Desa Woodenhill, Kamis 15 Bulan Badai, Tahun Petir ke-363, pukul 6 pagi.
Mentari pagi menyambut desa Woodenhill yang cerah, sinarnya menimpa lembut atap rumah dan jalanan yang diselimuti salju tipis. Pagi ini cukup hangat untuk ukuran suhu musim dingin yang biasanya sangat rendah. Para penduduk desa Woodenhill mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Jintarou sedang memberi makan ayam-ayam di kandang belakang rumahnya. Kandang kayu kecil yang bahkan Jintarou harus setengah berlutut untuk memasukinya. Tempat ayam-ayam itu disusun membentuk letter u dan dibuat rendah, lantainya dilapisi jerami tipis dan dibiarkan begitu.
Kemarin lusa sore Ikiru siuman. Itu adalah kabar baik, tapi juga buruk. Semenjak sadar, ia tak berhenti menangis dan memanggil-manggil ayahnya, membuat siapapun yang mendengarnya akan terhenyak. Ikiru tidak mau makan bahkan ia tak mendengarkan Jintarou dan bibi Tasya, ibu Jintarou. Mereka berdua sudah berusaha membujuk Ikiru dan menenangkannya namun nihil. Ikiru hanya meresponnya dengan tangisan dan berulang kali memanggil ayahnya dengan lirih.
Selepas memberi makan ayam-ayamnya, Jintarou berjalan kembali ke rumahnya yang tersusun oleh batu bata merah yang kokoh, asap tipis mengepul keluar lewat salah satu jendela tempat dapur rumahnya berada.
Jintarou masuk ke rumahnya lewat pintu belakang yang langsung terhubung dengan dapur. Ia berniat membantu ibunya memasak, semerbak wangi rempah dan bumbu marinasi daging menyeruak masuk ke indra penciumannya.
Dapur itu tidak terlalu luas dan tidak sempit, sinar matahari menerobos lewat jendela dapur menyinari sebagian dapur. Di sepanjang salah satu sisinya terdapat meja lemari dapur dan di atasnya berjarak dua puluh inci terpasang kabinet atas tempat alat makan disimpan. Diantara kabinet atas dan meja lemari dapur, kabinet gantung dipasang bersisian untuk menggantung peralatan masak. Sementara bagian bawah meja lemari dapur digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti gandum, tepung, dan juga rempah-rempah. Di samping kiri meja lemari dapur terdapat perapian besar tempat untuk memasak, di sela-selanya kayu bakar dan arang dileakkan di sana untuk menyalakan api. Di samping perapian terdapat oven batu yang biasa untuk memanggang roti dan sejenisnya.
Dua ahli memasak sedang memperlihatkan kebolehan mereka di dapur, Jintarou mewarisi bakat memasak ibunya. Dari cerita-cerita yang beredar, hanya dengan mencium wangi masakan keluarga mereka, para tetangga sudah dapat mencicipi rasa masakan itu saking harum dan berwarnanya wangi masakan itu.
"Semoga Ikiru mau makan." Gumam bibi Tasya di sela menguleni adonan pasta yang elastis. "Hanya kau yang bisa membujuknya, Tarou." Bibi Tasya menoleh ke Jintarou di belakangnya.
"Hmm, kenapa ibu bisa berpikir begitu?" Tanya Jintarou yang memeriksa potongan daging ayam yang telah dimarinasi.
"Entahlah, hanya saja kaulah yang paling tahu tentangnya, tentang ayahnya, tentang ibunya, tentang keluarga mereka." Bibi Tasya memipihkan adonan dengan penggilas adonan dan memotongnya menjadi bagian kecil, sebelum akhirnya dimasukkan ke panci berisi air yang sudah setengah mendidih di sampingnya.
"Ibu sudah lihat hasilnya kemarin. Tak ada yang bisa diharapkan dariku." Jintarou beralih mengambil beberapa potong daging ayam dan memisahkannya untuk dimasak.
"Aku ingin lihat hasil yang berbeda hari ini." Bibi Tasya mengaduk adonan pasta agar merata saat direbus. "Anak-anak akan selalu tertarik pada cerita."
"Aah," Jintarou menyemplungkan daging ayam ke wajan, membuat minyak bergemeletuk. Sebenarnya ia keberatan, tapi karena ini adalah permintaan ibunya jadi apa boleh buat, pikirannya dipenuhi cara-cara ia menemui Ikiru nanti. "Akan kuusahakan."
Selang beberapa waktu, masakan mereka sudah siap. Menu pagi ini adalah pasta dengan sepotong daging ayam spesial. Aroma bumbu pastanya sangat harum, asap tipis mengepul di atasny. Jintarou sudah pasti langsung menyantap sarapan mereka jika bibi Tasya tak mengingatkannya tentang yang tadi. Jintarou segera menyediakan piring baru dan mengambilkan jatah sarapan untuk Ikiru.
Jintarou berjalan menuju kamar Ikiru yang juga adalah kamarnya. Jintarou hendak langsung masuk tapi urung, ia coba mengetuk pintu kamarnya.
"Ikiru," panggil Jintarou pelan setelah mengetuk pintu beberapa kali. Tak ada jawaban. Jintarou memutuskan untuk masuk setelah menunggu beberapa saat, selagi pasta yang ia bawa masih hangat. "Permisi," ia mengucapkannya sambil berpikir betapa anehnya padahal ia masuk kamarnya sendiri. Tidak seperti diriku yang biasa saja.
Kamar Jintarou adalah ruangan kecil yang terlihat nyaman,jendela kamarnya dibiarkan terbuka agar udaranya tetap segar, dinding kayunya dilapisi permak secara menyeluruh, membuat ruangan itu mengkilap. Karpet wol terbentang menutupi hampir seluruh lantai. Kamar itu minim perabotan. Hanya ada satu lemari dua pintu, nakas, meja belajar dan dipan. Meja belajar diletakkan pada ujung sisi kiri, lalu di sebelahnya terdapat lemari dua pintu, tempat Jintarou menyimpan semua pakaiannya. Di sisi kanan terdapat dipan dan nakas yang juga diletakkan bersebelahan.
Jintarou dapat melihat Ikiru yang duduk meringkuk memeluk lututnya, ia tak sedang menangis, tapi matanya bengkak dan sendu, ia sudah terlalu lama menangis. Mereka sempat bersitatap sesaat sebelum Ikiru memalingkan pandangannya.
Jintarou bergerak mendekati sisi dipan biru tua yang halus itu, lalu menarik bangku kecil dari bawahnya. Jintarou duduk di sana, menatap Ikiru datar, asap tipis mengepul dari sepiring pasta yang ia bawa. Ikiru tak bergeming sedikitpun.
"Ikiru, aku bawa sarapan untukmu." Jintarou menyodorkan piring berisi pasta hangat itu pada Ikiru agar ia menerimanya, tapi setelah beberapa saat ia hanya diabaikan, Jintarou kembali menarik tangannya.
"Ataukah kau ingin aku menyuapimu?" Tamya Jintarou tanpa ada jawaban dari Ikiru, ia kembali diabaikan. Dasar bocah menyebalkan. Apa susahnya memasukkan makanan ke mulutmu. Batinnya kesal.
"Mau sampai kapan kau seperti itu?" Tanya Jintarou sia-sia. Bocah dihadapannya sama sekali tak bergeming. Jintarou meletakkan pasta di nakas, menatap picik Ikiru yang tampak tak peduli.
"Ayahmu tak akan kembali meski kau terus merengek." Ucap Jintarou pedas, tak memedulikan Ikiru yang merasa terusik dan saat ini menatapnya terluka.
"Jangan berpikir hanya kau disini yang sedih dan terpukul dengan kejadian ini! " Seru Jintarou menaikkan tempo suaranya membuat Ikiru terlonjak. "Aku dan ibuku juga merasakan kehilangan sepertimu, banyak orang yang kehilangannya. Jadi jangan bersikap egois seakan kau yang paling tersakiti-"Gawat, aku sudah berlebihan. Jintarou sadar dan memperbaiki duduknya, mencoba menghela napas panjang supaya kembali tenang.
"Maaf, aku terlalu kasar padamu." Ucap Jintarou canggung, menggaruk kepalanya yang tak gatal, anak itu masih memperhatikannya.
Sekali lagi Jintarou menatap Ikiru, kini dengan lamat-lamat. Ikiru terlihat pucat dan, kosong. Tatapan matanya, sama seperti dirinya di masa lalu. Ketika ia merasa tak dapat memercayai seseorang lagi karena beban yang terlalu berat.
Ketika ia menganggap tak ada yang lebih penting dari apa yang telah direnggut darinya, namun bagaimanapun ia tak akan pernah mendapatkannya kembali kecuali menemukan pegangan baru yang setidaknya cukup kuat untuk meringankan bebannya. Dan untuk mencapainya seseorang harus punya keinginan untuk berubah.
Jintarou dapat sedikit memahami apa yang saat ini Ikiru ada dalam benaknya, apa yang membebani pikirannya. Ikiru pasti merasa amat terpukul atas kejadian yang menimpanya. Untuk sekarang, membujuknya secara langsung adalah hal yang mustahil, karena Jintarou bahkan tak dapat melihat pancaran ingin berubah dalam diri anak itu. Jadi ia harus mencari cara lain agar anak itu setidaknya mendengarkannya.
"Kau tahu, aku paham dengan apa yang kau rasakan karena ayahku juga mati karena dibunuh."