucur dari lehernya, ia berlutut, berusaha kembali berdiri lagi, menekan lehernya tempat darah itu mengucur. Shiyamada mengenainya, bersamaan dengan ledakan itu ia melepaskan tebasan telak ke leher kiri Pigor, lalu ia melompat mundur, walau tetap saja Shiyamada terluka parah.
"Pak tua!!" Pigor berhasil berdiri, ia memasang kuda-kuda yang berbeda dan kembali berteriak, tangan kanannya terangkat, aura hitam semakin bergejolak, Pigor membuat lingkaran sihir yang besar.
Dari kejauhan Shiyamada dapat melihat Pigor berada ditengah angin topan hitam. Shiyamada punya firasat buruk. Shiyamada menancapkan katananya di tanah dan memasang kuda-kuda, tangan kanannya terjulur ke depan, kemudian mengepalkan tinju. Seketika aura merah gelap mengelilinginya. "TEKNIK TERAKHIR: PENGORBANAN BERDARAH!!"
Seumur-umur ia belum pernah sampai mengeluarkan teknik itu, ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Akan kulakukan apapun untuk Ikiru. Tak akan kubiarkan ini berakhir sama seperti dulu. Wajah istrinya terlintas sejenak dalam benaknya, kemudian wajah putrinya yang masih bayi, lalu digantikan oleh wajah putra satu-satunya. Aku pasti bisa melindunginya, dengan kekuatan ini aku pasti bisa. Aura merah gelap makin bergejolak deras dan makin deras sebelum perlahan menyusut dan habis tanpa tersisa, menghilang begitu saja. Shiyamada tertegun, inikah teknik terakhirnya?
Bersamaan dengan menghilangnya aura itu, teriakan Pigor yang membahana menyadarkan Shiyamada. "TEKNIK PAMUNGKAS: RUBAH GILAA!!!!" Angin topan itu naik ke udara membentuk bor raksasa lantas meluncur cepat menuju Shiyamada.
Shiyamada tak dapat bergerak walau sudah ia paksakan, ia sudah mencapai batasnya. Bor itu mendekat dengan cepat lantas menerjang dan mencincang dirinya. Tak ada teriakan atau jeritan, rasa sakit itu mengalahkan segalanya bahkan kendali dirinya atas tubuhnya, hanya pasrah yang ia bisa lakukan. Bor itu hilang di belakang Shiyamada, meninggalkannya yang masih tetap teguh berdiri dengan gemetar. Keadaannya sangat menyedihkan, luka sayatan memenuhi tubuhnya, tangan kanannya hilang, perutnya berlubang membuat usus tercecer.
Hening, hanya terdengar desir angin dan badai salju yang kencang.
Angin kencang menggerakkan rambut Ikiru yang terhenyak melihat ayahnya, rasa mual mengalir menaiki kerongkongannya, tapi air matanya terus mengucur membuat mual itu tertutupi. Yang ia lihat saat ini adalah ayahnya yang sedang sekarat juga sedang menatapnya. Ia berlari mendekati ayahnya.
Pigor tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan, menunggu kematian lawan tandingnya.
"AYAAAH-" Ikiru terdiam karena tak sengaja memandang langit, matanya terpaku ke arah langit.
"Hah, matilah kau manusia rendahan!" Pigor kembali terbahak menatap bulan purnama yang terang benderang tepat di atasnya di tengah hebatnya badai salju yang tengah berlangsung, tak ada awan yang menghalanginya dan tak ada setitikpun salju yang jatuh di atas tempat Pigor berpijak. "Tunggu, kenapa bulan itu terlihat padahal sedang badai?" Masa bodoh." Ia menoleh. "Sekarang tinggal mengurus bocah itu, akan kucincang dulu sebelumnya." Pigor menatap nanar Ikiru yang terus memandang langit. Yang ditatap balas menatap jeri. "Matilah perlahan, bocah tengAAARRRGGHH!!!!"
Belum genap Pigor menyelesaikan kalimatnya, sebuah rantai dengan mata tombak menyeruak dari dalam tanah menembus betis kirinya, langkahnya tertahan, ia sibuk memegangi betisnya yang tertancap mata tombak, berusaha melepaskannya. Namun dari dalam tanah menyusul empat rantai lainnya, dua menusuk bahu kanan dan kiri, satu menusuk dada, sisanya menusuk betis kanan. Pigor mengerang kesakitan. Rantai itu seperti parasit, setelah tertancap, rantai-rantai itu bercabang di dalam tubuh mengoyak daging dan saraf dari dalam.
Shiyamada tertegun saat melihat apa yang terjadi pada Pigor sebelum kehilangan keseimbangan, tubuhnya terjatuh, pandangannya kosong menatap langit malam.
Pigor dikelilingi lingkaran sihir merah gelap. Pigor yang meronta-ronta, berusaha melepaskan rantai-rantai itu, tapi semakin ia berusaha melepas rantai-rantai itu semakin mengakar dalam tubuhnya. Pigor semakin panik, ia semakin meronta tak keruan, akal sehatnya sempurna hilang. Seketika malam terasa lebih terang, dengan bulan purnama yang berubah menjadi Semerah darah. Tapi tanah tempat Pigor berpijak serasa gelap, ia coba memandang ke atas, mencari tahu apa menghalangi cahaya bulan purnama. Ia terhenyak melihat peti mati melayang di langit tepat di atasnya. Pigor terangkat ke atas, rantai-rantai itu tercabut perlahan dari tubuh Pigor, ia dapat merasakan setiap cabang rantai itu lepas satu persatu, memberinya rasa sakit yang tak terlupakan. Pigor mengerang dan meronta.
Ia berada di hadapan peti yang diberdirikan itu. Peti itu terbuka, memperlihatkan jarum-jarum panjang di dalamnya. Pigor menatap peti itu ngeri, memohon pengampunan yang sia-sia dengan berlinang air mata, terus memohon sambil meronta-ronta.
Pigor terlempar ke dalam peti dan langsung tertutup. Ritual penyiksaan dimulai. Jeritan Pigor terdengar memilukan dari luar, darah menetes dari celah peti. Jarum-jarum itu terus mencincang tubuh Pigor sampai jeritan Pigor tak terdengar lagi. Peti itu perlahan lenyap bersama sosok hitam dan lingkaran sihir tadi. tubuh Pigor sudah tidak berbentuk lagi, entah yang mana kepala yang mana kaki, jasadnya jatuh begitu saja dari atas langit. Pigor sudah mati.
Hening kembali menginterupsi sekitar, badai salju kembali menderu. Desingan angin terdengar nyaring, menggerakkan ujung dahan pohon yang rapuh, salju kembali menumpuk tebal.
Ikiru terhuyung akibat dorongan angin badai yang kuat, menoleh ke arah ayahnya, menatapnya lama hingga ia mendengar derap tapal kuda yang mendekat. Ikiru memalingkan pandangan ke arah suara. Seseorang datang terburu-buru ke arahnya menunggangi kuda. Ikiru merasa terancam dan mulai berlari ke arah ayahnya.
"Ayah, ayah, ayah!" Ikiru berlari mendekati ayahnya dengan tertatih, salju tebal mempersulit kakinya melangkah, hawa dingin mulai merambat merasuki kulitnya yang pucat, tubuhnya gemetar karena kedinginan semetara orang di belakangnya makin dekat. "Ayah, ayah, ayah," panggil Ikiru lemah, pandangannya mengabur, kakinya berat untuk ia gerakkan. "Ayah....ayah....." Bisik Ikiru sebelum terjatuh dan tak sadarkan diri